Tempat: Balkon belakang markas logistik – dini hari
Waktu: Sehari setelah malam Naresha dan Praja
---
Lysandra berdiri memandangi kota yang perlahan bernapas kembali. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Langkah kaki pelan membuatnya menoleh.
Naresha datang tanpa rias, tanpa jaket perang. Hanya hoodie kumal dan tatapan jujur.
> “Aku tahu kau melihatku keluar dari kamarnya.”
Lysandra tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopi yang sudah pahit.
> “Aku tak minta maaf,” lanjut Naresha. “Dan aku tahu kau tak marah. Tapi kita harus bicara. Sebelum diam ini jadi senjata yang melukai kita semua.”
Lysandra menarik napas dalam.
> “Aku tahu dia tak sepenuhnya mencintaiku, Resha. Tapi dia pulang. Dan waktu itu… aku peluk dia seolah itu cukup.”
Naresha duduk di pagar beton, menatap bulan.
> “Aku bukan mau rebut dia. Aku hanya… butuh alasan untuk merasa masih hidup. Di tubuhnya, aku merasa masih punya tempat.”
Lysandra mengangguk pelan.
> “Dan aku, dalam pelukannya… justru merasa lebih sendirian dari sebelumnya.”
Diam membungkus mereka sejenak. Lalu Lysandra melanjutkan:
> “Kita berdua tidak salah. Tapi dia juga bukan hadiah yang harus diperebutkan. Kita mencintai prajurit yang telah mati. Yang kembali… hanya bayangannya.”
Naresha tersenyum pahit.
> “Mungkin benar. Tapi kadang... kita mencintai bukan untuk dimiliki, tapi untuk memastikan dia tidak sepenuhnya hilang.”
Lysandra mengulurkan tangan. Naresha menggenggamnya.
Tak ada janji. Tak ada akhir bahagia. Hanya dua perempuan yang berdamai dalam luka yang sama.