Kelumpuhan Pasukan

"Kegelapan di Ujung Cahaya"

Lokasi: Alun-Alun Pusat Kota – Malam Hari

Waktu: Beberapa jam setelah kemenangan pertama yang singkat

Kemenangan sementara berubah menjadi mimpi buruk. Tanpa diduga, Zorathia kembali menyerang—kali ini dengan kekuatan jauh lebih besar dan terorganisir. Pasukan baru masuk dari segala arah dengan senjata berat, mengepung kota dan mematahkan setiap perlawanan dalam hitungan menit.

Dalam kekacauan yang tiba-tiba itu, Praja, Lysandra, dan Naresha berusaha bertahan. Tetapi kekuatan mereka terkuras habis, terlalu lelah setelah pertempuran sebelumnya. Satu demi satu, mereka akhirnya dilumpuhkan oleh serangan cepat dari pasukan elite Zorathia.

Tangan Praja, Lysandra, dan Naresha diikat erat di belakang tubuh mereka, dipaksa berlutut di tengah alun-alun yang dipenuhi puing dan api. Panglima baru Zorathia berdiri di hadapan mereka dengan wajah puas.

> Panglima Zorathia: (dengan suara keras, penuh kebencian)

"Hari ini adalah akhir dari pemberontakan kalian! Dunia tidak butuh idealis yang hanya bisa menyulut kekacauan!"

Naresha menatap panglima dengan mata menyala penuh kebencian dan amarah.

> Naresha: (membentak penuh dendam)

"Kau boleh membunuh kami, tapi kau tak akan pernah membunuh semangat kami!"

Panglima tertawa keras, lalu memberi tanda kepada pasukannya untuk mempersiapkan eksekusi. Senjata diarahkan pada kepala mereka bertiga. Praja dan Lysandra saling menatap dalam diam, keduanya sadar ini mungkin akhir dari perjuangan mereka.

> Lysandra: (lembut, suara gemetar namun tenang)

"Kita tak gagal. Kita hanya membayar harga yang mahal untuk apa yang kita yakini."

Praja menggigit bibirnya keras, menatap tanah, napasnya memburu.

> Praja: (lirih, penuh penyesalan)

"Aku hanya berharap kita bisa menyelesaikan ini dengan lebih baik."

Detik-detik terasa panjang. Jari-jari tentara mulai menyentuh pelatuk senjata. Mereka bertiga memejamkan mata, siap menghadapi kematian yang segera datang.

Tapi di saat itu, tiba-tiba suara keras terdengar dari arah timur kota, tembakan senjata beruntun. Pasukan Zorathia tiba-tiba berteriak panik. Suara ledakan dan tembakan semakin jelas.

Satu sosok terluka namun berdiri tegap muncul dari balik asap tebal—Lesmana, didukung oleh Dion dan warga sipil yang tersisa. Lesmana menggenggam senjata kecil di tangan yang masih gemetar.

> Lesmana: (teriak keras, suara penuh emosi)

"Tidak ada yang mati hari ini! Selama aku masih bernapas, kebebasan tidak akan mati bersama kalian!"

Panglima Zorathia mundur kaget, pasukannya bingung dan kacau oleh serangan mendadak ini.

Situasi berubah kembali menjadi pertarungan sengit. Kali ini, dengan kekuatan terakhir, Lesmana datang untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya dari kematian di tangan musuh.