Kehidupan di Balik Dinding Istana

Musim semi di Kekaisaran selalu datang dengan tenang, membawa aroma plum dan melati dari taman-taman kekaisaran ke setiap sudut paviliun. Hari-hari berjalan perlahan seperti aliran sungai yang lembut—tidak pernah tergesa, namun selalu membawa sesuatu. Bagi seorang anak berusia lima tahun seperti Ye Zhuxian, kehidupan dalam istana bukan hanya tentang belajar dan tata krama; itu adalah dunia kecil yang penuh warna, diam-diam membentuk siapa dirinya kelak.

Sejak kecil, ia telah diajarkan bagaimana berjalan, bagaimana membungkuk, dan bagaimana menyebutkan nama leluhur dengan hormat. Namun di balik segala kemewahan dan pelajaran yang agung, ia tetaplah anak-anak. Sering kali ia memisahkan diri dari para pelayan hanya untuk duduk di bawah pohon kuno di sudut halaman belakang, tempat cahaya matahari menembus dedaunan dan membentuk pola-pola aneh di tanah. Di sanalah ia membayangkan dunia di luar sembilan provinsi, dunia yang hanya bisa dilihatnya dari cerita para pelayan atau gulungan sejarah yang terlalu formal untuk usianya.

“Pohon ini sudah ada sejak masa Kaisar Kedua,” kata Gao Yun suatu hari saat mengantar teh ke taman kecil tempat Zhuxian bermain. “Konon, saat Kaisar Kedua naik takhta, ia menanam pohon ini sebagai simbol janji kepada rakyat. Bahwa Klan Ye akan melindungi tanah ini sampai akhir zaman.”

Zhuxian hanya mengangguk pelan, menatap batang pohon itu seolah-olah mencoba membaca kenangan yang tertanam di dalamnya. Ia tak menjawab, tapi Gao Yun tahu anak itu mendengarkan. Bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan hatinya. Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa diajarkan di kelas atau dipaksakan melalui darah bangsawan.

Sore hari biasanya diisi dengan pelajaran sastra klasik atau sejarah kekaisaran. Guru-guru yang ditugaskan mengajarnya datang dari klan-klan terhormat, beberapa di antaranya bahkan pernah menjadi penasihat langsung bagi Ye Tiantong di masa mudanya. Meskipun tubuhnya belum bisa mengendalikan energi spiritual dengan baik, Zhuxian menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami konsep, analogi moral, bahkan strategi pemerintahan.

“Jika rakyat lapar, maka dosa itu bukan pada langit, tapi pada kaisarnya,” ucapnya pada suatu sesi pembelajaran, menjawab salah satu pertanyaan yang dilangsungkan kepadanya.

Guru yang mengajarnya pun tertegun, lalu mengangguk dengan sorot mata yang dalam. “Anak ini mungkin belum menunjukkan kekuatan fisik, tapi karakternya… tak bisa disangkal adalah milik seorang pemimpin.”

Di malam hari, ketika seluruh istana sudah mulai tenang, Ye Zhuxian kadang-kadang diam-diam mengunjungi paviliun kecil tempat tinggal para pelayan senior. Ia membawa kantong kain kecil berisi makanan ringan yang ia minta dari dapur utama.

“Aku ingin membagikan ini,” katanya sambil tersenyum. “Ibu bilang, kita harus memberi lebih dulu sebelum menerima.”

Para pelayan tua tersentuh. Mereka tahu, tak ada paksaan dalam tindakannya. Tidak ada ajaran istana yang menyuruh seorang bangsawan turun ke level mereka hanya untuk berbagi makanan. Tetapi klan ini berbeda, mereka mengajarkan ajaran moral dan kasih yang ditanam sejak kecil, oleh karena itu juga kekaisaran ini memiliki banyak pejabat, bangsawan-bangsawan dan rakyat yang setia dan rela berkorban untuk mereka.

Hari-hari terus berlangsung. Dan selama ini, bersembunyi dalam bayang-bayang yang sulit dibungkam. Banyak pejabat dan bangsawan yang diam-diam mencoba membantu kelambatannya dalam Qi Awakening. Mereka menolak percaya bahwa Segel Kaisar hanya simbol tanpa ada arti. Mereka tidak mengucapkannya dengan lantang, tetapi bantuan itu sering didapatkannya secara tidak langsung oleh perbuatan diam-diam mereka.

“Aku tidak mengerti,” kata Zhuxian suatu malam kepada pelayan pribadinya, Yu Lin. “Kenapa semua orang...seperti menatapku seolah-olah aku akan menjadi sesuatu yang besar. Tapi aku sendiri bahkan belum bisa merasakan pusaran qi sedikit pun?”

Yu Lin tersenyum lembut, menatap mata jernih anak itu. “Tuan Muda, terkadang langit menanam benih yang baru tumbuh di musim yang berbeda. Mungkin bukan sekarang. Tapi ketika saatnya tiba, kau akan mengerti.”

Zhuxian tak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit kamarnya yang diukir simbol klan, lalu menghela napas panjang. Ada sesuatu di dalam dirinya—sebuah tekanan kuat—yang belum bisa ia jelaskan. Ia tahu ia berbeda, tetapi tak tahu bagaimana.

Hari berganti hari. Ia menghadiri jamuan kecil, belajar musik tradisional, bahkan ikut menyambut tamu dari sembilan provinsi atau wilayah luar saat mereka datang ke ibukota kekaisaran. Ia selalu sopan, selalu tersenyum. Tapi tak jarang, ketika berada di ruangannya sendirian, ia membuka lembaran latihan meditasi dasar, mencoba lagi dan lagi untuk menyentuh sesuatu… apa pun.

Namun tetap kosong.

Tak ada resonansi. Tak ada gerakan. Hanya tubuh yang lelah dan hati yang dingin.

Suatu malam, setelah mencoba bermeditasi selama hampir dua jam tanpa hasil, ia bangkit perlahan, lalu berjalan menuju jendela dan menatap bintang. Di antara gugusan langit itu, ia mencari jejak dari tujuh bintang yang dulu bersinar saat ia lahir. Namun malam itu mereka tampak biasa. Diam. Tenang.

“Mungkin aku harus belajar melindungi mereka bukan dengan kekuatan ini… tapi dengan pilihan lain,” gumamnya pelan.

Lalu ia menutup jendela dan kembali ke tempat tidur.

---

Namun jauh di luar dinding istana, di tempat yang bahkan para tetua kekaisaran tidak bisa melihatnya, sesuatu sedang bergerak. Sebuah kekuatan yang telah lama tertidur mulai merasakan denyut yang tidak seharusnya ada di dunia fana. Denyut itu kecil, hampir tak terasa, namun cukup untuk membuat kelopak mata dari sosok yang disegel di balik kehampaan mulai bergerak.

“Segel Ketujuh belum bangkit,” bisiknya dalam gelap. “Namun denyut garis darah itu tak bisa disembunyikan selamanya...”

Ia tertawa pelan, suara tawa yang menggema tanpa suara, seperti ilusi yang menular dalam mimpi buruk. “Jika dunia belum siap untuknya, maka aku akan menjadi yang pertama mengujinya.”

Dan malam pun kembali tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.