Filsafat

Percakapan di Antara Abu dan Kopi

Asap rokok mengepul pelan, memenuhi udara dingin malam. Lesmana menghirup dalam-dalam, lalu memandang Praja dengan tatapan yang tak lekang oleh waktu.

> “Kau tahu,” Lesmana mulai, suaranya datar tapi penuh arti, “banyak yang percaya bahwa bertahan hidup adalah kemenangan tertinggi. Tapi aku melihatnya berbeda. Bertahan hidup... itu justru kutukan.”

Praja mengangkat gelas kopi perlahan. Ia menatap cairan hitam itu sejenak, lalu berkata, “Kutukan karena terus dipaksa berlari, tapi tak pernah tahu arah. Kutukan karena harus memilih antara menjadi manusia atau simbol.”

Lesmana mengangguk pelan.

> “Kita ini seperti bayang-bayang di dinding gua Plato. Terus menari dan berusaha meyakinkan diri, tapi lupa bahwa kita hanya melihat pantulan. Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang nyata.”

> “Maka dari itu, aku tak ingin menang.” Praja menatap jauh ke depan. “Menang berarti menjadi dewa kecil di dunia yang telah hancur, dan aku sudah muak menjadi dewa.”

Lesmana menghembuskan asap rokok, perlahan.

> “Aku percaya, justru di saat kita berhenti berpura-pura kuat, kita mulai merasakan kebebasan. Kebebasan untuk menjadi rapuh. Kebebasan untuk gagal. Dan dari kegagalan itulah kita menemukan manusia sejati.”

Praja tersenyum samar.

> “Mungkin... kita harus berhenti melawan dunia, dan mulai melawan diri sendiri.”

Lesmana menyipitkan mata.

> “Perjuangan terbesar bukan melawan musuh di luar, tapi melawan bayangan kita sendiri.”

Diam.

Hanya bunyi tetesan kopi yang menetes perlahan.

Malam itu, dua manusia luka berbicara bukan sebagai pahlawan atau legenda, tapi sebagai jiwa yang mencari arti di tengah reruntuhan dunia yang keras dan kejam.