Pengajuan di Atas Meja Giok (2)

Pengajuan di Atas Meja Giok (2)

Keheningan yang menyelimuti Aula Dewan Klan Ye setelah usulan Ye Qingtian terasa lebih berat dari batu obsidian yang membentuk dindingnya. Argumen yang didukung oleh Ye Qingwu—satu berdasarkan logika sumber daya, satu lagi berdasarkan pragmatisme beladiri—terdengar sangat masuk akal. Terlalu masuk akal, hingga sulit untuk dibantah tanpa terdengar seperti menentang kemajuan klan. Semua mata kini tertuju pada satu orang: Ye Qingxuan, ayah dari Zhuxian.

Ye Qingxuan tidak menunjukkan kegelisahan. Wajahnya tetap tenang, matanya yang dalam menatap lurus ke arah adiknya, Ye Qingtian, lalu beralih ke sepupunya, Ye Qingwu. Ia menarik napas perlahan sebelum bangkit berdiri, gerakannya anggun dan penuh ketenangan. Ia membungkuk singkat kepada Ye Tiantong sebelum berbicara, suaranya tidak keras, namun setiap kata terdengar jelas di seluruh penjuru aula.

“Saya memahami logika di balik pengajuan Adik Qingtian, dan saya juga mengagumi semangat Kakak Qingwu yang selalu ingin melihat klan kita berada di puncak kekuatan,” mulainya, nadanya penuh respek. “Niat kalian berdua murni, yaitu untuk melindungi keluarga ini. Untuk itu, saya berterima kasih.”

Pujian tak terduga itu sedikit melunakkan ekspresi tegang di wajah beberapa anggota. Ini bukanlah bantahan yang emosional.

“Namun,” lanjut Ye Qingxuan, “kekuatan sebuah klan, terutama Klan Surgawi kita, tidak hanya diukur dari berapa banyak ahli yang bisa kita hasilkan dalam sepuluh atau dua puluh tahun. Kekuatan terbesar kita terletak pada fondasi yang telah dibangun oleh para leluhur selama ribuan tahun: yaitu takdir, kepercayaan, dan yang terpenting, hati seorang pemimpin.”

Tatapan Ye Qingxuan kemudian beralih dengan lembut kepada putranya. “Pengajuan ini, dengan segala niat baiknya, secara tidak sadar menanamkan benih keraguan pada takdir Xian'er. Kita, keluarganya sendiri, akan menjadi orang pertama yang memberinya label ‘membutuhkan pelindung khusus’. Sebuah pedang bisa ditempa dalam sepuluh tahun, tetapi hati seorang pemimpin yang goyah karena keraguan yang ditanamkan sejak kecil, mungkin tidak akan pernah bisa diperbaiki.”

Argumen itu menusuk tajam, bukan dengan amarah, tetapi dengan kebijaksanaan. Ye Qingwu tampak sedikit mengernyit, sementara Ye Qingtian tetap diam, mendengarkan dengan saksama.

“Garis Keturunan Surgawi kita tidak pernah memilih jalannya berdasarkan kemudahan,” sambung Ye Qingxuan. “Setiap Kaisar menghadapi ujiannya masing-masing. Fenomena agung saat kelahiran Xian'er dan munculnya ketujuh segel sekaligus adalah pertanda dari langit yang belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah kita, sebagai manusia, berani berkata bahwa kita lebih tahu jalan terbaik bagi takdirnya daripada langit itu sendiri? Dengan mengalihkan sumber daya utama darinya, kita seolah-olah berkata bahwa kita menyerah pada jalan yang telah digariskan untuknya.”

Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. “Kita semua mengukur kekuatan dengan kecepatan penyerapan Qi, tetapi kita mungkin melupakan bentuk kekuatan lain. Kekuatan pikiran yang mampu mendesak Kakek Kaisar di atas papan Weiqi. Kekuatan hati yang membuat seluruh rakyat di sembilan provinsi mencintainya tanpa syarat. Apakah kekuatan seperti ini tidak berharga? Apakah fondasi cinta dan kepercayaan dari rakyatnya bukanlah sebuah benteng yang lebih kokoh daripada seribu kultivator?”

Argumennya ditutup dengan keheningan yang lebih mendalam dari sebelumnya. Kali ini, keheningan itu bukan lagi berisi ketegangan, melainkan perenungan.

Ye Changhai, kakek Zhuxian, akhirnya angkat bicara, suaranya yang lembut terasa menenangkan. “Putraku Qingxuan benar. Selama ini, kita selalu berhasil melewati badai karena kita tidak pernah meragukan satu sama lain. Kita harus melindungi hati Xian'er sama gigihnya seperti kita melindungi tubuhnya. Kepercayaan penuh dari kita adalah sumber daya terbesar yang bisa kita berikan padanya saat ini.”

