Lokasi: Alun-Alun Kota yang Kini Bersih dari Asap dan Api
Waktu: Pagi yang cerah, beberapa hari setelah pertempuran besar
Pagi itu, cahaya matahari menembus sisa reruntuhan kota. Tidak lagi disertai asap atau dentuman bom, tapi dengan kehangatan yang lama hilang. Di tengah alun-alun yang perlahan dibersihkan, warga berkumpul dalam lingkaran sederhana. Mereka duduk di tanah, saling berbagi makanan seadanya, mengobrol pelan, dan menatap ke langit yang kini biru.
Praja berdiri di depan reruntuhan panggung tua, tubuhnya masih lelah, tapi matanya jernih. Di sampingnya, Lysandra duduk di kursi kayu, memandang sekeliling dengan mata yang sembab tapi penuh harapan. Dion berdiri dengan clipboard lusuhnya, tersenyum tipis melihat anak-anak yang mulai berlarian bermain di antara puing-puing.
Lesmana, yang kini bisa duduk meski tubuhnya masih lemah, bersandar pada Naresha yang memegang tangannya dengan lembut. Wajah Naresha penuh kehangatan, matanya menatap Lesmana seolah ingin menyerap seluruh keberadaannya.
Praja menarik napas dalam, lalu berbicara perlahan, bukan seperti pidato heroik, tapi seperti pengakuan seorang manusia biasa.
> Praja:
"Kita bertahan. Bukan karena kita kuat, bukan karena kita punya senjata terbaik. Kita bertahan... karena kita memilih untuk tidak menyerah."
Diam sejenak. Warga menatapnya, sebagian mengangguk, sebagian menunduk menahan air mata.
> Praja:
"Zorathia datang dengan kekuatan. Kita membalas dengan keberanian. Mereka ingin memecah kita dengan propaganda. Tapi kita memilih untuk tetap bersama."
Lysandra berdiri perlahan, menambahkan kata-kata yang sederhana tapi menyejukkan.
> Lysandra:
"Tidak ada yang mudah dari semua ini. Tapi jika kita masih bisa saling memandang, saling mendengar... kita masih punya alasan untuk berharap."
Dion menambahkan, suaranya ringan tapi menyentuh:
> Dion:
"Dan jika kalian lupa bagaimana caranya percaya, lihat anak-anak ini. Mereka tertawa bukan karena mereka lupa. Tapi karena mereka percaya... kita akan membuat dunia ini lebih baik."
Lesmana, dengan suara lemah namun jelas, berkata pelan kepada Naresha, cukup keras untuk didengar oleh yang lain.
> Lesmana:
"Kau benar, Resha. Rumah bukan tempat. Rumah... adalah ketika kita bersama."
Naresha menatapnya dengan senyum haru, lalu menoleh ke Praja dan Lysandra, seolah mengatakan: “Kita semua adalah rumah satu sama lain.”
Matahari pagi menyinari wajah mereka semua. Di antara reruntuhan dan luka, mereka berdiri—bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai simbol kekuatan, tapi sebagai manusia yang saling menopang.