Percakapan

Senja Tanpa Teriakan

Malam turun perlahan. Di loteng markas yang remang dan penuh debu, hanya ada dua kursi tua dan satu meja kecil. Lesmana duduk sambil menyalakan rokok. Praja berdiri memandangi jendela terbuka, melihat lampu-lampu kota yang berkedip seperti nyawa-nyawa yang masih bertahan.

Hening lama menggantung. Lalu Lesmana bicara, suaranya pelan.

> “Kau tahu… kadang aku iri pada mereka yang marah dengan lantang. Yang percaya bahwa dunia bisa diatur dengan teriakan dan api.”

Praja tidak menoleh. Ia hanya menjawab datar:

> “Karena itu lebih mudah daripada duduk dan berpikir.”

Lesmana mengangguk, menghisap rokoknya dalam-dalam.

> “Tapi berpikir terlalu banyak juga kutukan. Aku lelah, Praja. Lelah menjadi suara yang tak pernah keras tapi selalu diminta menjawab.”

Praja menarik napas panjang, lalu duduk di seberangnya.

> “Aku tahu. Aku juga lelah. Bukan pada pertempuran... tapi pada harapan yang harus kita bawa terus, bahkan ketika tak satu pun dari kita mempercayainya lagi.”

Lesmana menatapnya, tajam tapi tidak menghakimi.

> “Apa yang kau percaya sekarang?”

Praja diam sejenak. Tangannya mengusap debu di atas meja, lalu berkata:

> “Bahwa yang bisa kita jaga hanyalah cara kita jatuh. Jika kita jatuh tetap sebagai manusia... itu cukup.”

Lesmana tertawa pelan, getir.

> “Filsafat murung seperti itu... mungkin yang menyelamatkan kita dari gila.”

> “Atau justru membuat kita terlalu waras, dalam dunia yang menikmati kegilaan.”

Hening lagi. Lalu Lesmana meletakkan rokoknya, dan menatap mata Praja.

> “Kau akan turun ke kota?”

> “Ya. Tapi bukan untuk menang. Untuk melihat apakah masih ada yang bisa kita selamatkan.”

> “Dan jika tak ada?”

Praja berdiri, perlahan.

> “Maka kita pergi tanpa nama. Tapi dengan harga diri yang tak pernah kita jual.”

Lesmana mengangguk. Tatapannya dingin, tapi matanya... nyala kecil itu belum padam.