Melihat perdebatan yang semakin berimbang, Ye Changjian, putra ketiga kaisar, tertawa kecil. “Wah, wah. Keduanya adalah argumen yang sangat kuat,” katanya, mencoba mencairkan suasana. “Di satu sisi, kita butuh pedang yang tajam sesegera mungkin. Di sisi lain, kita tidak boleh meretakkan fondasi rumah kita sendiri. Ini benar-benar dilema yang sulit.”

Ye Qingtian, yang pertama kali mengajukan penganuan, menatap kakaknya, Ye Qingxuan, dengan tatapan yang rumit. Ia lalu menghela napas panjang, sebuah senyum tipis yang tulus terukir di wajahnya. Ia membungkuk sedikit ke arah Ye Qingxuan.

“Kakak benar,” ucapnya pelan, namun suaranya terdengar oleh semua orang. “Aku terlalu fokus pada pedang dan lupa pada tangan yang akan memegangnya. Kekhawatiran telah membuat pandanganku sempit. Maafkan aku.”

Pengakuan tulus itu mengejutkan banyak orang. Ye Qingwu, sang fanatik beladiri, juga terdiam. Ia menatap Zhuxian lama, lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, sebuah gestur yang jarang ia tunjukkan. “Hmph. Aku masih percaya kekuatan itu penting,” gerutunya, namun tidak ada lagi api dalam suaranya. “Tapi… argumen tentang merusak hati seorang pemimpin… itu ada benarnya. Aku menarik dukungan kata-kataku tadi.”

Melihat dua pendukung utama pengajuan itu mundur dengan legawa, suasana di seluruh aula langsung mencair. Kehangatan dan keharmonisan yang menjadi ciri khas Klan Ye kembali terasa. Para tetua mengangguk-angguk setuju, wajah mereka menunjukkan kelegaan. Mereka tidak sedang memilih sisi, mereka hanya senang melihat keluarga mereka kembali bersatu dalam satu pemahaman.

Ye Qingxuan tersenyum pada adiknya. "Aku tahu niatmu baik, Qingtian. Kita semua hanya ingin yang terbaik untuk klan ini."

Di kursinya, Zhuxian merasakan gelombang kehangatan yang luar biasa. Melihat paman dan sepupunya yang tadinya berdebat kini bisa saling mengerti dan mengakui satu sama lain membuatnya jauh lebih bahagia daripada jika ia memenangkan seribu perdebatan. Inilah keluarganya. Inilah Klan Surgawi Ye yang sesungguhnya. Fondasi mereka bukanlah kekuatan individu, melainkan ikatan hati yang tak terpatahkan. ‘Ayah, Kakek… terima kasih,’ batinnya. ‘Aku tidak akan membiarkan kepercayaan kalian sia-sia. Dan Paman, aku juga mengerti kekhawatiranmu. Aku tidak akan membiarkan kalian terus khawatir.’

Melihat pemandangan itu, Ye Tiantong tersenyum lebar dari kursinya. Wajah tuanya memancarkan kebanggaan yang tak terkira. Bukan karena cucu dan cicitnya cerdas berdebat, tetapi karena pada akhirnya, mereka semua memilih jalan persatuan dan kepercayaan.

“Bagus. Bagus sekali,” kata sang kaisar, suaranya mengandung tawa bahagia. “Inilah keluarga Ye yang kukenal. Badai dari luar tidak akan ada artinya selama kita tidak goyah dari dalam.”

Ia menatap Xian'er dengan tatapan penuh kasih. “ Xian'er, kau lihat? Kepercayaan keluarga ini adalah sumber dayamu yang paling besar. Tidak ada pil spiritual atau kolam esensi mana pun yang bisa menandinginya.”

Sang kaisar kemudian menegakkan tubuhnya, siap memberikan keputusan final yang kini sudah jelas arahnya. “Kalau begitu, pengajuan mengenai realokasi sumber daya secara resmi dibatalkan. Semua dukungan untuk Xian'er akan tetap berjalan seperti sedia kala. Kita akan menghadapi masa depan bersama-sama, dengan keyakinan penuh pada Pewaris terakhir. Masalah ini…”

Saat Ye Tiantong hendak mengetuk meja untuk meresmikan keputusan itu, sebuah suara yang tenang namun jelas memotongnya.

“Kakek Kaisar, mohon tunggu sebentar.”

Seluruh perhatian di aula dewan seketika beralih.

Ye Zhuxian, anak laki-laki berusia lima tahun itu, perlahan bangkit dari kursinya. Wajahnya tenang, matanya jernih, dan ada seulas senyum tipis di bibirnya. Ia membungkuk dengan hormat kepada kakek buyutnya dan seluruh keluarga yang menatapnya dengan heran.

“saya memiliki sebuah pengajuan.”