11 juni 2014
04 : 15 wib
Tengah kota Sidoarjo, Jawa Timur
.
.
.
Sudut pandang : Rangga
.
.
.
.
.
.
.
"Gila... Ini udah kayak game zombi yang biasa nya...", ujar arul.
"Ya emang, ga nyangka gue dulu pernah berkhayal gimana klo wabah ini sungguhan ada.... Sekarang, gue bingung harus apa...?", ujar ku.
"Ya bertahan hidup lah... Mau ngapain coba? Jadi pahlawan? Gak usah berharap... Masih selamat aja udah bersyukur...", jawab arul.
"Ya ada bener nya juga sih....", sahut ku.
.
.
.
.
.
Beberapa menit sudah kami melewati jalanan yang kondisi nya bagaikan tempat jagal manusia, kami berdua pun akhirnya sampai di basecamp, yang berletak di sebuah perumahan yang cukup luas, di pinggiran Sidoarjo kota. Cukup sepi ternyata, hanya beberapa dari mereka yang berkeliaran di sekitar. Jelas saja, memang perumahan selalu identik dengan suasana sepi, karena rata-rata penghuni nya adalah perantau, rumah hanya tempat persinggahan melepas lelah setelah bekerja sehari penuh.
.
.
.
Kami berhenti di depan halaman basecamp berpagar besi dengan cat oranye, terlihat kokoh sehingga mungkin mereka tak bisa menembus. Suasana basecamp terlihat sepi, apa mungkin teman-teman berada di dalam? Mungkin saja, karena temen-temen juga tau, kalau mereka tertarik akan suara dan suara. Dengan mengendap-endap, kami mencoba memanggil teman kami yang ada di dalam.
.
.
.
.
.
"Fik, ini rangga ama Arul..!! Cepet keluar..", teriak ku lirih.
"Eh... Yang keras dong..", ujar Arul.
"Begi Lu, mau di keroyok ama mereka apa gimana..?", Sahut ku.
"Ya gak bakal denger lah, sepi gini.. emang lu yakin semua nya ada di sini..?? motor-motor nya aja gak ada..", ujar Arul.
"Gue udah sms mereka satu-satu, gue suruh ngumpul di sini.. mungkin ngumpet di dalem..", ujar ku.
"Nah tuh Fiki keluar...", sahut Arul melihat Fiki mulai membuka pintu depan.
.
.
.
.
.
Terlihat Fiki keluar, namun tidak ada tanda teman-teman kami di dalam. Fiki, adalah seorang petugas medis yang berdinas di RSUD Dr. Soetomo, rumah nya lah yang paling dekat dengan basecamp, sehingga dapat sampai ke lokasi terlebih dahulu. Basecamp ini pun juga milik saudara nya yang pindah rumah ke Surabaya. Karena tak terpakai, sehingga kami lah yang merawat. Ya daripada harus sewa di orang lain.
.
.
.
Ya, kami mendirikan sebuah grup yang isi nya, yang menurut para teman-teman kami dulu di smk yang notabene nya mereka adalah pentolan di kelas, adalah para pecundang. Ya kami para pencundang bagi mereka. Tapi kami memiliki beberapa kemampuan-kemampuan yang tidak mereka miliki, untuk menjalani hidup. terdiri dari beberapa anggota inti, yang selalu hadir ketika sedang berkumpul, dan beberapa anggota yang sedang di luar kota. Aku sendiri ahli dalam bidang teknik yang membutuhkan fisik lebih, sementara arul pernah ikut pelatihan bela diri, dan fiki ini ahli dalam bidang sains, ya bukan berarti tidak bisa bela diri. Kami seperti nya cukup mumpuni untuk berhadapan dengan wabah ini.
.
.
.
Kami pun masuk, dan menutup pintu rapat-rapat, mencoba untuk sesunyi mungkin. Di dalam, kami bercerita tentang apa yang terjadi. Dengan raut muka yang sedih, Fiki bercerita tentang kejadian yang menimpa nya.
.
.
.
Ayah dan ibu nya sedang ada tugas dinas di luar pulau, mereka adalah spesialis kesehatan, entah mereka baik-baik saja atau tidak. Yang jelas kabar terakhir dari ortu nya adalah, untuk menyuruh fiki tetap diam di dalam rumah, menunggu jemputan. Fiki dan kedua adik nya berlindung di rumah. Namun, seiring waktu berlangsung nya 'outbreak' ini, kedua adik nya pun terinfeksi setelah menolong tetangga yang di serang oleh mereka. Dan dengan berat hati, Fiki pun mengurung kedua adik nya di dalam rumah, setelah berubah menjadi seperti mereka, lalu pergi menuju basecamp.
