Kedatangan Ye Yaoyue
Di dalam kamar pribadi Ye Zhuxian di Paviliun Giok, waktu seolah berhenti. Assassin kedua, seorang ahli ranah Nascent Soul tingkat menengah, membeku di tempat, belatinya hanya berjarak satu senti dari leher Zhuxian. Tekanan spiritual yang agung dan tak terbayangkan dari Ye Yaoyue telah mengunci setiap partikel di udara, mengubah ruangan itu menjadi sangkar tak terlihat.
Wajah Ye Yaoyue sedingin es. Kemarahan murni yang belum pernah ia rasakan selama puluhan tahun kini membara di matanya. Cicit kesayangannya, anak yang memberinya pencerahan, hampir saja lenyap di depan matanya. Dengan niat membunuh yang pekat, ia mengangkat satu tangannya yang ramping, siap melepaskan sebuah teknik pemusnah dari Alam Penempaan Jiwa.
“Nenek Besar, tunggu!”
Suara tenang Zhuxian, yang sudah berdiri setelah terlepas dari cengkeraman si assassin, memecah keheningan yang mematikan itu.
Ye Yaoyue berhenti, alisnya sedikit terangkat karena terkejut. Ia menoleh ke arah cicitnya. “Xian’er?”
“Jangan bunuh dia,” kata Zhuxian, tatapannya tetap stabil, sama sekali tidak menunjukkan ketakutan seorang anak kecil. “Dia dan rekannya adalah satu-satunya sumber informasi kita. Membunuhnya sekarang hanya akan memuaskan amarah, tetapi tidak akan memberi kita jawaban tentang siapa yang mengirim mereka.”
Logika yang dingin dan pragmatis di tengah situasi hidup dan mati itu membuat Ye Yaoyue tertegun sejenak. Ia menatap Zhuxian lebih dalam, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar *melihat*. Ia tidak melihat ketakutan. Ia tidak melihat kelegaan karena baru saja selamat. Ia melihat ketenangan seorang pemain *Weiqi* yang baru saja berhasil memojokkan bidak lawan yang penting.
Kesadaran itu menghantam Ye Yaoyue. *‘Anak ini… dia tidak panik karena dia tahu aku akan datang. Liontin itu… itu bukan harapan terakhirnya, itu adalah bagian dari rencananya. Dia sengaja membiarkan dirinya ditangkap untuk memastikan assassin kedua ini tidak bisa kabur saat aku tiba. Dia… menjadikan dirinya sendiri umpan.’*
Ye Yaoyue menoleh kembali ke arah si assassin, yang kini menatapnya dengan horor absolut. Kemarahan di mata Ye Yaoyue sedikit mereda, digantikan oleh sesuatu yang lebih dingin: kekaguman yang bercampur dengan sedikit rasa jengkel. Ia memutuskan untuk mengabulkan permintaan cicitnya.
“Kau beruntung nyawamu lebih berharga daripada kepuasan hatiku,” bisiknya pada si assassin.
Ia tidak lagi repot-repot menggunakan teknik yang megah. Ia hanya menjentikkan jarinya. Seketika, assassin itu menjerit kesakitan. Energi spiritual di dalam tubuhnya, yang merupakan fondasi dari kultivasinya, tiba-tiba bergejolak hebat dan saling menghancurkan dari dalam. Dalam beberapa detik, seluruh meridian utamanya putus, dan Dantiannya retak. Ia jatuh ke lantai seperti karung basah, kultivasinya lumpuh total, tetapi ia masih hidup.
Di tengah ruangan, berdiri Ye Yaoyue, auranya yang agung dan dingin memancarkan kekuatan seorang ahli dari Alam Penempaan Jiwa. Di hadapannya, Ye Zhuxian berdiri dengan tenang, jubahnya sedikit kusut setelah ditarik oleh si assassin, namun wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketakutan.
Baru saja, Zhuxian menghentikan Nenek Besarnya dari memberikan pukulan membunuh kepada penyusup terakhir. Ia meminta agar penyusup itu dibiarkan hidup untuk diinterogasi. Permintaan yang begitu logis dan dingin di tengah situasi yang begitu genting itu membuat Ye Yaoyue menatap cicitnya dengan cara yang benar-benar baru. Ia menyadari bahwa semua yang terjadi malam ini bukanlah serangkaian kebetulan atau keberuntungan, melainkan sebuah skenario yang telah diperhitungkan.
Saat itulah, pintu kamar hancur berantakan. Kaisar Ye Tiantong, bersama para putra dan cucunya, menerobos masuk dengan wajah penuh kepanikan. Mereka membeku di ambang pintu, menatap pemandangan di hadapan mereka dengan napas tertahan. Pemandangan yang luar biasa karena melihat Zhuxian selamat bercampur dengan kebingungan total saat melihat kedua assassin yang telah dilumpuhkan dan kehadiran Ye Yaoyue yang tak terduga.
“Xian’er!” Ye Qingxuan menjadi yang pertama pulih, berlari dan langsung memeluk putranya erat, memeriksa setiap inci tubuhnya untuk memastikan tidak ada luka.
Ye Mingyun juga bergegas maju, wajahnya yang biasanya tenang kini pucat karena khawatir. “Xiaoxian, kau baik-baik saja? Kau membuat kami semua takut setengah mati!” katanya sambil memeriksa tubuh sepupu kecilnya itu.
