"Klimaks: Membayar Kebebasan dengan Darah"
Lokasi: Pusat Kota, Alun-Alun Utama
Waktu: Malam, api dan asap memenuhi kota yang terkepung
Pertempuran mencapai puncaknya. Jalan-jalan dipenuhi puing-puing, kendaraan yang terbakar, dan jeritan warga yang mencoba bertahan hidup. Pasukan Zorathia terus mendesak dengan kekuatan besar, bertekad menghancurkan semangat perlawanan rakyat yang masih tersisa.
Di tengah medan perang, Praja berdiri teguh, tubuhnya luka di berbagai tempat, namun semangatnya tetap menyala terang. Ia maju dengan keberanian yang luar biasa, memimpin perlawanan tanpa rasa takut.
> Praja: (berteriak keras, memimpin pasukan penyintas)
"Kita tidak mundur! Kita sudah kehilangan terlalu banyak—kita tidak akan menyerahkan kebebasan ini!"
Di sisi lain alun-alun, Lysandra mempertahankan posisi dengan gagah berani, memberikan aba-aba strategis, menenangkan warga yang panik sambil bertarung sengit dengan pasukan lawan.
Sementara Naresha bertarung dengan kombinasi keberanian dan keputusasaan, ia terus maju tanpa ragu, serangannya ganas, matanya dipenuhi amarah sekaligus rasa takut akan kehilangan.
> Naresha: (berteriak lantang, dengan amarah bercampur duka)
"Kalian tidak akan mengambil lagi yang tersisa dari kami!"
Namun, pasukan Zorathia tak surut, serangan mereka semakin kuat. Panglima mereka kembali muncul dengan senjata berat, siap memberikan serangan terakhir yang mematikan.
Praja menyadari bahwa inilah momen penentu. Ia maju sendiri, bertemu langsung dengan sang Panglima di tengah medan tempur yang kacau.
> Praja: (tajam, dingin)
"Kau sudah mengambil cukup banyak nyawa. Ini berakhir sekarang!"
Keduanya bertarung dengan sengit, tembakan demi tembakan, pukulan demi pukulan. Pada akhirnya, dalam gerakan cepat dan tegas, Praja berhasil melumpuhkan panglima Zorathia, membuat pasukan musuh kehilangan arah.
Menyaksikan pemimpin mereka tumbang, moral pasukan Zorathia langsung jatuh. Pertahanan mereka mulai goyah, mundur perlahan dengan kebingungan.
Melihat peluang ini, Lysandra dan Naresha segera memerintahkan penyintas untuk menyerbu maju, mendorong sisa-sisa pasukan Zorathia keluar dari kota.
Di tengah alun-alun yang dipenuhi asap dan api, Praja berdiri kelelahan, tubuhnya penuh luka, tapi ia sadar mereka telah menang—untuk kali ini.
Namun kemenangan itu tidak sepenuhnya manis, karena harga yang mereka bayar sangat tinggi. Kota terbakar, warga terluka, dan di tengah reruntuhan, kebebasan terasa jauh lebih mahal daripada yang pernah mereka bayangkan.