Praja dan Naresha

Nafsu yang Berasal dari Luka

Tempat: Markas logistik – malam tenang setelah pendistribusian

Waktu: Seminggu setelah kembalinya Praja

---

Naresha memperhatikan dari kejauhan. Lysandra duduk di dekat api unggun kecil bersama Praja, menyerahkan cangkir kopi, lalu tertawa kecil saat tangan mereka bersentuhan.

Itu bukan adegan mencolok. Tapi cukup untuk menusuk diam.

Di malam yang sama, saat semua orang sudah mulai tertidur, Naresha mengetuk pintu tempat istirahat Praja. Ia berdiri dengan mata sembab, bukan karena tangis, tapi karena keyakinan yang hampir patah.

> “Kau tahu aku bukan orang yang pandai bersaing,” katanya lirih.

“Aku tak punya senyum lembut atau kata-kata penuh harapan seperti Lysandra. Tapi aku satu-satunya yang bertarung bersamamu di neraka, dan tetap tinggal.”

Praja berdiri. Diam. Tak menjawab.

> “Aku bukan ingin menang darinya. Aku cuma ingin kau tahu… aku juga punya rasa. Dan tubuh ini… bukan untuk dipuja. Tapi untuk kau ingat, ketika dunia mencoba membuatmu lupa siapa kau.”

Ia memegang tangan Praja, membawanya perlahan ke sisi ranjang.

> “Kau boleh anggap ini salah. Tapi... malam ini, aku hanya ingin menjadi manusia. Bukan prajurit. Bukan penyintas. Hanya seseorang… yang tak ingin kalah oleh kenangan.”

---

Malam itu, tak ada gairah yang membuncah. Yang ada hanya dua tubuh letih, saling menenangkan. Nafas pendek, pelukan sunyi. Naresha mencium kening Praja sebelum tertidur di dadanya.

> “Jangan cintai aku jika itu berarti meninggalkannya,” bisiknya. “Tapi ingat aku, kalau suatu hari dia tak bisa bertahan.”

---

Keesokan harinya, saat Naresha berjalan keluar dari ruangan Praja, ia bertemu mata Lysandra. Tak ada tuduhan. Tak ada permusuhan.

Hanya satu kebenaran diam di antara dua perempuan kuat:

Mereka sama-sama mencintai seseorang yang hampir kehilangan dirinya sendiri.