Langit tiba-tiba berubah warna.
Awan-awan hitam bermunculan dari seluruh penjuru dunia, berputar dan membentuk pusaran raksasa tepat di atas Kekaisaran Qingyuan. Petir menyambar di sembilan provinsi, namun tidak membawa suara, hanya cahaya yang menyilaukan, seolah dunia menahan napasnya.
Di pusat kekaisaran, dalam aula keluarga kekaisaran, seorang bayi menangis untuk pertama kalinya.
Tangisan itu—suara yang seharusnya tidak lebih dari jeritan bayi biasa—menggetarkan seluruh istana. Para pelayan yang mendengar langsung roboh, jantung mereka nyaris berhenti. Para tetua , pejabat istana dan bangsawan tiba-tiba berlutut tanpa sadar, wajah mereka memucat. Bahkan para kultivator penjaga kerajaan yang berada di luar radius istana merasakan kekuatan tak dikenal yang menekan tubuh mereka hingga nyaris remuk.
Saat itu terjadi, tujuh bintang kuno di langit bagian timur—bintang-bintang yang telah lama tidak bersinar—bercahaya secara bersamaan, membentuk pola aneh menyerupai segel yang berdenyut lambat seperti jantung hidup.
“Segel Kaisar…”
Kaisar Keenam, Ye Tiantong, berdiri terpaku di depan pintu aula. Tangannya gemetar, matanya membelalak menatap langit. Di baliknya, para menteri agung, panglima, hingga tetua-tetua keluarga semuanya membisu. Tidak ada yang bersuara, tidak ada yang bergerak.
Sinar keemasan keluar dari tubuh sang bayi. Pada punggungnya, tepat di bawah tulang belikat, muncul pola bercahaya—sebuah tanda kuno yang pernah tercatat dalam naskah leluhur. Itu adalah tanda yang selama ribuan tahun hanya dimiliki oleh enam kaisar pertama. Tanda yang tidak pernah muncul lagi sejak Kaisar Keenam naik takhta.
Namun tanda ini berbeda.
Bukan hanya satu... melainkan tujuh segel yang saling bertumpuk, menyatu dalam satu pola, seperti cap takdir yang tak bisa ditolak.
Salah satu tetua kekaisaran terjatuh sambil menangis, wajahnya penuh haru. “Akhirnya…akhirnya... Ramalan itu... Ramalan itu nyata…”
Namun guncangan itu tidak berhenti di alam bawah.
Jauh di luar kekaisaran, pada gunung-gunung dan wilayah-wilayah spiritual di Alam Tengah, para penguasa sekte besar merasakan sesuatu yang mengguncang jiwa mereka. Mereka berhenti bermeditasi, sebagian batuk darah, sebagian lain langsung membuka mata dengan ngeri, bahkan ada yang langsung berlutut.
“Apa ini… siapa yang telah terlahir?” gumam seorang Patriark tua yang tak pernah berbicara selama ratusan tahun.
Di Alam Atas, pada ruang antara eksistensi, mata-mata ilahi yang tertutup selama ribuan mendadak terbuka. Tidak satu, tidak dua, melainkan banyak eksistensi besar yang memandang ke arah kesana kemari, mencari sumber tekanan yang disembunyikan oleh kekuatan tak kasat mata itu, sambil menyempitkan tatapan mereka.
“Aura ini...Ga…Garis... Garis Keturunan Surgawi?”
“Tidak... ini... Bagaimana mungkin ada Garis Keturunan Surgawi yang menghasilkan fenomena dan tekanan seperti ini?”
“Ini... ini..Mungkinkah... Pertanda kedatangan sebuah bencana?
Di ujung eksistensi, jauh diatas entitas-entitas ilahi yang hanya bisa disembah—bukan dibayangkan—bergetar. Satu mata tak dikenal terbuka di tengah kehampaan, menatap ke arah kekaisaran kecil itu, menyaksikan kelahiran anak manusia yang tak seharusnya mengguncang dimensi.
Dan di antara mereka semua… satu suara terdengar.
Lembut, namun menggetarkan keberadaan:
“Akhirnya telah datang.”
Di dalam aula kekaisaran, tangisan sang bayi mereda. Ia menatap kosong langit-langit batu, tak menangis lagi. Matanya jernih, bersih, polos. Ia tidak tahu bahwa seluruh dunia sedang bergetar karena kehadirannya.
“Segel yang sama… seperti milik para leluhur.”
“Bukan hanya satu. Dia membawa... ketujuhnya.”
Tubuhnya mengeluarkan aura yang tak bisa dikendalikan bahkan oleh para kultivator ranah tinggi di kekaisaran. Tidak ada esensi spiritual, tidak ada kekuatan roh. Hanya… keheningan yang mencekam, seolah seluruh dunia sedang bersiap untuk membungkuk di hadapannya.
Di puncak Gunung Qianji, Gunung Seribu Bencana, di sebuah alam tertinggi, seorang petapa tua duduk membuka mata untuk pertama kalinya dalam lima ribu tahun.
“Aku tahu… kini waktunya dekat...Tujuh Kaisar... telah lengkap. Maka bencana pun akan datang.”
Malam itu, dunia tidak bisa tidur. Alam semesta tidak bisa diam.
Karena langit tahu—sesuatu yang tak bisa dihentikan telah dimulai.