Langit Tak Lagi Abu, Tapi Juga Tak Sepenuhnya Biru
Di beranda belakang markas logistik yang menghadap ke reruntuhan kota, empat orang duduk dalam lingkaran sunyi. Praja menyandarkan tubuhnya di kursi besi tua, tatapannya menerawang kosong. Lesmana di sebelahnya, masih memegang rokok yang belum dinyalakan. Naresha menggenggam cangkir kopi dingin yang tak lagi ia hiraukan. Lysandra duduk bersila di lantai, menatap peta kota yang telah dicoret-coret berkali-kali.
Hening itu dipecahkan oleh suara radio genggam di tangan Lesmana.
> "Les, ini Dion. Aku di pusat kota. Kita punya masalah."
Lesmana menekan tombol.
> “Katakan.”
> "Salim dan Dira. Mereka menyusun barisan. Gerakan kecil, tapi cepat. Warga mulai ikut. Mereka bilang kita mengkhianati perjuangan—bahwa kalian hanya membentuk kekuasaan baru."
Praja mengangkat alis tipis.
> “Retorika lama. Tapi selalu berhasil.”
> "Mereka sedang menguasai jalan-jalan strategis. Terutama pos bahan makanan yang sempat kita bangun awal. Yang dulu jadi lambang kepercayaan warga. Mereka ingin simbol kita hancur."
Lesmana tak menjawab seketika. Ia hanya menatap matahari pagi yang muncul perlahan di balik gedung-gedung tua, lalu berujar lirih:
> “Lagi-lagi, kekacauan lahir bukan karena kurangnya aturan. Tapi karena orang mulai kehilangan arti kepercayaan.”
Lysandra menunduk.
> “Aku sudah duga... kemenangan itu cuma jeda. Bukan akhir.”
Naresha menatap Praja, yang kini mengambil radio itu.
> “Dion, tetap di sana. Jangan bentrok. Dokumentasikan, dengarkan, dan jangan biarkan satu pun rakyat merasa dibungkam.”
> "Kau yakin, Praja? Mereka mulai bersenjata."
> “Justru karena itu. Kalau mereka memulai dengan peluru, kita balas dengan alasan. Jika kita kalah... kita kalah sebagai manusia, bukan sebagai penguasa.”
Lesmana berdiri, langkahnya berat namun pasti.
> “Mari kita buktikan… bahwa kepercayaan tidak dibangun dari kekuatan. Tapi dari keberanian untuk tetap berdiri, bahkan saat seluruh dunia menyalahkanmu.”
Empat sosok itu, dalam diam yang penuh beban, bersiap. Bukan untuk perang. Tapi untuk membuktikan bahwa revolusi sejati bukan soal menggulingkan kekuasaan—melainkan menjaga makna setelahnya.