Malam jatuh nyaris tanpa suara. Di antara reruntuhan gudang tua, ketegangan yang menggantung nyaris seperti asap yang tak terbaca.
Lalu terdengar derit pelan dari pintu kayu. Seorang pria muncul, mengenakan jaket kusam yang masih menyimpan debu jalanan. Tangannya membawa dua gelas kopi hangat dan sebungkus rokok yang terlipat di saku jaketnya.
Lesmana melangkah masuk tanpa berkata apa pun. Ia hanya menaruh satu gelas di meja, menyodorkannya ke arah Praja. Yang lain menoleh.
> “Kopi pahit. Aku tidak tahu apakah ini bisa membantu, tapi setidaknya ini lebih jujur daripada janji politik,” katanya datar.
Praja menerima gelas itu tanpa bicara. Lesmana duduk, mengeluarkan rokok, dan menyalakannya. Asap tipis naik ke langit-langit yang retak.
> “Kalian semua terlihat lelah,” ujarnya tenang, tanpa ekspresi. “Bukan lelah karena tubuh... tapi karena terlalu sering menahan hal-hal yang tak bisa diucapkan.”
Naresha menatapnya, mencoba membaca maksudnya. Lysandra hanya memalingkan wajah, menyembunyikan sesuatu yang mungkin terlalu pribadi.
> “Aku tidak datang untuk menjadi bagian dari percakapan yang belum selesai,” Lesmana melanjutkan. “Aku hanya ingin berada di tempat di mana orang tidak berpura-pura baik-baik saja.”
Diam.
Hanya suara angin dan bunyi rokok yang dibakar perlahan.
> “Dunia tidak akan membaik karena kita menang. Dan tidak akan runtuh hanya karena kita lelah. Tapi kalau malam-malam seperti ini masih bisa terjadi—dimana kita duduk, bernapas, dan tidak saling membunuh—mungkin, kita belum sepenuhnya hancur.”
Praja menatap Lesmana. Tak ada tanya. Tak ada perdebatan. Hanya pemahaman sunyi.
Dan malam itu, di antara gelas-gelas kopi dan abu rokok, mereka bukan lagi penyintas, bukan pemimpin, bukan simbol. Hanya manusia.