Isi hati naresha

Lesmana: Saat Matahari Tak Perlu Menyala Terang untuk Membakar

Keesokan paginya, Lesmana berdiri di halaman bekas pos logistik, menghadap matahari pagi yang belum sepenuhnya terbit. Rambutnya basah oleh embun, tapi wajahnya tajam, tenang, dan... berbeda.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya duduk di atas tumpukan kayu, merokok pelan. Tapi tatapannya membuat semua orang menyingkir setengah langkah, seolah aura kehadirannya lebih keras dari ledakan.

Naresha melihatnya dari kejauhan. Untuk pertama kalinya, dadanya berdetak tak karuan.

> “Kenapa aku baru lihat dia seperti ini?” pikirnya. “Dia... seperti luka yang tak pernah berteriak, tapi semua orang bisa dengar.”

Tak ada pujian. Tak ada lelucon. Hanya keheningan yang menggantung, dan sikap Lesmana yang tiba-tiba terasa seperti poros dunia.

Naresha melangkah mendekat, ragu. Tapi ia membuka percakapan, dengan suara yang tak biasanya lembut.

> “Kopi dan rokok itu... pelarian, atau pengikat realitas?”

Lesmana tidak menoleh. Ia hanya menjawab tanpa melihat:

> “Keduanya. Pelarian dari kebisingan, pengikat agar aku tidak ikut larut dalam kebisingan itu sendiri.”

Ada sesuatu dalam nada itu—dalam kesederhanaannya, dalam keberanian mengakui luka tanpa membentenginya.

Dan entah mengapa, Naresha tersenyum. Untuk pertama kalinya, bukan karena kemenangan, bukan karena pengaruh, tapi karena ia merasa... mengerti.

Malam yang Tak Minta Jawaban

Angin malam menyelinap masuk lewat jendela yang setengah terbuka. Lesmana masih duduk di ruang penyimpanan tua, rokoknya tinggal abu, kopinya sudah dingin.

Naresha berdiri di ambang pintu, memandangi siluetnya dalam cahaya remang. Ia tidak lagi membawa basa-basi. Ia tidak lagi menahan rasa yang entah sejak kapan tumbuh diam-diam.

Ia melangkah pelan, duduk di samping Lesmana. Tak berkata apa-apa, sampai akhirnya suaranya pecah dalam kelembutan.

> “Aku lelah kuat sendirian.”

Lesmana menoleh, pelan, tapi tak menjawab.

> “Boleh aku... tidur bersamamu malam ini? Bukan karena aku lemah. Tapi karena aku ingin merasa ada, tanpa harus menjelaskan apa-apa.”

Hening menelan sisa malam.

Lesmana tak bicara. Ia hanya menatap mata Naresha lama sekali, seolah mencari sesuatu yang jauh di dalam sana—dan akhirnya mengangguk perlahan.

Ia bangkit. Mengulurkan tangan.

Tak ada api. Tak ada ledakan. Hanya dua jiwa yang sepakat untuk hening bersama.

Malam itu, pintu ruangan tertutup pelan. Bukan untuk menyembunyikan, tapi untuk mengizinkan kejujuran tumbuh tanpa gangguan.