.....Mulai berpisah

11 juni 2014

02 : 20 wib

Sidoarjo, Jawa Timur

.

.

.

Sudut pandang : Rangga

.

.

.

.

.

.

.

Sudah lewat dini hari, menjelang shubuh, kami semua masih bertahan di dalam rumah. Semua mata orang-orang terlihat kosong, seperti tidak memiliki harapan. Ada yang cemas dan berdoa tak henti-henti, ada juga yang menelfon semua nomor di kontak hp, mencoba meminta bantuan, namun tak satupun membalas. Dari luar terdengar banyak sekali suara geraman dari 'mereka' yang lapar. Mungkin tak ada lagi manusia hidup yang tersisa di luar sana. Yang ku tahu, bila di hadapkan dengan wabah seperti ini, kesempatan untuk hidup adalah 50:50. Tergantung bagamana kamu bisa pintar dalam bertahan hidup. Juga jangan terlalu banyak melakukan banyak konflik dengan mereka, karena dari segi kekuatan, mereka cukup unggul. Tujuan mereka cuma 1, darah segar.

.

.

.

Ya, sama seperti film yang sering ku lihat. Jadi seperti ini lah rasanya, seperti ini lah kekacauan nya. Semua menggunakan segala cara untuk tetap hidup, meski harus mengorbankan teman atau keluarga, menjadikan mereka umpan atau santapan mereka. Aku sempat berpikir, 'bagamana jika ada wabah seperti ini di dunia nyata? Pasti seru bisa bertahan dan melawan', yah ternyata aku salah dalam mengkhayal. Darah berceceran, organ tubuh dan isi perut bagaikan hidangan lezat mereka, tidak ada yang seru akan hal itu. Penyebaran yang sangat cepat, membuat jumlah mereka bertambah banyak, hanya dengan 1 gigitan saja. Dan negara ku tidak siap akan hal ini. Sungguh sangat tidak siap.

.

.

.

Ibu Yuli pun sedari tadi cemas, sambil menelfon anak-anak nya yang telah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri di luar kota, namun tak ada yang menjawab. Kemungkinan kecil mereka selamat, dan kemungkinan besar mereka menjadi mayat yang berjalan. Dari semua film-film seperti ini yang telah ku lihat, kamu tidak mudah begitu saja selamat dari wabah ini, strategi dan kerja sama dari para orang-orang yang selamat sangat di perlukan. Dan keceroboha kecil, bisa berakibat fatal.

.

.

.

Sudah cukup lama kami bersembunyi, jam pun menunjukkan hampir pukul 4 pagi. Beberapa dari kami ada yang berjaga, melihat situasi dari lantai atas, beberapa lagi ada yang berjaga di ruang tamu, karena itu lah akses utama rumah ini, ya selain loncat dari atas tentu nya. Pintu kami halangi dengan lemari, jendela kami blokir dengan papan kayu, cuman sampai kapan? Lama-lama kami bisa mati di sini.

.

.

.

Dari semua film dengan suasana seperti ini yang pernah ku lihat, wabah seperti ini sering kali di sengaja, untuk melengserkan suatu negara, uji coba senjata, atau memang serangan teroris. Ya, apakah kita di serang? Tidak ada salah nya berspekulasi seperti itu. Nyata nya, Indonesia sudah cukup modern dalam pertahanan negara, sehingga harus nya hal ini bisa teratasi. Namun, tanpa pengalaman pun juga rasa nya mustahil bisa menang melawan wabah ini.

.

.

.

Waktu telah menunjukkan pukul 4:30 pagi, dan seperti nya sudah tidak ada suara dari orang yang masih hidup, terlihat sepi, hanya geraman lirih dari para mayat hidup di luar sana yang seperti nya suah menjauh dari rumah ku. Kami berusaha agar tidak gaduh di dalam, tidak ingin mereka masuk dan mulai menggigit kami satu per satu. Setelah berdiam cukup lama, kami pun akhir nya berdiskusi, mengenai masalah evakuasi.

.

.

.

.

.

"Begini... Kita pikirkan cara untuk sampai ke tempat evakuasi... Berdiam di sini pun, belum tentu mereka cepat datang menjemput kemari...", kata pak Warto.

"Kenapa bapak bisa percaya, kalo mereka gak datang?", Ujar ayah ku.

