Lokasi: Markas Medis Darurat, Beberapa Hari Setelah Pertempuran
Waktu: Senja yang tenang, pertama kalinya setelah kekacauan panjang
Lesmana terbaring di ranjang sederhana, luka-lukanya mulai membaik meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Sinar senja masuk lewat jendela kecil, membasuh ruangan dengan cahaya hangat yang lembut. Di samping ranjang, Naresha duduk diam, menatap Lesmana yang terpejam dengan napas tenang.
Tangannya menggenggam tangan Lesmana, jemarinya hangat, penuh rasa rindu yang mendalam.
> Naresha: (suara lirih, hampir berbisik)
"Aku pikir aku akan kehilanganmu... Aku tak tahu apakah aku bisa melanjutkan semua ini tanpamu..."
Lesmana membuka matanya perlahan, memandang Naresha dengan senyum tipis yang lembut. Suaranya masih lemah, tapi jelas.
> Lesmana:
"Aku... juga takut tak akan melihatmu lagi. Tapi aku janji padamu, aku tidak akan pergi begitu saja..."
Air mata Naresha menetes, tapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan kelegaan yang dalam. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Lesmana, membiarkan tubuhnya yang lelah bersandar sejenak.
> Naresha: (suara patah-patah, penuh emosi)
"Kau... bukan hanya pahlawan bagi mereka... Kau adalah rumah bagiku. Dan aku... aku ingin jadi alasanmu untuk bertahan, untuk pulang..."
Lesmana terdiam sejenak, lalu dengan sisa tenaga, ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Naresha dengan lembut.
> Lesmana: (suara lemah tapi penuh keyakinan)
"Kau sudah jadi alasanku... untuk tetap berdiri... untuk tetap percaya bahwa dunia ini masih punya makna..."
Di luar, suara anak-anak penyintas mulai terdengar bermain di jalanan, burung-burung kembali berkicau di langit yang kini bersih dari asap dan api. Senja itu menjadi saksi kebersamaan dua manusia yang bertahan bukan karena kekuatan, melainkan karena keberanian untuk tetap percaya pada satu sama lain.