Badai Telah Tiba
Gerbang Utara ibu kota Kekaisaran Qingyuan selalu menjadi urat nadi perdagangan dan perjalanan. Hari itu, seperti hari-hari lainnya, suasana di sekitarnya ramai dan penuh kehidupan. Para pedagang dengan gerobak penuh barang berteriak menawarkan dagangannya, anak-anak berlarian di jalanan batu yang lebar, dan para pengawal kota berdiri tegap di pos mereka, sesekali menyapa warga dengan ramah. Kedamaian dan kemakmuran terasa begitu nyata, begitu kental, hingga tak seorang pun akan menyangka bahwa ratusan kilometer dari sana, sebuah pertempuran mengerikan baru saja terjadi.
Di tengah keramaian itu, seorang penjaga di atas menara pengawas menyipitkan matanya. Di kejauhan, di ujung jalan utama yang menuju ke gerbang, ia melihat tiga titik yang bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar. Bukan kecepatan kuda tunggangan yang gagah, melainkan kecepatan putus asa. Saat mereka semakin dekat, gambaran yang lebih jelas mulai terlihat, dan pemandangan itu membuat darah penjaga itu terasa dingin.
Itu adalah tiga orang penunggang kuda, tetapi kondisi mereka sangat mengenaskan. Penunggang di depan, yang ia kenali sebagai Tuan Muda Xiao Chen, memeluk leher kudanya erat-erat, wajahnya pucat dan penuh kepanikan. Di belakangnya, seekor kuda lain membawa dua orang. Satu orang yang lebih tua, Li Wei, terkulai lemas, tubuhnya diikat ke pelana agar tidak jatuh. Dan yang memegang tali kekang, sosok yang membuat semua penjaga di gerbang menahan napas, adalah Tuan Ye Qingfeng.
Paman dari Ye Zhuxian itu tampak seperti baru saja keluar dari neraka. Jubah kebesarannya robek dan berlumuran darah serta noda hitam aneh. Wajahnya yang biasanya tegas kini pucat seperti kertas, dan ia harus bersandar pada Xiao Chen untuk tetap tegak di atas kudanya. Aura seorang ahli ranah Nascent Soul yang biasanya terasa agung dan menenangkan kini terasa lemah dan tidak stabil.
“Buka gerbang! Cepat buka gerbang!” teriak komandan jaga yang mengenali mereka. “Bunyikan Lonceng Darurat Elit! Kirim pesan ke istana! Tim Tuan Qingfeng telah kembali!”
Keramaian di sekitar gerbang langsung berubah menjadi kekacauan. Warga yang melihat kondisi para pahlawan mereka terkesiap ngeri. Para penjaga segera membentuk barisan, membersihkan jalan bagi ketiga penunggang yang kelelahan itu untuk masuk. Saat mereka melewati gerbang, kuda mereka akhirnya ambruk karena kelelahan, dan ketiganya segera ditangani oleh tim medis yang siaga. Berita itu, seperti sambaran petir, melesat dari gerbang kota menuju jantung kekaisaran.
Di dalam Istana Klan Surgawi, Kaisar Ye Tiantong sedang memimpin rapat dewan pagi bersama para menteri. Tiba-tiba, suara lonceng perunggu kuno yang menggantung di menara tertinggi istana berdentang tiga kali. Itu bukan lonceng penanda waktu atau upacara. Itu adalah Lonceng Darurat Elit, yang hanya dibunyikan jika ada krisis tingkat tertinggi yang mengancam keamanan klan atau kekaisaran.
Rapat seketika bubar. Wajah para menteri memucat. Ye Tiantong langsung berdiri, ekspresinya berubah menjadi sedingin es. Dalam sekejap, seluruh anggota inti Klan Ye—Ye Changxuan, Ye Changhai, Ye Changjian, beserta putra-putra mereka seperti Ye Qingxuan, Ye Qingtian, dan Ye Qingwu—telah berkumpul di Aula Dewan pribadi, tempat yang sama di mana mereka memperdebatkan nasib Zhuxian beberapa bulan lalu. Kali ini, tidak ada perdebatan, hanya ada ketegangan yang menyesakkan.
Tak lama kemudian, Ye Qingfeng, yang sudah mendapat perawatan medis darurat, digotong masuk ke dalam aula, diikuti oleh Xiao Chen yang berjalan tertatih. Li Wei sudah dibawa ke paviliun medis untuk penanganan intensif.
“Qingfeng!” Ye Changjian, ayahnya, berseru cemas.
Ye Qingfeng menolak untuk berbaring. Dengan bantuan Xiao Chen, ia berlutut dengan satu kaki di hadapan kaisar. “Kakek Kaisar,” katanya dengan suara serak, napasnya berat. “Tim pengintai… telah kembali.”
“Apa yang terjadi? Di mana yang lain?” tanya Ye Tiantong, suaranya dalam dan berat.
“Hanya kami bertiga,” jawab Qingfeng. Lalu, dengan susah payah, ia menceritakan semua yang telah mereka saksikan. Ia menggambarkan hutan mati yang energinya dihisap, bangkai-bangkai binatang spiritual, simbol-simbol aneh, hingga altar hitam yang berdenyut dengan kekuatan korup.