Ye Yaoyue mengabaikan kedatangan mereka untuk sesaat. Matanya yang tajam dan bijaksana tidak pernah lepas dari Zhuxian. Setelah memastikan anak itu lepas dari pelukan ayahnya, ia akhirnya angkat bicara. Suaranya tidak lagi dingin, tetapi dipenuhi oleh nada keingintahuan yang mendalam dan sedikit teguran.
“Membuat rencana yang begitu penuh risiko…” katanya, suaranya yang jernih terdengar oleh semua orang di ruangan itu. “…Jika sudah sadar menjadi sasaran dari awal, mengapa tidak memanggil bantuan lebih dulu, malah menggunakan dirimu sendiri sebagai umpan?”
Pertanyaan itu seketika mengubah atmosfer di dalam ruangan. Semua orang berhenti bergerak. Para petinggi Klan Ye yang baru saja datang kini menatap Zhuxian, menunggu jawaban. Pertanyaan dari Ye Yaoyue menyiratkan sebuah tuduhan yang sulit dipercaya: bahwa semua ini adalah rencana sang pewaris takhta itu sendiri.
Zhuxian dengan tenang melepaskan diri dari ayahnya. Ia membungkuk hormat kepada Nenek Besar dan Kakek Buyutnya sebelum menjawab.
“Memanggil bantuan adalah pilihan pertama yang saya pikirkan” katanya, suaranya yang kekanak-kanakan terdengar sangat kontras dengan kedalaman kata-katanya. “Tetapi, siapa yang harus saya panggil?”
Ia menatap Paman Besarnya, Ye Qingwu. “Jika saya memanggil kakek, ayah atau paman-paman yang sedang bersiaga mungkin akan mengacaukan strategi awal. ” Ia lalu melanjutkan, nadanya tetap datar dan analitis. “Selain itu, jika saya berteriak atau menciptakan keributan besar untuk memanggil penjaga, assassin yang bersembunyi ini akan langsung tahu bahwa ia telah terdeteksi. Tujuan utamanya adalah saya. Jika ia tahu ia ketahuan, ia akan langsung kabur ke dalam bayang-bayang. Kita akan berhasil mengusirnya malam ini, tetapi kita akan selamanya hidup dalam ketakutan akan pisaunya yang bisa muncul kapan saja di malam-malam berikutnya. Kita akan kehilangan kesempatan terbaik untuk menangkapnya.”
Penjelasan logis itu membuat semua orang terdiam. Mereka mulai mengerti arah pemikiran anak ini.
“Lalu mengapa menjadi umpan?” tanya Ye Qingxuan, suaranya masih bergetar. “Itu terlalu berbahaya, Nak.”
“Itu adalah satu-satunya cara untuk menjamin kemenangan total,” jawab Zhuxian. Ia menatap ayahnya, mencoba meyakinkannya. “Satu-satunya cara untuk memastikan kita menangkapnya adalah dengan membuatnya berpikir rencananya berhasil. Dengan membuatnya percaya bahwa saya adalah target yang lengah, sendirian, dan tidak menyadari kehadirannya. Hanya dengan begitu, ia akan masuk cukup dalam ke dalam wilayah kita.”
Ia menunjuk ke arah assassin pertama yang terikat oleh formasi. “Jebakan dari artefak Kakek Ketiga adalah lapisan pertahanan pertama saya. Saya sudah menduga, berdasarkan informasi dari Paman Qingfeng, bahwa musuh mungkin bekerja dalam tim, jadi saya berpikir akan ada rekannya. Jebakan itu dirancang untuk menangkap yang pertama, dan ternyata benar yang kedua muncul, orang yang lebih kuat dan lebih berhati-hati”
Lalu, ia menyentuh lehernya, tempat liontin itu tadinya berada. “Karena ada liontin dari Nenek Besar, ini adalah rencana terakhir saya. Saya tahu Nenek Besar adalah salah satu ahli terkuat di istana saat ini. Itu bukan harapan dalam keputusasaan, tapi pengaman yang sudah ambil. Saya yakin saya bisa bertahan beberapa detik yang dibutuhkan hingga Nenek Besar tiba.”
Zhuxian mengakhiri penjelasannya dengan menatap lurus ke arah kakek buyutnya.
Keheningan total.
Di dalam ruangan yang hancur itu, para petinggi Klan Ye menatap sosok mungil di hadapan mereka dengan ekspresi yang tak terlukiskan. Mereka tidak sedang melihat seorang anak. Mereka sedang melihat perwujudan dari strategi dan ketenangan yang mengerikan.
Ye Yaoyue tertawa pelan, tawa yang penuh dengan kebanggaan. Ia menatap ayahnya seolah berkata, ‘Lihat? Sudah kubilang anak ini berbeda.’
Kaisar Ye Tiantong perlahan berjalan mendekati Zhuxian. Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan cicitnya itu. Ia menepuk kepala Zhuxian dengan lembut, lalu meletakkan tangannya yang besar dan hangat di atas pundak kecil itu. Matanya yang telah melihat segalanya selama ratusan tahun kini memancarkan emosi yang sangat rumit.
“Kau…” katanya, suaranya serak. “…telah tumbuh terlalu cepat, Xian’er.”
Kalimat itu bukan pujian, bukan pula teguran. Itu adalah sebuah pernyataan fakta yang dipenuhi oleh rasa bangga, kekaguman, dan kekhawatiran yang mendalam akan masa depan yang akan diemban oleh pundak sekecil itu.