1. Lalu Apa Lagi?
Praja duduk sendiri di tepi reruntuhan menara komunikasi lama, menatap kota yang mulai dibangun. Jalan-jalan penuh aktivitas, suara anak kecil yang tertawa, dan bendera baru yang berkibar.
> Tapi jiwanya hening.
> “Katanya damai. Tapi kenapa aku merasa seperti tenggelam di kolam tenang?”
---
2. Rapat yang Tak Lagi Didengar
Di ruang pertemuan, suara saling bersilang. Lesmana berbicara tentang nilai-nilai, Dion soal stabilitas.
> “Kita harus siapkan sistem pemilihan terbuka!”
> “Sistem itu bisa disabotase! Kita butuh dewan teknokrat!”
Praja hanya diam. Tangannya menopang dagu. Pundaknya berat.
> Bukan karena argumen orang lain salah. Tapi karena semuanya mulai terdengar seperti gema dari masa lalu.
---
3. Pertemuan Senyap dengan Naresha
Di balkon markas, Naresha menemukannya duduk, menghisap rokok yang jarang ia sentuh lagi.
> “Kau berubah.”
> “Mungkin aku cuma kembali jadi manusia biasa.”
> “Kau bukan manusia biasa, Praja.”
> “Justru itu masalahnya…”
Ia tak menginginkan kekuasaan. Tapi dunia memberinya singgasana dari pengorbanan orang lain.
Dan sekarang? Ia lelah disembah. Lelah diharapkan. Lelah disebut penyelamat.
---
4. Surat yang Tak Pernah Dikirim
Malam itu, ia menulis—entah kepada siapa.
> “Aku memulai ini karena muak pada dunia yang membungkam. Tapi semakin keras aku bicara, semakin mereka bisu, dan semakin aku menjadi suara tunggal. Padahal aku hanya ingin ikut bernyanyi, bukan jadi pengeras suara.”
> “Mungkin aku harus pergi. Bukan lari. Tapi memberi ruang. Karena jika aku terus di sini, dunia tak akan belajar bicara sendiri.”
---
5. Lesmana Menemukan Surat Itu
Beberapa hari kemudian, Lesmana menemukannya di kamar kosong: jaket abu legendarisnya tergantung, surat di atas meja.
> Tak ada kabar. Hanya jejak yang ditinggal untuk dipahami.
Dan mungkin… untuk dihargai.