Percakapan lysandra dan naresha

Malam itu, Lysandra duduk di balkon lantai dua, memandangi kota yang seperti napas panjang yang tersendat. Di tangannya secangkir kopi yang mulai dingin, dan di dadanya… sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Naresha datang dari belakang, tanpa suara, duduk di kursi sebelah. Tak ada basa-basi. Hanya diam yang mengikat.

> “Kau juga merasa… mereka akan pergi?” tanya Lysandra akhirnya, pelan, seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.

Naresha mengangguk pelan.

> “Mereka tidak cocok dengan dunia yang terus mencari pahlawan untuk disalahkan setelah semuanya selesai.”

Lysandra menatap jauh, matanya tak berair tapi sesak.

> “Lesmana tidak pernah ingin jadi apapun. Tapi keheningannya memaksa orang menatap. Sementara Praja... dia sudah terlalu sering berdiri di garis depan. Tapi tak pernah tinggal untuk berpesta.”

> “Mereka seperti dua bayangan yang saling mengenal... tapi juga saling menjauh.”

Naresha menghela napas.

> “Aku ingin mendekat. Ingin menjadi rumah bagi salah satunya... Tapi mereka tidak mencari rumah. Mereka mencari alasan untuk tetap menjadi manusia.”

Keheningan kembali. Lalu Lysandra menoleh, suaranya agak gemetar.

> “Jika mereka pergi, tanpa pesan, tanpa pelukan, tanpa janji—apa kita harus marah?”

Naresha menjawab tanpa menatap.

> “Tidak. Tapi kita boleh kecewa. Karena mencintai orang yang tidak ingin dimiliki... adalah luka yang paling jujur.”

---

Malam makin sunyi. Di bawah sana, dua bayangan berjalan menyusuri gang kota, bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai simbol. Tapi sebagai manusia biasa yang tahu: dunia kadang tidak perlu diselamatkan—cukup diingat bahwa kita pernah berjuang dengan hati yang tidak mati.