.
.
.
.
.
"Gak ada yang ke sini, cuma gue aja yang langsung ke sini.. itupun...", ujar Fiki dengan sedikit sedih.
“sabar Fik, kita semua juga kehilangan di sini,.. ga da yang mau wabah ini terjadi... jadi bersedih juga gak bakal bikin mereka balik hidup lagi... Lebih baik kita cari cara untuk tetap bertahan hidup... oh iya, yang lain mana..?? apa gak ada yang bales pesan ku..??”, tanya ku.
“bukan nya sinyal lagi error, iya kalo pesan lu masuk semua...”, ujar Arul
“bener juga... Apa kita tunggu dulu di sini... atau lebih baik, kita menyusun rencana agar bisa ke tempat evakuasi..”, ujar ku.
"tempat evakuasi nya ada dimana aja..?", Tanya Arul.
"tadi sih di tv sempet di kasih tahu.. semua nya di surabaya, untuk sidoarjo ga ada kaya nya... yang paling deket dari sini, kata nya terminal joyoboyo..", jelas ku.
"Oh yang deket ama sungai gede itu... Ya itu jauh dong, bukan deket...", sahut Arul.
"Ya mau gimana lagi,... Pikir ku sih, tempat evakuasi nya tuh di taruh di tempat strategis dengan pertahanan kayak dinding atau semacam nya ... Kenapa ga di taruh di jatim expo aja ya, kan lumayan besar tuh....", ujar ku.
"Ya, atau tempat bulog tuh, biar ada supplai makanan...", sambung arul.
“lalu temen-temen yang lain..?? gimana kalo mereka beneran ke sini.. kasihan mereka juga..”, ujar Fiki.
“ya udah, kalo gtu, kita nunggu 1 jam lagi aja, sambil siap-siap senjata yang ada, buat ke sana... Kalau 1 jam lebih ga ada respon atau kedatangan mereka, ya apa boleh buat, kita harus pergi...”, ujar ku.
"Oke lah... Aku coba siap-siap kotak medis, buat jaga-jaga...", ujar fiki.
"apa piring termasuk senjata..?", Ujar arul sambil angkat telunjuk.
"Iya terserah, yang penting bisa bunuh mereka...", sahut ku.
"............", Arul angkat telunjuk lagi.
"Iya.. gelas ama panci juga bisa rul, terserah lu, jangan ganggu lagi, gue lagi coba hubungi orang-orang yang masih hidup nih..", sahut ku.
"Oy, gue udah nulis pesan di karton, barangkali temen-temen nanti ke sini kalo kita udah pergi..", ujar Fiki sambil menunjukkan kertas berisi pesan.
"KAMI UDA GAK DI SINI, LANGSUNG AJA KE TEMPAT EVAKUSASI.. DAN TOLONG PESAN NYA JANGAN DI BUANG, ATAU DI BAWA PULANG, DI BACA AJA, GA USAH PEGANG-PEGANG... BIAR TEMEN YANG LAIN BISA BACA JUGA, THX N GOOD LUCK..", aku dan arul membaca bersama.
"evakuasi woy..", ujar arul.
"Sorry..", sahut Fiki.
"Ya udah, tempel aja di pintu depan, atau di gerbang biar kelihatan..", ujar Arul.
"Jangan... Entar kalo yang baca zombi nya, bisa ngikutin kita nanti ke surabaya..", ujar Fiki.
"nah sebentar fik, kita ga pakai istilah konyol zombi, sebut aja 'mereka', anggap itu sebagai tanda menghormati mereka yang gugur dan menjadi mayat hidup...", ujar ku.
"Oh gitu, oke oke...", sahut fiki.
.
.
.
.
.
Satu jam lebih kami menunggu, dan tidak ada satu pun teman kami datang, kami juga khawatir terjadi sesuatu dengan mereka. Tak ingin membuang waktu lagi, kami bertiga pun menyiapkan semua nya, dan memasukkan ke motor yang ku bawa bersama Arul. Arul bagian menyetir, sedangkan aku dan Fiki berusaha menjaga agar zombi tidak mendekati kendaraan kami. Piring-piring, gelas-gelas kaca, apapun benda keras yang bisa di lempar untuk membunuh mereka sudah kami siapkan, dan pisau kami simpan untuk melindungi diri nanti nya. Juga pistol revolver yang aku simpan untuk berjaga-jaga.