Ia lalu menceritakan tentang pertempuran itu. “Mereka berlima, Kakek Kaisar. Tingkat kultivasi mereka mungkin setara dengan ranah True Foundation atau Soul Profound tingkat puncak. Seharusnya tidak menjadi masalah bagi saya. Tapi kekuatan mereka… aneh.”
“Aneh bagaimana?” desak Ye Qingwu, tinjunya sudah terkepal erat.
“Serangan kami yang menggunakan Qi murni seolah terserap oleh bayangan mereka. Teknik mereka bersifat merusak, mengikis, dan bahkan menyerang pikiran. Mereka bukan lebih kuat, Kakek Kaisar. Mereka… berbeda. Asing. Kekuatan kita sulit melukai mereka secara efektif, seolah-olah mereka tidak mengikuti aturan alam yang sama dengan kita.”
Saat itu, seorang tabib istana masuk dengan tergesa-gesa dan berlutut. “Yang Mulia, kondisi Tuan Li Wei sangat buruk! Luka di bahunya bukan disebabkan oleh racun biasa. Ada energi hitam korup yang secara aktif memakan energi kehidupan dan Qi di dalam tubuhnya. Semua metode penyembuhan dan pil penawar racun tingkat tinggi yang kami berikan tidak berpengaruh sama sekali!”
Kabar itu seperti pukulan telak bagi semua yang hadir. Musuh yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki kekuatan yang tidak bisa mereka sembuhkan.
Ye Qingfeng terbatuk, sedikit darah merembes dari sudut bibirnya. “Saya… saya terpaksa menggunakan ‘Formasi Pedang: Jiwa Naga Emas’ untuk memukul mundur mereka. Tiga tewas, dua berhasil kabur. Kami menang, Kakek Kaisar… tapi kami nyaris tidak bisa kembali hidup-hidup.”
Keheningan yang mencekam menyelimuti aula. Seorang ahli ranah Nascent Soul, salah satu pilar kekuatan kekaisaran, terluka parah hanya untuk memukul mundur lima musuh tak dikenal. Implikasinya sangat mengerikan.
Malam itu, di ruang kerja pribadinya, Ye Tiantong duduk bersama para putra dan cucu-cucunya. Peta wilayah utara terbentang di atas meja. Wajah mereka semua suram.
“Jadi, kita menghadapi musuh yang metodenya tidak kita kenali, kekuatannya bersifat korup, dan kebal terhadap metode penyembuhan kita. Kita buta,” kata Ye Qingtian, merangkum situasi dengan analisis dinginnya yang khas.
Saat itulah, pintu ruang kerja diketuk pelan. Ye Zhuxian masuk, membawa nampan berisi secangkir teh ginseng hangat. “Kakek Buyut, saya dengar Paman Qingfeng kembali dan terluka. Kakek Buyut pasti lelah.”
Ye Tiantong menatap cicitnya, hatinya terasa rumit. Ia mengisyaratkan agar Zhuxian mendekat. Zhuxian meletakkan tehnya, matanya yang polos melirik ke arah peta dan wajah-wajah serius di sekelilingnya. Ia mendengar sepenggal percakapan ayahnya dengan pamannya.
“…energi korup itu, bahkan cahaya suci dari teknik Paman Qingfeng pun sulit memusnahkannya sepenuhnya…”
Zhuxian memiringkan kepalanya. Tanpa maksud apa pun, ia hanya bertanya dengan rasa ingin tahu seorang anak kecil, “Ayah, jika cahaya tidak bisa menghancurkan bayangan, kenapa tidak mencoba mengerti bayangan itu?”
Pertanyaan itu seketika menghentikan semua percakapan.
Semua orang menatapnya. Ye Tiantong membeku. Pertanyaan itu… begitu sederhana, begitu naif, namun di saat yang sama, begitu menusuk ke jantung permasalahan mereka. Selama ini, mereka hanya berpikir bagaimana cara menghancurkan musuh ini dengan kekuatan mereka yang superior. Mereka tidak pernah berpikir untuk memahami sifat dari kekuatan musuh itu sendiri. Bagaimana cara kerjanya? Apa kelemahannya? Dari mana asalnya?
Sang kaisar menatap cicitnya, lalu beralih menatap sebuah kotak tersegel di sudut mejanya—berisi sampel tanah dan udara dari altar terkutuk yang berhasil dibawa pulang oleh Xiao Chen. Mereka buta karena mereka hanya mencoba melawan api dengan air. Mereka tidak pernah berpikir untuk mempelajari sifat api itu sendiri.
Dan orang yang paling banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan memahami, bukan untuk bertarung, adalah anak laki-laki berusia lima tahun di hadapannya.
Ye Tiantong menarik napas dalam-dalam. Beban di pundak kekaisaran terasa semakin berat, tetapi secercah cahaya kecil kini muncul dari arah yang sama sekali tidak terduga.
Mungkin, untuk mengalahkan kegelapan yang akan datang, mereka tidak hanya membutuhkan pedang tertajam. Mereka juga membutuhkan pikiran yang paling jernih.