"Aku sudah berhadapan dengan banyak pelaku kriminal, tapi tidak se-gila ini situasi nya... Dari pengamatan ku, setidak nya butuh 2 orang untuk melumpuhkan satu dari mereka.. jadi, pasukan terlatih pun akan cukup kewalahan.. sehingga kemungkinan besar, para militer atau pihak bersenjata hanya akan menyisir evakuasi di daerah kota saja, karena terdekat dengan pasukan besar mereka.. terlalu beresiko jika harus menyisir di daerah terpencil seperti di lokasi kita saat ini...", ujar pak Warto.

"Tunggu pak.. Jika keluar dari sini, sama saja dengan bunuh diri, jumlah mereka puluhan bahkan ratusan dan mungkin sudah lebih dari yang kita bayangkan, dan kita hanya ber 10 orang, kita punya apa buat melawan....!?", jawab ibu Yuli.

"Di lihat-lihat mereka cukup kuat, aku tadi lihat ada orang-orang yang kewalahan mengatasi 1 saja.. aku sudah merasakan nya...", ujar Alvin, anak pak warto yang mulai sadar.

"Sebenar nya cukup mudah untuk membunuh mereka,... Pusat kelemahan mereka hanya di kepala... Hancur kan saja kepala nya, atau patah kan leher nya... Memang sedikit susah untuk orang awam yang tak punya kemampuan bela diri... Pergerakan mereka cukup lambat, hanya agresif ketika sudah menemukan target nya... jika hanya berfokus ke titik tersebut, bahkan yang tak bisa bertarung pun bisa membunuh mereka...", ujar ku dan semua melihat ke arah ku.

"Gak semudah itu mas rangga, mereka jumlah nya lebih banyak dari kita yang masih hidup...", sahut bu Nimah.

"Kalau begitu, kita bekerja sama, saling melindungi satu sama lain...", sahut ku.

"Apa yang kamu katakan ada benar nya mas.. Tapi beberapa dari kita tidak semahir yang kamu kira... Bisa kewalahan kita..", ujar bu Yuli.

"........", Aku berlalu pergi ke lantai atas dan tak menghiraukan.

.

.

.

.

.

Bagaimanapun juga, berdiam di sini pun tidak ada hasil nya, karena kemungkinan terburuk adalah semakin banyak mayat yang bisa saja mendekat dan menerobos ke dalam, ketika mereka suah kehabisan makanan di luar sana. Aku berpikir untuk keluar dari sini sendiri, dan mencoba memanggil bantuan. Karena akan jadi beban jika harus mengajak salah satu dari orang-orang ini. Aku mulai mengambil beberapa peralatan yang benar-benar kubutuhkan, yaitu senjata seperti pisau besar, yang ku ikat kan ke tongkat besi yang ku bawa dari bengkel tempat ku bekerja, dan mungkin beberapa pisau kecil untuk ku lempar. Ayu melihat ku saat aku mulai merakit tombak. Raut mata nya sedikit gelisah.

.

.

.

.

.

"Mas... Kamu mau pergi ke tempat evakuasi..??", tanya Ayu.

"Kemana lagi kamu pikir.. Aku gak bisa diam aja di sini.. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak berharap banyak pada bantuan yang datang, kecuali ada yang membawa nya..", ujar ku.

"Aku ikut kalau gitu..", ujar Ayu.

"Terlalu berbahaya ayu... Lebih baik aku sendiri saja.. Aku tidak bisa melindungi mu setiap waktu... Apa kata ibu mu nanti kalau kamu menjadi seperti mereka...", ujar ku.

"Aku bisa melawan mereka.. Seperti yang mas bilang tadi..", ujar Ayu.

"Sudahlah, lebih baik kamu di sini.. terlalu berbahaya...", ujar ku.

"Tapi mas...", sahut Ayu.

"udah lah, aku ga mau ambil resiko dengan menambah korban... Apalagi dari orang di dala rumah ini... Kalo aku sudah bisa nyampai tempat evakuasi, aku pasti akan bawa bantuan ke sini....", ujar ku.

.

.

.

.

.

Aku meninggalkan Ayu di lantai atas, dengan air mata nya yang mulai membanjiri wajah nya. Apa boleh buat, demi kebaikan bersama, demi keselamatn bersama, setelah mendapat bantuan, aku janji akan kembali, pasti.

.

.

.

