Di Balik Takhta Naga
Langit di atas Kekaisaran Qingyuan mulai diwarnai semburat jingga saat matahari perlahan turun di barat. Angin sejuk bertiup dari pegunungan, membawa aroma bunga musim semi yang khas ke seluruh penjuru istana. Di tengah kemegahan yang tenang itu, seorang anak laki-laki berusia lima tahun berjalan menyusuri koridor panjang yang lantainya terbuat dari batu giok putih, memantulkan bayangan pilar-pilar raksasa yang diukir dengan naga dan phoenix.
Ye Zhuxian, dengan jubah biru langitnya yang sederhana, melangkah dengan tenang dan penuh hormat. Langkahnya tidak tergesa, namun juga tidak ragu. Ia baru saja dipanggil untuk menghadap kakek buyutnya, Kaisar Keenam, Ye Tiantong. Ini bukan panggilan formal kenegaraan, melainkan pertemuan pribadi yang rutin mereka lakukan setiap beberapa minggu sekali di ruang kerja sang kaisar—sebuah tempat yang bahkan para menteri agung sekalipun tidak bisa masuki tanpa izin khusus.
Pintu ganda yang terbuat dari kayu cendana kuno terbuka tanpa suara, dioperasikan oleh dua penjaga elit yang menunduk dalam-dalam saat Zhuxian lewat. Di dalam, aroma kertas tua, tinta, dan kayu yang lapuk menyambutnya. Ruangan itu sangat luas, dipenuhi rak-rak buku yang menjulang hingga ke langit-langit, berisi gulungan-gulungan sejarah dan naskah kuno yang tak ternilai harganya. Di tengah ruangan, di belakang meja kerja yang megah, duduklah sesosok pria tua dengan rambut yang telah memutih, namun punggungnya masih tegak lurus laksana gunung.
“Xian’er, kemarilah,” suara Ye Tiantong terdengar hangat, menghilangkan segala kesan agung dan menggantinya dengan kelembutan seorang kakek.
“Kakek Buyut,” Zhuxian membungkuk dengan sempurna, kedua tangannya disatukan di depan.
Ye Tiantong tersenyum, matanya yang telah menyaksikan pasang surut zaman kini memancarkan kehangatan. “Tidak perlu formalitas di sini. Ayo, temani kakek bermain satu putaran.” Ia menunjuk ke sebuah meja rendah di sudut ruangan, di atasnya sudah terhampar papan Weiqi dengan dua mangkuk berisi batu hitam dan putih.
Zhuxian mengangguk dan duduk berhadapan dengan kakek buyutnya. Ia mengambil batu hitam, menandakan ia yang akan memulai permainan. Keheningan menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh bunyi “tak” yang renyah setiap kali batu diletakkan di atas papan kayu. Ini adalah ritual mereka. Bukan sekadar permainan, melainkan cara Ye Tiantong mengajarinya tentang strategi, kesabaran, dan filosofi hidup tanpa perlu banyak bicara.
Selama hampir satu jam, mereka bermain dalam keheningan yang intens. Ye Tiantong, dengan pengalamannya selama ratusan tahun, membangun formasi yang kokoh dan tampak tak tertembus. Namun, Zhuxian bermain dengan gaya yang tidak biasa. Ia seolah mengorbankan beberapa wilayah kecil, membiarkan kakek buyutnya merasa unggul, sementara ia diam-diam membangun sebuah jaring raksasa yang tak terlihat.
“Formasimu semakin berani,” komentar Ye Tiantong, meletakkan sebuah batu putih untuk mengklaim sudut papan. “Tapi kau terlalu banyak menyerah, Xian’er. Dalam perang sungguhan, setiap jengkal tanah itu berharga.”
Zhuxian tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis sebelum meletakkan sebuah batu hitam di titik yang sama sekali tidak terduga, jauh di tengah formasi kakeknya. “Tak.”
Ye Tiantong mengerutkan kening. Langkah itu tampak sia-sia. Namun, beberapa langkah kemudian, ia menyadari sesuatu. Langkah sia-sia itu ternyata adalah pasak yang mengunci seluruh formasinya. Setiap batu yang ia letakkan kini seolah masuk ke dalam perangkap yang telah disiapkan cicitnya. Keringat dingin mulai membasahi pelipis sang kaisar. Wilayahnya yang luas kini terisolasi dan terancam dari dalam.
Akhirnya, Ye Tiantong meletakkan batu putih di mangkuknya dan tertawa terbahak-bahak, tawanya menggema di seluruh ruangan. “Aku kalah! Aku benar-benar kalah! Hahaha! Kau berhasil memancing naga tua ini ke dalam perangkapmu, anak nakal!”
Zhuxian hanya tersenyum malu. “Kakek Buyut hanya sedang tidak fokus.”
“Bukan,” sanggah Ye Tiantong, matanya berkilat bangga. “Aku fokus. Tapi kau melihat papan ini dengan cara yang berbeda. Kau melihat gambaran yang lebih besar. Bagus sekali. Kekuatan sejati seorang pemimpin memang datang dari sini,” ia menunjuk ke dahi cicitnya, “dan dari sini,” ia menunjuk ke arah hati Zhuxian. “Hati untuk mencintai rakyatmu, dan pikiran untuk melihat apa yang tidak dilihat orang lain.”
