Peresmian pemimpin

Lokasi: Pusat Kota yang Mulai Dibangun Kembali

Waktu: Beberapa minggu setelah pertempuran terakhir

Perlahan tapi pasti, kota yang dulu terbakar dan porak-poranda mulai berdiri kembali. Warga yang sebelumnya hilang arah kini mulai kembali bergotong-royong. Bangunan-bangunan sederhana dari puing-puing didirikan, saluran air diperbaiki, dan jalan-jalan dibersihkan.

Lesmana, meski masih dalam masa pemulihan, duduk di kursi kayu sederhana di tepi jalan, memandangi para warga bekerja dengan senyum tipis. Naresha duduk di sampingnya, memegang tangannya erat.

Di tengah keramaian, Praja dan Lysandra berdiri di dekat podium darurat yang terbuat dari tumpukan peti kayu. Mereka menatap Dion yang berdiri di atas podium, mengenakan pakaian sederhana, namun wajahnya tenang dan penuh keyakinan.

Orang-orang berkumpul di alun-alun yang kini bersih, menunggu peresmian yang sederhana namun penuh makna.

Praja mengangkat tangannya untuk memulai:

> Praja: (suara tegas tapi hangat)

"Hari ini kita bukan merayakan kemenangan atas Zorathia. Hari ini kita merayakan sesuatu yang lebih penting—keberanian untuk tetap hidup, untuk membangun, dan untuk percaya."

Ia menoleh ke Dion, lalu berbicara lebih keras.

> Praja:

"Dion bukan hanya teman kami. Dia adalah jiwa dari komunikasi, penghubung kita saat semuanya gelap. Dialah yang terus memastikan kita mendengar satu sama lain, bahkan ketika kita sendiri nyaris kehilangan suara."

Dion menunduk sejenak, lalu menatap warga dengan senyum penuh kehangatan.

> Dion: (dengan suara rendah, penuh ketulusan)

"Aku bukan pemimpin besar. Aku hanya orang biasa yang percaya bahwa suara kita semua berharga. Hari ini, aku tidak di sini untuk memerintah. Aku di sini untuk mendengar, untuk bekerja bersama kalian, dan memastikan bahwa tak ada lagi yang merasa tak punya tempat di kota ini."

Tepuk tangan bergema. Warga menunduk, beberapa meneteskan air mata, bukan karena kesedihan, tapi karena harapan yang perlahan tumbuh kembali.

Lysandra menepuk bahu Praja dengan lembut. Naresha memeluk Lesmana yang menatap Dion dengan mata berbinar.

> Lesmana: (suara pelan, kepada Naresha)

"Ini dia... pemimpin yang tak datang dengan pedang, tapi dengan telinga."

Matahari mulai terbit, menyinari kota yang mulai bangkit. Langit biru yang sempat redup kini perlahan bersih, dan angin yang berhembus membawa aroma baru—aroma kerja keras, kejujuran, dan harapan.