Lokasi: Alun-Alun Kota – Malam, Api Menyala Terang
Waktu: Puncak Pertempuran, suasana penuh asap dan kekacauan
Lesmana melangkah maju perlahan dari balik asap tebal, tubuhnya terluka, wajahnya pucat, tetapi matanya menyala dengan tekad yang membara. Dion dan warga sipil berdiri di belakangnya dengan senjata sederhana, namun semangat mereka begitu kuat hingga pasukan Zorathia mundur selangkah penuh ketakutan.
Lesmana memandang panglima Zorathia yang berdiri tertegun di tengah pasukannya, ekspresinya berubah dari sombong menjadi penuh keraguan.
> Lesmana: (teriakan penuh kemarahan dan emosi)
"Kalian datang ke sini menawarkan kestabilan palsu. Kalian coba mengambil segalanya—nyawa, kebebasan, bahkan harapan. Tapi kalian lupa, harapan kami tidak akan mati begitu saja!"
Tanpa ragu, Lesmana menerjang maju, menghantam langsung ke arah panglima Zorathia. Pertarungan keduanya langsung pecah dengan dahsyat. Pukulan demi pukulan dilancarkan penuh emosi, dentingan senjata, dan teriakan perlawanan terdengar jelas di tengah kobaran api.
Di tengah pertempuran itu, Naresha menatap dari tempatnya berlutut. Ia menangis tersedu-sedu, air matanya bercampur debu dan darah. Namun, kali ini bukan tangisan putus asa—tapi tangisan haru, penuh rasa cinta dan kekaguman yang mendalam.
> Naresha: (dengan suara yang patah-patah karena tangisan)
"Lesmana... bertahanlah... Aku tak sanggup kehilanganmu lagi!"
Lesmana terus bertarung, walau tubuhnya terluka parah. Dalam momen genting, dengan satu gerakan terakhir yang penuh tenaga dan tekad, ia berhasil menjatuhkan sang panglima. Senjata sang panglima jatuh ke tanah, terlepas dari genggamannya. Ia akhirnya roboh, menyerah dalam kelelahan.
Pasukan Zorathia mundur dalam kebingungan dan panik, kehilangan arah setelah pemimpin mereka jatuh. Perlahan, mereka menarik mundur pasukannya, meninggalkan kota yang terbakar, kembali dalam pelukan warga dan para penyintas.
Lesmana jatuh berlutut ke tanah, kelelahan. Napasnya pendek-pendek. Naresha yang sudah dibebaskan dari ikatannya segera berlari ke arah Lesmana, merangkulnya erat.
> Naresha: (menangis haru, penuh kelegaan)
"Kau berhasil... Kau menyelamatkan kami semua."
Lesmana tersenyum tipis, wajahnya pucat namun tenang, lalu membisikkan lirih kepada Naresha:
> Lesmana:
"Aku tidak akan membiarkanmu sendirian..."
Praja dan Lysandra menghampiri mereka perlahan, luka di tubuh mereka tampak jelas, namun wajah mereka dipenuhi kelegaan.
> Praja: (dengan suara penuh rasa hormat)
"Kali ini kau yang menyelamatkan kami, Lesmana."
Lesmana hanya mengangguk pelan, lalu perlahan ia rebah, kesadarannya mulai kabur karena kelelahan ekstrem. Namun, di tengah kesadaran yang makin pudar, ia tahu bahwa mereka telah menang—kali ini, dengan pengorbanan yang hampir menghancurkan semuanya.
Di tengah api yang mulai meredup, mereka semua berdiri bersama—luka, tapi masih hidup, dengan harapan bahwa esok masih ada.