Lokasi: Gudang tua di pinggiran kota, malam hari yang sunyi dan penuh ketegangan
Praja berjalan perlahan, menembus kegelapan lorong-lorong tua dengan tatapan penuh amarah yang dingin. Informasi yang dikumpulkan Dion mengarah ke lokasi ini—tempat persembunyian kelompok yang menculik Lysandra.
Di dalam gudang tua yang remang-remang, terdengar langkah kaki. Praja menajamkan pendengarannya, lalu masuk dengan langkah hati-hati. Cahaya redup lampu minyak menggantung di atap, mengungkapkan sosok seorang pria yang berdiri sendirian di tengah ruangan.
Pria itu mengenakan setelan abu-abu lusuh, wajahnya samar tertutup bayangan, namun matanya—tajam, menatap langsung ke arah Praja. Keduanya berdiri saling berhadapan dalam jarak beberapa langkah, diam tanpa kata, hanya saling membaca isyarat.
> Praja: (suara serak, nyaris seperti desahan marah)
"Kau… yang menculik Lysandra?"
Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, senyumnya tipis namun penuh ancaman.
> Pria Misterius: (tenang, tapi menyimpan amarah dingin)
"Kau cepat, Praja. Tapi cepat bukan berarti cukup untuk memahami permainan ini."
Praja mengepalkan tinjunya, tubuhnya menegang seperti kawat yang siap meledak. Namun, langkahnya masih tertahan, matanya mengamati setiap gerakan pria itu. Suasana di antara mereka menegang, seperti udara yang menanti percikan api kecil untuk terbakar hebat.
> Praja: (dingin, penuh kemarahan yang terpendam)
"Kau pikir aku akan diam? Ini bukan hanya tentang Lysandra... ini tentang kebenaran yang kalian hancurkan."
Pria itu tersenyum samar, melangkah setengah langkah mendekat, namun berhenti, menjaga jarak yang penuh kehati-hatian.
> Pria Misterius: (dengan nada licik)
"Kebenaran, ya? Kau akan terkejut melihat siapa saja yang bermain di dalamnya. Jika kau siap, aku akan menunggu. Tapi bukan di sini. Masih ada permainan yang lebih besar, Praja."
Tatapan mereka saling mengunci, diam membeku dalam ruang yang sunyi. Seolah waktu berhenti sejenak, menahan ledakan yang bisa saja pecah kapan saja.
Praja mengepalkan tinjunya lebih erat, tapi akhirnya menahan diri, tahu bahwa pertarungan ini belum waktunya. Ia memutar badan perlahan, namun sebelum pergi, ia berkata dengan suara rendah yang nyaris seperti ancaman:
> Praja: (lirih, tapi menusuk)
"Kau akan kuburu, dan kau akan jatuh. Entah cepat, entah lambat... tapi kau takkan pernah lepas."
Pria itu hanya mengangguk kecil, senyum samar di wajahnya, seolah menantang Praja untuk benar-benar datang dan menuntaskan semuanya.
Praja melangkah keluar, tubuhnya menegang namun matanya penuh tekad. Pertemuan mereka belum berakhir. Tapi Praja kini tahu, bahwa di balik semua ini, ada permainan besar yang menanti untuk diungkap.