Aku telah mendapat pesan dari beberapa teman-teman ku, mengatakan bahwa mereka semua selamat, dan masih bersembunyi di rumah masing-masing. Aku berniat mengajak mereka karena mereka lah orang-orang yang dapat ku percaya saat ini, juga kemampuan mereka masing-masing yang bisa di perhitungkan. Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas ke ruang tamu, menuju pintu utama rumah. Semua orang melihat ku dan berusaha menahan ku ketika ingin membuka pintu yang terblokir lemari.

.

.

.

.

.

"Rangga.. kamu sudah kehilangan akal?!! Kamu mau bunuh diri pergi sendiri ke sana..?!", Sahut ayah ku.

"Tolong bertahan sampai aku kembali membawa bantuan... Aku tidak sendiri ke sana, aku sama temen-temen, jadi tenang aja... Doakan aku..", ujar ku.

"Ya sudah.. semoga kamu selamat sampai tujuan, dan jangan lupa kembali membawa bantuan itu..", ujar bu Yuli.

"Rangga... Ini, semoga berguna.. kamu tau kan cara pakai nya..?", Ujar pak Warto sambil memberikan sebuah pistol revolver, dengan beberapa peluru cadangan.

"Ya pak, saya mengerti, terima kasih..", ujar ku.

"Hati2...", Ujar semua orang di ruang tamu.

.

.

.

.

.

Pintu telah di blokade kembali. Kini aku berada di luar. Terlihat sepi, hanya ada darah dan potongan tubuh seseorang di halaman depan. Bau anyir darah begitu sangat terasa. Mual banget, tapi aku ga boleh mundur hanya karena hal receh kayak gini, karena pasti nya semakin jauh aku melangkah, semakin terasa kengerian di luar sana. Terasa sedikit sedih, melihat korban-korban ini, namun aku harus bisa membawa bantuan itu, agar orang-orang yang menunggu ku tidak mengalami hal yang sama.

.

.

.

Tujuan pertama ku yang terdekat adalah rumah Arul. Rumah nya tidak begitu jauh dari sini. Hanya di desa sebelah, dan dia orang yang pertama membalas pesan dari ku. Semoga dia masih bisa bertahan, sampai aku jemput.

.

.

.

Rencana ku adalah, berkumpul dengan semua teman-teman, dan berencana bersama-sama memanggil bantuan, untuk menyelamatkan keluarga masing-masing. Karena aku sadar, bahwa aku sendiri tidak bisa melawan kondisi saat ini. Aku pun mengambil sepeda motorku, dan mulai pergi meninggalkan rumah ku, rumah yang berisikan orang-orang penuh harapan kepada ku.

.

.

.

Jalanan menuju rumah Arul cukup ramai, berisi mereka yang berjalan tak tentu arah. Terlihat masih ada yang hidup melawan meski usus mereka terbuai keluar, ada yang berlarian kesana-kemari menghindari gigitan mereka sembari mengorbankan orang yang masih hidup di sekitar nya, ada juga zombi yang sedang makan bersama, dan sebagian dari mereka yang hidup mungkin mengunci diri di dalam rumah, seperti keluarga ku.

.

.

.

Setelah beberapa menit berlalu, aku pun hampir sampai di dekat rumah Arul, dan ku lihat banyak sekali jumlah mereka berkumpul di sana. Dan ku lihat dari kejauhan, Arul sedang berada di atas rumah nya sendiri, tak terlihat orang lain lagi di sana. Apa jangan-jangan, keluarga Arul sudah...

.

.

.

Aku harus mencari cara agar bisa menarik perhatian mayat-mayat ini agar pergi menjauh. Akhir nya, ku putuskan untuk membakar motor yang ku bawa di kejauhan, agar perhatian mereka ini teralihkan karena ledakan bahan bakar.

.

.

.

DUUAAAAAAAAARRRRR....!!!!

.

.

.

Setelah mereka terpancing oleh ledakan dari motor ku, aku langsung menyelinap di semak-semak, menghindari perhatian mereka, dan segera menuju rumah Arul.

.

.

.

.

.

"Oii..", sahut ku lirih

"Jadi lu yang bikin ledakan di sana..? Gila lu emang, sekarang mau gimana..??", Tanya Arul.

"Keluarga lu mana..?", Sahut ku.

"Di dalem...", Balas Arul singkat sambil menunjuk ke arah dalam rumah nya yang sudah di blokir.

"sorry rul, gw turut berduka...", ujar ku.

