Setelah Perang

Tempat: Permukaan dunia — reruntuhan pusat kendali Maelok

Waktu: Tiga hari setelah kejatuhan Maelok

Langit kini abu-abu. Tak ada kembang api, tak ada lagu kemenangan. Hanya angin dan sunyi.

Para penyintas duduk dalam lingkaran, tubuh penuh perban, pikiran lebih luka dari daging mereka.

Praja berdiri di pinggir tebing, memandang ke bawah: reruntuhan pusat kendali dunia, markas Maelok, kini hanya lubang besar tak bernyawa.

Lesmana duduk di samping puing, tangannya mengukir sesuatu di atas logam bekas exo-suit Maelok:

> "Kita tidak menyelamatkan dunia. Kita hanya menghentikan yang merusaknya. Sisanya... tergantung siapa yang hidup setelah ini."

Dion mengaktifkan kembali siaran publik. Tapi kali ini, bukan untuk propaganda atau peringatan bahaya.

> “Jika kau mendengar ini... kau masih punya pilihan. Jangan tunggu keajaiban. Jangan tunggu pahlawan. Bangun. Dan jadilah manusia.”

Naresha dan Lysandra menyalakan obor terakhir di tengah lingkaran mereka. Sebuah upacara diam: untuk yang mati, untuk yang hidup, dan untuk mereka yang berubah.

Mira, yang sudah tiada, hadir dalam diam. Namanya disebut. Bukan sebagai martir. Tapi sebagai bukti bahwa harapan terkadang butuh nyawa untuk tumbuh.

> Lesmana: “Kita tidak akan bangun dunia baru. Tapi kita akan jaga supaya yang lama tak kembali.”

Praja menatap semua. Lalu berkata:

> “Kita tidak selesai. Tapi kita sudah mulai. Dan itu cukup.”

---

Akhir:

Beberapa penyintas pergi ke arah kota lama. Beberapa memilih hidup di reruntuhan. Tak ada pemimpin. Tak ada sistem baru. Hanya kebebasan... dan beban memilih arah sendiri.

> Dunia tak akan sama. Tapi setidaknya, sekarang dunia itu milik mereka. Bukan para pengatur. Bukan para tiran. Bukan para pemilik senjata. Tapi mereka yang pernah hancur... dan memutuskan untuk tetap bangun.