"Tembakan yang Membakar Api"
Tempat: Alun-Alun Pusat Kota
Waktu: Siang hari, saat pidato publik Lesmana
Lesmana berdiri tenang di podium kecil yang terbuat dari kayu sederhana. Mata warga tertuju padanya, menunggu setiap kata dengan penuh harap dan kecemasan.
> Lesmana (tenang, tatapan tajam)
“Kalian bertanya apakah lebih baik hidup dalam kestabilan palsu daripada kebebasan yang tak nyaman? Jawabanku sederhana: hidup tanpa kebebasan adalah mati sebelum kalian benar-benar mati.”
Warga mulai berbisik-bisik, merenungkan kata-katanya. Namun, di tengah ketenangan itu tiba-tiba suara letusan keras membelah udara.
BANG!
Lesmana terjatuh ke belakang dengan keras, darah merah mengalir dari pundaknya. Semua orang menjerit, panik memenuhi lapangan.
Naresha berlari secepat kilat menuju Lesmana yang terjatuh, menangis tersedu-sedu. Ia mencoba menutup luka itu dengan tangannya yang gemetar.
> Naresha (sambil menangis, panik)
“Lesmana… Tidak! Jangan mati… kumohon!”
Lesmana menatap Naresha dengan napas terengah, tersenyum pahit, wajahnya tetap tenang meski pucat menahan sakit.
Sementara itu, Praja, tanpa sepatah kata pun, langsung melesat maju. Wajahnya yang biasanya dingin kini membara oleh amarah. Ia menerjang ke arah panggung di mana Panglima Zorathia berdiri dengan senapan laras panjang di tangannya.
> Praja (suara bergetar karena emosi)
“Kau telah melampaui batas!”
Tanpa ragu, Praja menghajar Panglima itu dengan pukulan keras bertubi-tubi. Panglima jatuh ke tanah, tak mampu melawan amukan Praja yang diliputi amarah. Beberapa warga dan petugas akhirnya turun tangan, menarik Praja menjauh sebelum ia membunuh sang Panglima di tempat.
Dion dan Lysandra bergerak cepat, segera mengangkat Lesmana ke tandu darurat menuju pusat pengobatan. Naresha ikut berlari di sisinya, air matanya masih berlinang.
Praja berdiri dengan napas memburu, kepalan tangannya berlumuran darah si Panglima. Matanya menatap tajam ke arah rombongan Zorathia dengan tatapan yang membuat semua terdiam.
> Praja (dengan suara penuh ancaman)
“Jika kalian ingin perang, maka perang yang akan kalian dapatkan. Tapi ingat, kalian yang memulai.”
"Di Antara Hidup dan Mati"
Lokasi: Pusat Pengobatan Darurat – Ruangan kecil dengan penerangan seadanya
Waktu: Senja menjelang malam setelah penembakan
Suasana ruangan penuh kepanikan. Lesmana dibaringkan di atas ranjang medis yang sempit, darah membasahi perban yang baru dipasang dengan tergesa-gesa. Sejumlah dokter dan relawan medis bergerak cepat, tangan mereka sibuk dengan berbagai peralatan sederhana.
Naresha berdiri dekat ranjang, tubuhnya gemetar hebat, tangannya berlumuran darah Lesmana. Ia terus menangis tersedu-sedu, sesekali berteriak kecil penuh keputusasaan.
> Naresha (dengan suara parau karena tangis)
"Tolong dia… jangan biarkan dia pergi. Aku tidak bisa kehilangan dia seperti ini… tidak seperti ini!"
Lysandra mencoba menenangkan Naresha, merangkul pundaknya lembut, meski matanya sendiri berkaca-kaca.
> Lysandra (tenang, tapi suaranya bergetar)
"Dia akan bertahan. Lesmana orang kuat…"
Di sudut ruangan, Praja berdiri diam, tatapannya kosong, tapi penuh amarah yang terpendam. Tangannya masih gemetar—bukan karena takut, tapi karena menahan emosi yang luar biasa besar.
Dion masuk tergesa-gesa membawa kotak medis tambahan, wajahnya panik dan lelah.
> Dion (berteriak kepada tim medis)
"Kalian butuh apa lagi? Katakan, aku akan cari sekarang!"
Seorang dokter dengan wajah serius menjawab tegas.
> "Kita perlu darah segar. Dia kehilangan terlalu banyak darah. Segera!"
Tanpa ragu, Praja maju selangkah.
> Praja (tegas, suara bergetar)
"Ambil dari saya, sekarang."
Dokter segera memasangkan alat transfusi darurat dari tubuh Praja ke Lesmana. Darah mengalir pelan. Suasana ruangan hening, tegang, semua mata tertuju pada wajah Lesmana yang pucat pasi.
Naresha duduk di lantai sambil memeluk lututnya, tak berhenti menangis. Lysandra duduk di dekatnya, mencoba memberikan dukungan diam-diam. Dion terus sibuk membantu para dokter.
Praja menatap Lesmana dalam diam, pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu yang penuh perjuangan dan penderitaan. Dalam benaknya terbersit satu kalimat pedih:
> "Kita sudah kehilangan terlalu banyak untuk bertahan. Jangan kau pergi juga…"
Lesmana masih tak sadarkan diri, napasnya lemah, perlahan, tapi masih ada.
---