Langit terbelah seperti kaca retak, memancarkan cahaya biru pucat bercampur kilatan ungu gelap. Udara di lembah terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang turun… sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih kuat dari siapapun di medan perang ini.
Yuze berdiri di ujung kawah, napas berat keluar dari bibirnya. Tubuhnya diselimuti aura keemasan bercampur bayangan hitam yang berputar seperti asap hidup. Di dalam dirinya, suara Kurama menggema,
“Yuze… kau serius mau mengaktifkan segel itu? Kalau kau gagal, kau akan kehilangan tubuhmu sendiri!”
Yuze menyeringai.
“Kurama, aku sudah kehilangan banyak hal. Tapi aku nggak akan kehilangan mereka.”
Dari kejauhan, Meilin dan Qiong Ye berteriak, mencoba mendekat. Tapi sebelum mereka bisa melangkah, Susano’o raksasa Madara melambai pelan, menciptakan gelombang energi yang memaksa mereka mundur.
“Diam di sana,” kata Madara datar. “Ini pertarungan antar raja.”
Yuze mendengus.
“Aku? Raja? Jangan bercanda. Aku raja tanpa mahkota, cuma bayangan yang tidak diinginkan siapa pun.”
Langkah demi langkah, dia maju. Tanah di sekitarnya retak, bayangan menari di bawah kakinya, membentuk pola segel kuno. Di langit, Gerbang Dewa terbuka semakin lebar, dan suara-suara kuno terdengar: bisikan para dewa, makhluk immortal, dan entitas gelap yang saling memanggil.
“Raja tanpa mahkota…” bisik suara itu, bergema di dalam pikiran Yuze. “Kau harus memilih: cahaya atau bayangan.”
Yuze mengepalkan tinjunya. Cahaya menyala di tangan kanan, bayangan membungkus tangan kiri. Dia tahu: memilih satu berarti kehilangan yang lain. Tapi dia bukan tipikal orang yang suka tunduk pada pilihan.
“Kurama… bagaimana kalau aku bilang, aku akan mengambil keduanya?”
“Hah?! Kau gila!”
Yuze tertawa.
“Sudah kuduga jawabannya.”
Dia mulai membentuk segel tangan — bukan segel biasa, tapi segel gabungan yang hanya dia ciptakan:
☯ Segel Yin-Yang: Mahkota Dua Dunia ☯
Di atas kepalanya, cahaya dan bayangan mulai memadat, membentuk bentuk mahkota transparan, bukan dari emas, tapi dari kekuatan murni. Mahkota ini bukan simbol kekuasaan, tapi simbol penolakan: penolakan pada aturan dewa, aturan bayangan, dan bahkan aturan takdir itu sendiri.
Madara menajamkan tatapannya.
“Menarik…”
Susano’o-nya maju, dua pedang raksasa berputar. Aura ungu memekik, memotong udara.
Yuze mengangkat kedua tangannya. Cahaya dan bayangan melesat, membentuk perisai ganda yang menghantam pedang Susano’o secara bersamaan. Suara dentuman terdengar keras, memekakkan telinga, membuat tanah sekitarnya hancur lebih luas.
Di balik bentrokan, mata Yuze bersinar.
“Kalau kau mau bertarung, Madara… ayo!”
Dengan teriakan keras, Yuze menghentakkan kedua kakinya ke tanah, meloncat ke depan dengan kecepatan yang bahkan sulit diikuti mata telanjang. Aura gabungan di sekeliling tubuhnya menyatu, membentuk bentuk mirip naga bersisik cahaya dan bayangan, melilit tubuhnya saat dia menghantam dada Susano’o langsung.
BOOOOOMMMMM!!!!
Ledakan itu tidak hanya menghancurkan Susano’o, tapi juga memecahkan sebagian Gerbang Dewa. Dari retakan portal itu, makhluk-makhluk berjatuhan: naga cahaya, phoenix gelap, dan entitas lain yang tidak bisa diberi nama.
Madara terdorong mundur, menancap di tebing sejauh ratusan meter. Darah mengalir dari sudut bibirnya.
“Kau… bocah terkutuk…”
Yuze mendarat, lututnya sedikit goyah, tapi dia tersenyum puas.
“Madara, aku sudah bilang. Aku bukan cuma cahaya. Aku bukan cuma bayangan. Aku Raja tanpa mahkota. Dunia ini akan tahu artinya.”
Dari langit, satu suara terakhir terdengar, lebih kuat dari semua bisikan sebelumnya:
“Selamat datang, pewaris dua dunia. Perjalananmu baru saja dimulai.”
Dan dengan itu, langit pecah. Cahaya dan bayangan jatuh seperti hujan, menyelimuti seluruh lembah, mempersiapkan panggung untuk perang yang jauh lebih besar.