Percakan Dua wanita

Satu Jiwa, Dua Bayangan

Tempat: Gudang tua bekas logistik – malam hari

Waktu: Beberapa hari setelah percakapan Lysandra dan Naresha

Praja sedang membongkar kotak persediaan saat langkah pelan mendekat. Dion hanya memberi isyarat mata sebelum meninggalkan ruangan. Lysandra dan Naresha berdiri di ambang pintu—bersama.

Praja langsung tahu.

> “Jadi… kalian sudah bicara.”

Lysandra mengangguk. Naresha tetap diam, tapi tatapannya tak lagi menyimpan amarah, hanya letih yang dipeluk pengertian.

> “Kami tak ingin membuatmu memilih,” kata Lysandra. “Kami hanya tak mau kamu memikul beban yang bahkan kami sendiri tak tahu cara menyebutnya.”

Praja menatap keduanya. Mata itu, mata seorang prajurit yang pernah membunuh demi ideologi, sekarang hanya penuh kelelahan dan kejujuran yang tak lagi bisa ditutupi dengan filsafat.

> “Kalian berdua mencintaiku bukan karena aku utuh. Tapi karena aku hancur dan tetap berjalan.”

Ia duduk di tumpukan peti kayu, menarik napas dalam.

> “Aku... tak pernah merasa pantas dimiliki. Tidak oleh siapa pun. Tapi kalau dunia ini masih bisa diselamatkan oleh kejujuran seperti kalian, maka biarlah aku tetap di tengah api, bukan di dalam pelukan.”

> “Praja…” bisik Naresha.

> “Aku tidak menolak kalian. Tapi aku juga tak bisa menjadi ‘milik’ siapa pun. Aku terlalu penuh dengan kematian untuk hidup seperti manusia biasa.”

Lysandra melangkah mendekat. Ia menyentuh bahu Praja, lembut.

> “Kami tidak datang untuk memiliki. Kami datang agar kamu tak perlu lagi sendirian.”

Dan untuk pertama kalinya, setelah semua kekacauan yang pernah mereka lalui, Praja menunduk—dan menangis dalam diam.