"Udah lah... Ortu gua memang udah tua, cuman yang bikin gua gak rela, itu cara mereka untuk meninggal...", Sahut Arul.

"Mending lu turun... Kita ngobrol sebentar..", ujar ku.

.

.

.

.

.

Setelah turun, Arul bercerita singkat tentang kejadian di sini. Yang pertama terkena gigitan adalah ayah nya, karena saat kejadian, beliau sedang menjaga di pos ronda bersama bapak-bapak yang lain. Lalu seperti hal nya di rumah ku, ada orang asing masuk yang sudah terinfeksi, lalu mulai menggigit mereka di pos ronda. Ayah nya pun pulang, namun segera tidak sadarkan diri ketika mencapai teras rumah. Ibu arul yang melihat, langsung sigap menolong, namun ayah nya kembali bangkit dan menggigit ibu nya. Arul mengetahui hal itu, langsung menyuruh mereka semua masuk ke dalam. Karena dia tak tega membunuh keluarga nya, akhir nya mereka di kurung di dalam rumah yang sudah di blokade. Lalu naik ke atas atap, dan dia pun langsung membalas pesan ku.

.

.

.

Aku memberi tahu nya sedikit penjelasan tentang kejadian ini, dan juga tentang rencana pelarian menuju titik evakuasi di surabaya. Setelah sesampainya di sana dan mendapat bantuan, baru lah menyuruh para penyelamat untuk menghampiri keluarga yang masih bertahan di rumah. Rencana nya memang sederhana, tapi kita masih belum tau, apa yang menanti di sana. Beberapa senjata se-ada nya kami bawa, seperti 'clurit', parang, dan juga perlengkapan lain. Perjalanan ke titik evakuasi cukup jauh, jadi kita harus persiapkan semua nya.

.

.

.

.

.

"Jadi kita kemana dulu nih?", Tanya Arul

"Gua udah ngirim pesan ke semua temen-temen, agar ngumpul di base camp biasa nya, tapi cuma fiki yang bales..", kataku sambil men-cek handphone ku kembali.

"Sial, panggilan darurat. Apa karena kejadian ini semua komunikasi jadi kacau ya...", sambung ku.

"Mungkin... Saluran tv pun dari tadi gak ada.. cuma siaran darurat... Mungkin operator nya jadi zombi..", Sahut Arul.

"eh, jangan bilang itu dong, geli denger nya, ini ga lucu...", ujar ku

"Lah kan emang zombi nama nya woy.... Emang lu mau nyebut mereka apa...?", tanya arul.

"Nah itu... Mereka aja.... Sebutan zombi terkesan kayak main-main...", ujar ku.

"Ya udah lah, terserah... yang penting, kita mau ke mana dulu ini???", tanya arul.

"Ya basecamp lah.... Kan udah janjian buat ngumpul di sana...", ujar ku.

"Lu mau ke sana jalan kaki..?? Kan sepeda motor udah lu bakar barusan..", sahut Arul.

"Lu gak punya sepeda??", Tanya ku.

"Ada.... Cuman sungkem dulu ama yang di dalam..", ujar Arul sambil menunjuk beberapa sepeda motor nya di dalam, berisi keluarga nya yang menjadi zombi.

"Lu ngapain sepeda motor di taruh di dalem rul...", Ujar ku.

"eh ga usah komplain, lu juga naruh sepeda motor di ruang tamu.... Sama-sama miskin gak usah banyak bacot....", sahut arul

"Duh.... Eh, itu punya siapa..?", Ujar ku menunjuk sepeda motor roda tiga di samping rumah nya.

"Mau naik itu..?? Gak masalah sih, cuman bensin nya menipis tadi...", Jelas Arul.

"Ya udah lah, gampang.. kita ke pom bensin..," ujar ku.

"Yang jaga pom mungkin dah jadi zombi tuh.. ah maksud gua, mereka... Maaf..", sahut Arul.

"Hormati lah mereka yang udah meninggal rul... Jangan sebut yang aneh-aneh...", ujar ku.

.

.

.

.

.

Dengan membawa sepeda motor roda tiga milik sepupu nya Arul, kami melanjutkan perjalanan untuk bertemu dengan teman-teman di basecamp. Aku masih memikirkan, bagaimana keadaan di rumah. Semoga mereka baik-baik saja, sampai aku kembali. Tapi, bukan nya Alvin terkena gigitan ya? Apa cuma perasaan ku aja?