Praja kembali

“Kembali Tanpa Nama, Dicintai Diam-Diam”

1. Kota Retak, Harapan Palsu

Pasca Maelok tumbang, dunia tak langsung membaik. Kota-kota yang hancur kini dipenuhi janji politik kosong dan sistem-sistem baru yang tak jauh beda dari lama. Penyintas bertahan, tapi perlahan saling kehilangan kepercayaan.

Lysandra kembali aktif bersama Naresha dan Dion, memimpin bantuan dan distribusi. Tapi malam-malamnya selalu hampa.

---

2. Kabut dan Sepatu Usang

Suatu pagi, kabut turun di perbatasan barat kota bekas zona merah. Seorang pria dengan jaket lapuk melangkah perlahan. Tanpa senjata. Tanpa simbol. Tapi dengan tatapan yang membuat seorang relawan muda mematung.

> “P-prajurit tua itu… dia... Praja?”

Tak ada sambutan megah. Hanya Lysandra yang berlari ke arah itu. Ia tak berkata apa-apa, hanya memeluknya—erat, tiba-tiba, seperti menyimpan ribuan kalimat yang tertahan sejak hari kematian Mira.

---

3. Tak Ada Mahkota, Hanya Luka

Praja memilih bekerja di balik layar. Ia membantu di dapur umum, membersihkan reruntuhan, menyelamatkan anak-anak dari tumpukan puing. Tapi tak pernah bicara tentang masa lalu. Ia hidup seperti bayangan yang bekerja.

Lysandra menyusul diam-diam, setiap malam. Kadang membawakan kopi. Kadang cuma duduk tanpa suara.

Sampai suatu malam, ia berkata:

> “Aku dulu mencintai kemenangan. Kini… aku mencintai orang yang membuatku tahu bahwa kita tak harus menang untuk tetap manusia.”

Praja menatap matanya. Untuk pertama kalinya, ia tak menjawab dengan filsafat atau sindiran. Ia hanya menggenggam tangan Lysandra.

---

4. Dunia Tak Butuh Dewa Lagi

Lesmana, Naresha, Dion—semuanya kini melihat bahwa rakyat kembali mendengar Praja. Tapi berbeda. Bukan karena ketakutan. Tapi karena dia memberi arah tanpa menunjuk.

Lysandra berdiri di sampingnya. Bukan di belakang, bukan di bawah. Ia tetap pemimpin, tetap pejuang. Tapi kini, dengan hati yang ia tahu—tak lagi sendiri.