.
.
.
Kami mulai berangkat menuju titik evakuasi di terminal joyoboyo, terminal yang letak nya cukup dekat dengan tengah kota. Area Surabaya pusat dan selatan, terpisah oleh sungai Brantas, yang mengalir dari barat, hingga ke muara di ujung timur. Dan terminal Joyoboyo, berdekatan dengan salah satu jembatan penyebrangan sungai Brantas, dan salah satu akses utama menuju surabaya pusat.
.
.
.
Saat kami melewati daerah perbatasan kota, kami sempat bertabrakan dengan seorang pengendara motor yang tak sengaja menyenggol kendaraan kami. Untung nya tidak ada yang terluka. Kami pun coba untuk menolong nya
.
.
.
.
.
"Mas ga pa-pa mas?", ujar ku.
"BRENGSEK... KALO NYETIR, LIAT JALAN NYA PAKE MATA GOBLOK...!!", ujar si pemotor.
"Eh lu kok ngamuk..?!! Ka lu sendiri yang nabrak gue...", sahut arul.
"Loh... Kalian ngapain di sini cuk..", ujar si pemotor.
"Lah... Mifta..!", kami serentak.
.
.
.
.
.
Tak di duga ternyata pemotor yang menabrak kami adalah mifta, anggota kami. Singkat cerita, dia sedang bekerja di gresik dan ingin kembali pulang setelah mengetahui kejadian yang ada, untuk melihat kondisi keluarga nya. Hanya saja, mifta sudah cukup terlambat.
.
.
.
.
.
"Mif, dari mana aja lu? Dapet sms dari gue gak?", tanya ku.
"Iya gue dapet sms dari lu, cuma gue mau pulang dulu bro! Keluarga gue masih di rumah! Gue habis pulang kerja di gresik, terus ada berita di tv, kalau surabaya udah kacau, akhir nya gue putusin buat pulang, buat lihat keluarga gue... Karena gue telfon dari kemarin, ga ada yang angkat...", ujar mifta dengan sedikit shock.
“maaf mif.. tapi kayak nya keluarga lu kecil kemungkinan buat selamat, karena sidoarjo udah hampir gak ada yang tersisa.. kita semua sudah lewat kota... Dan memang sudah ga ada yang bisa di harapkan...", ujar Fiki.
“lu jangan bilang yang enggak-enggak bangsat... gue habis telfon sepupu gue, kata nya masih teratasi ama polisi, gak mungkin sidoarjo udah ancur...!!”, sahut Mifta ingin memukul Fiki.
"Mif sabar.. sabar,.. memang bener apa yang Fiki bilang.. kami semua.. juga kehilangan keluarga masing-masing... Jadi tolong, jangan berbuat nekat buat nyelametin keluarga lu... Udah ga ada yang bisa di selamatkan...", ujar ku sembari melerai mereka berdua.
"...................", Mifta tertunduk menangis.
"Kita punya rencana buat nyelametin diri mif, kalau lu mau ikut, ayo... Di sini udah ga terlalu aman...", ujar Fiki.
"Kalau memang lu niat nolong keluarga lu, silahkan.. gue udah ga ngelarang, karena gue juga udah peringatkan...", ujar ku
“Oy..!! sorry kalo gue ngerusak acara reuni nya... tapi kayak nya, kita harus cepet pergi.. mereka udah mulai ngumpul gara-gara kalian teriak-teriak..!!”, ujar Arul.
"Nah, lu sendiri teriak-teriak..!!", Sahut Fiki.
"Sekalian...!!", Balas Arul.
“Mif, lu ikut apa nggak..??!”, ujar ku.
“cepetan naik mif, keburu kita di kepung nanti...", sahut Fiki.
“.............", Tanpa bicara mifta naik ke motor kami.
.
.
.
.
.