Setelah merapikan papan permainan, Ye Tiantong bangkit dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman kekaisaran. Pandangannya menerawang jauh, melewati pepohonan dan paviliun-paviliun yang bermandikan cahaya senja.
“Xian’er,” panggilnya lagi, kali ini nadanya sedikit lebih serius. “Kekaisaran kita sedang berada di puncak kedamaian dan kemakmuran. Tapi kedamaian adalah sesuatu yang rapuh.” Ia menghela napas panjang. “Baru pagi ini, aku menerima laporan dari penjaga di Provinsi Perbatasan Utara. Mereka melaporkan adanya fluktuasi spiritual aneh di balik Pegunungan Kabut Hitam. Samar, tapi tidak wajar.”
Zhuxian mendengarkan dengan saksama. Ini pertama kalinya kakek buyutnya membahas urusan negara yang spesifik dengannya.
“Itu belum semuanya,” lanjut Ye Tiantong, matanya menyipit. “Selama festival, aku merasakan sesuatu. Sebuah tatapan… dari tempat yang sangat, sangat jauh. Dingin dan penuh selidik. Sama seperti yang dirasakan para leluhur saat ada kekuatan dari Alam Atas yang mencoba mengintip ke dunia fana.”
Tubuh kecil Zhuxian menegang. Ia teringat pada bisikan-bisikan dan tatapan yang ia rasakan dalam penglihatannya. Ia teringat pada sosok berjubah hitam di festival. Apakah ini semua saling berhubungan?
“Aku tidak ingin membuatmu khawatir,” kata sang kaisar sambil berbalik dan kembali tersenyum hangat. “Aku hanya ingin kau mengerti, Xian’er. Alasan Klan Ye kita selalu mengutamakan persatuan dan kasih sayang keluarga adalah karena kita tahu, dunia di luar sana tidak selalu ramah. Akan selalu ada bayangan yang mengintai di balik cahaya.”
Ye Tiantong kemudian membuka sebuah laci kecil di mejanya dan mengeluarkan sebuah kalung sederhana. Liontinnya terbuat dari sepotong giok hijau tua yang terasa hangat saat disentuh, diukir dengan pola awan pelindung yang rumit.
“Ini adalah peninggalan dari ayahku, Kaisar Kelima, Ye Mingyue,” ujar Ye Tiantong dengan nada penuh kenangan dan kerinduan yang dalam. “Seperti yang kau tahu, dunia luar mencatatnya telah mangkat. Namun kita di dalam keluarga tahu, kebenarannya lebih rumit dari itu.” Ia berhenti sejenak, matanya menatap kehampaan seolah mengenang hari yang jauh. “Sebelum ia mengambil langkah terakhirnya untuk menerobos batasan dunia ini dan menjelajahi lautan bintang, ia menitipkan giok ini padaku. Ia berkata, benda ini akan menemukan pemiliknya yang paling tepat di generasi mendatang. Dan aku rasa, pemilik itu adalah kau.”
Ia mengalungkan giok itu di leher Zhuxian. Sensasi hangat dan menenangkan langsung menyebar dari liontin itu, menenangkan detak jantungnya yang sedikit berpacu.
“Terima kasih, Kakek Buyut,” bisik Zhuxian, jemarinya menggenggam erat liontin giok itu.
“Sekarang kembalilah. Hari sudah malam, kau perlu istirahat,” kata Ye Tiantong, menepuk pundak cicitnya sekali lagi.
Zhuxian membungkuk dalam-dalam sebelum berbalik dan meninggalkan ruang kerja itu. Saat ia berjalan kembali menyusuri koridor yang kini diterangi oleh lentera-lentera temaram, pikirannya berkecamuk. Percakapan tadi telah membuka matanya. Kedamaian yang ia nikmati, cinta yang ia terima—semua itu bukanlah sesuatu yang abadi. Semua itu harus dilindungi.
Ia berhenti di sebuah balkon terbuka dan menatap hamparan ibu kota kekaisaran di bawahnya. Lampu-lampu dari rumah penduduk berkelip seperti lautan bintang di bumi. Tawa samar anak-anak yang masih bermain terdengar dari kejauhan. Begitu damai. Begitu indah.
Sambil menggenggam liontin giok di dadanya, sebuah resolusi baru terbentuk di dalam hati anak berusia lima tahun itu. Resolusi yang jauh lebih kuat dari sebelumnya.
*‘Aku tidak peduli jika meridianku diam. Aku tidak peduli jika aku tidak bisa mengendalikan Qi,” batinnya dengan tekad yang membara. ‘Kakek Buyut benar, ada jalan lain, dan aku akan menemukannya. Bukan untuk menjadi yang terhebat. Tapi untuk memastikan senyum di banyak orang dan kedamaian lautan bintang ini tidak akan pernah direnggut oleh bayangan mana pun.’
Malam itu, untuk pertama kalinya, Ye Zhuxian tidak lagi merasa cemas akan kelemahannya. Ia justru menemukan tujuan di dalamnya. Sebuah jalan baru yang akan ia tempuh, bukan dengan energi spiritual, tetapi dengan kecerdasan, hati, dan rahasia besar yang tertidur pulas di dalam garis keturunannya.