Gejolak batin

Di Balik Bayang-Bayang: Batin Naresha

Di lorong gelap, Naresha berdiri terpaku, tubuhnya membeku oleh rasa cemburu dan kebingungan. Ia mendengar suara samar dari ruangan kecil itu — suara dua pria yang dulu ia percaya sebagai pahlawan.

> “Kenapa aku merasa seperti ini?” pikirnya. “Mengapa rasa ini tiba-tiba menusuk dada? Bukankah aku seharusnya mendukung Praja? Tapi ada Lysandra... dan Lesmana. Mereka semua terlalu dekat, terlalu erat.”

Naresha menggigit bibirnya, menahan amarah yang bergejolak sekaligus rasa rindu yang tak bisa diucapkan.

> “Apakah aku hanya bayang-bayang yang berusaha menyalip sinar mereka? Atau aku justru terluka karena takut kehilangan sesuatu yang tak pernah benar-benar kumiliki?”

Seketika, ia menatap tangannya sendiri, bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya aku cari? Kekuasaan? Cinta? Atau sekadar arti keberadaanku?”

---

Kesunyian Lysandra

Di ujung koridor lain, Lysandra berdiri dengan pandangan kosong, memandang arah suara dari kejauhan. Matanya berkaca-kaca, tapi wajahnya tenang, seolah menerima kenyataan yang keras.

> “Praja… Dia bukan milikku, dan aku bukan miliknya,” pikir Lysandra. “Malam-malam aku datang, membawakan kopi dan kata-kata sunyi, tapi aku tahu, dia adalah pria yang terperangkap antara harapan dan penderitaan.”

Ia menarik napas dalam, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia cukup kuat untuk berdiri di sampingnya, tanpa harus memilikinya.

> “Aku mencintainya bukan karena aku ingin memilikinya, tapi karena aku ingin dia tetap manusiawi. Dalam dunia yang kejam ini, itu saja sudah cukup.”

Diam-diam, Lysandra melangkah perlahan menjauh, menyiapkan dirinya untuk kembali berperang — bukan hanya melawan musuh, tapi juga melawan rasa yang tak pernah mudah dijelaskan.

Naresha: Antara Hasrat dan Harga Diri

Di balik bayangan reruntuhan, Naresha menutup matanya, mencoba menahan riak gelombang yang tak henti menghantam jiwanya. Ia bukan gadis lemah yang menggantungkan hidup pada siapa pun. Tapi kali ini, dirinya retak perlahan.

> “Aku bisa membaca arah angin… tapi tak pernah bisa membaca hati manusia,” batinnya getir. “Dia tak menolak… tapi juga tak memberi tempat.”

Tubuhnya masih terbungkus keberanian, tapi pikirannya mulai goyah. Malam itu, ketika ia nyaris menyandarkan kepalanya di dada Praja, ia merasa begitu rapuh—bukan karena cinta, tapi karena ia membenci ketakpastian.

> “Jika aku hanya alat perang… maka biarkan aku rusak. Tapi jika aku manusia… kenapa tak ada yang melihatku sebagai manusia juga?”

Ia menatap tangannya sendiri, yang dulu memegang senapan dan darah, kini menggenggam kosong, menggigil oleh ketidaksabaran dan luka yang tak kasatmata.

---

Lysandra: Tenang Tapi Tersayat

Di sisi lain, Lysandra duduk di sebuah bangku tua yang nyaris lapuk, di bawah sisa pohon yang masih bertahan di tengah kehancuran kota. Senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum yang menyimpan ribuan luka diam.

> “Aku tak butuh dia memilikiku. Aku hanya ingin dia tahu bahwa aku tetap di sini.”

Tapi setiap langkah kecil Naresha ke arah Praja membuat hatinya tercabik.

> “Apa artinya setia jika yang kau tunggu tak pernah menoleh?”

Ia tak menangis. Air mata sudah lama berhenti mengalir sejak malam Mira mati. Tapi luka yang ditinggalkan bukan karena kematian, melainkan karena kehidupan yang terus memaksa ia mengalah.

> “Cinta yang tak diucap… seringkali hanya menjadi hantu yang menyiksa mereka yang terlalu hidup.”

Lysandra menghela napas, menggenggam secarik kertas lusuh berisi peta logistik, seolah menutupi hatinya yang ingin bicara, tapi tak punya tempat untuk bersuara.