Setelah dia sedikit tenang, Mifta akhir nya ikut dengan kami menuju tempat evakuasi. Perjalanan pun kami lanjutkan, dengan menghindari dan menyerang mereka yang mencoba merobohkan motor kami. Terlihat orang yang masih hidup, melarikan diri dari kejaran yang terinfeksi, dan terlihat juga beberapa pihak bersenjata yang masih melawan, walaupun akhir nya juga sudah bisa di tebak. Satu menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi delapan, dan seterus nya, begitu lah wabah ini cepat tersebar.
.
.
.
Sekitar 30 menit, akhir nya kami telah sampai di jembatan sungai brantas, menuju terminal Joyoboyo. Kami pun terkejut atas apa yang kami lihat di tempat itu. Selama ini yang ku tahu, Jembatan yang cukup besar nan kokoh, kini hanya tersisa rangka nya saja, hampir seluruh jalanan aspal dan pinggiran runtuh, atau mungkin terlihat seperti sengaja di runtuhkan.
.
.
.
.
.
"Gimana nih..??", sahut Mifta.
"Lah kok di bongkar..?!! Padahal ini jembatan penghubung ke tempat evakuasi... Kalau muter, malah makin jauh...", ujar fiki.
"Lihat itu, ada beberapa tank di sana, mungkin militer menghancurkan jembatan, agar infeksi gak makin menyebar...", Ujar ku.
"Masuk akal jga.... Apa semua jembatan juga di hancurkan ya..?", Sahut Fiki.
"Bisa jadi... Meskipun kita muter, pasti hal yang sama terjadi juga di jembatan yang lain..", ujarku.
"trus, gimana nih...?? Apa masih lanjut, atau muter..?", tanya Mifta.
"Ya nyebrang lah.. Tuh masih bisa lewat di rangka besi nya tuh.. cukup lebar buat di lewati satu orang..", ujar Arul.
"Bener si Arul Mif,.. Gak ada pilihan lain... Kita coba gantian... Lagian ga sepenuh nya jembatan di robohkan, sisi utara gak hancur... Jadi cuma nyebrang berapa meter doang..", ujar Fiki.
"Doang kata lu..?? Di bawah sungai gede woy...", ujar mifta
"ya, udah cepet... Tuh yang di belakang udah nungguin buat makan kita...", tambah ku.
"Bentar,... Gue ada ide dari lu ngga....", sahut arul.
.
.
.
.
.
Sementara kami mencoba menyeberangi jembatan dengan bergantian, arul membawa motor yang tadi kami naiki, untuk di bakar. Teringat yang kulakukan saat menolong nya, ledakan akan memancing perhatian mereka, agar tidak mengganggu kami saat menyeberang jembatan.
.
.
.
Kami pun mulai menyeberang dengan mengikuti sisa-sisa jembatan satu per satu, kami juga tak ingin terjatuh ke bawah, di sungai yang cukup deras aliran nya. Setelah beberapa menit, giliran ku yang paling terakhir. Saat aku berada di tengah-tengah, tiba-tiba rangka pun putus tak kuat menahan beban, dan aku pun jatuh, tenggelam ke sungai yang dingin pagi itu.
.
.
.
.
.
“WOYY... RANGGAA..!!”, teriak Mifta.
“gimana nih... kita turun ke sana buat nyari atau gimana..”, ujar Fiki.
“arus nya terlalu deras... dan ini masih cukup gelap.. kita mungkin akan sulit buat nyari si rangga..”, ujar Arul.
“trus kita tinggalin rangga, hanyut di sini..??!”, ujar Mifta.
“kita gak punya pilihan lain mif, kita bisa cari lagi nanti, ini juga susah untuk melihat, dengan posisi langit masih cukup gelap..", Ujar Fiki.
“bener kata fiki... Kita cari bantuan dulu di tempat evakuasi, siapa tahu ada yang bisa bantu.. sambil nunggu agak terang, baru kita menyusuri sungai... Berharap dia masih hidup..", tambah Arul.
"Ya udah, kita ke terminal dulu... manggil bantuan..", sahut Mifta.
"Kalaupun rangga masih bisa hidup, dia pasti cari cara buat nyusul kita.. aku yakin..", ujar Fiki.
.
.
.
.
.
Terdengar samar-samar teriakan mereka bertiga, lalu menghilang. Aku berpikir, 'apa aku akan selamat..?'. Keluarga ku masih menanti di rumah, menanti harapan yang ku berikan untuk mereka. Entahlah, aku juga ragu apakah mereka masih di dalam rumah, dalam keadaan hidup?
.
.
.
Aku minta maaf.....