Dewan Para Tetua
Fajar menyingsing di atas Istana Klan Surgawi, namun sinarnya yang keemasan gagal mengusir hawa dingin yang tersisa dari pertumpahan darah semalam. Meskipun para pelayan telah bekerja tanpa henti untuk membersihkan sisa-sisa pertempuran, aroma samar darah dan energi korup yang terbakar masih tercium di udara, menjadi pengingat bisu akan betapa berbahayanya malam yang baru saja mereka lewati.
Di Aula Leluhur, sebuah tempat paling sakral yang hanya digunakan untuk pertemuan inti klan yang paling penting, suasana terasa lebih berat dari gunung mana pun. Tidak ada pejabat atau bangsawan yang diundang. Di dalam ruangan yang luas dan kuno itu, hanya ada para pemegang darah sejati Klan Surgawi Ye. Kaisar Ye Tiantong duduk di kursi utama yang terbuat dari kayu spiritual berusia sepuluh ribu tahun, wajahnya tenang namun matanya menyiratkan badai pemikiran. Di bawahnya, duduk para putranya: Ye Changxuan yang stoik, Ye Changhai yang bijaksana, dan Ye Changjian yang tampak lebih lelah dari biasanya. Generasi ketiga—Ye Qingwu, Ye Qingxuan, Ye Qingtian, Ye Qingfeng, dan yang lainnya—berdiri dengan sikap hormat, tak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara.
Di antara kursi-kursi para pangeran, ada satu kursi kosong yang sedikit terpisah. Kursi itu terbuat dari giok es abadi dan telah kosong selama puluhan tahun, hanya ditutupi oleh lapisan tipis debu waktu. Itu adalah kursi milik Putri Sulung, Ye Yaoyue, sang pertapa agung. Kehadirannya yang tidak pernah ada dalam rapat-rapat seperti ini sudah menjadi sebuah hal yang lumrah.
Saat Ye Tiantong hendak membuka pertemuan, pintu aula yang berat itu tiba-tiba terbuka tanpa suara. Semua orang menoleh, terkejut.
Sesosok wanita anggun dengan jubah putih sederhana melangkah masuk dengan tenang. Itu adalah Ye Yaoyue.
Keheningan total menyelimuti aula. Para cucu kaisar menatap dengan mulut sedikit ternganga, sementara ketiga pangeran—kakak dan adiknya—menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Selama lima puluh tahun, Ye Yaoyue tidak pernah meninggalkan Paviliun Teratai untuk urusan apa pun. Kehadirannya hari ini menandakan bahwa peristiwa semalam memiliki signifikansi yang jauh melampaui sekadar serangan penyusup biasa.
Ye Yaoyue berjalan dengan santai menuju kursinya yang kosong. Dengan satu lambaian tangannya yang anggun, debu yang menutupi kursi itu lenyap seketika. Ia lalu duduk dengan tenang, seolah ia tidak pernah absen dari pertemuan ini.
Ye Tiantong menatap putrinya sejenak, sebuah pemahaman mendalam terjalin di antara tatapan mereka. Ia lalu berdeham dan memulai pertemuan. “Malam yang panjang telah berlalu,” katanya, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kita menang, tetapi kemenangan ini membuka mata kita pada sebuah kenyataan yang pahit. Kita disusupi, dan kita nyaris kehilangan segalanya.”
Ia memberi isyarat pada Ye Qingtian. “Qingtian, laporkan hasilnya.”
Ye Qingtian melangkah maju. “Baik, Kakek Kaisar. Total sembilan penyusup berhasil ditangani. Tujuh tewas, dua ditangkap hidup-hidup. Tahanan pertama dari tim yang lebih lemah, berhasil ditangkap oleh formasi jebakan di Paviliun Giok. Tahanan kedua, pemimpin dari tim yang lebih kuat, berhasil dilumpuhkan oleh Nenek Besar Yaoyue. Kerugian di pihak kita adalah delapan prajurit penjaga gugur.” Ia berhenti, lalu menyerahkan token obsidian ke tengah meja. “Dan kita mendapatkan ini dari pemimpin mereka.”
Setelah laporan singkat itu, Ye Tiantong menatap seluruh keluarganya. “Anak itu… Xian’er… prediksinya seratus persen akurat. Analisisnya, strateginya… semuanya sempurna. Tetapi dia baru berusia lima tahun. Dia menggunakan dirinya sendiri sebagai umpan untuk memancing keluar semua tikus dari sarangnya. Pertanyaannya sekarang adalah, apa yang kita lakukan terhadapnya?”
Pertanyaan itu adalah inti dari pertemuan ini.
Ye Qingwu menjadi yang pertama angkat bicara, suaranya serak karena campuran amarah dan kekhawatiran. “Anak itu jenius, aku akui itu dengan sepenuh hati. Tetapi dia tetaplah anak-anak! Membiarkan seorang bocah berusia lima tahun mempertaruhkan nyawanya sendiri sebagai umpan adalah kegilaan dan kegagalan kita sebagai para tetuanya! Mulai hari ini, aku usulkan keamanannya ditingkatkan seratus kali lipat! Tempatkan satu batalion Pasukan Naga Tersembunyi di sekeliling Paviliun Giok. Dia tidak boleh melangkah keluar tanpa pengawalan ketat!” Solusinya adalah perlindungan fisik total, sebuah sangkar emas untuk menjamin keselamatannya.
“Aku tidak setuju,” sahut Ye Qingtian dengan tenang. “Mengurungnya adalah tindakan paling bodoh yang bisa kita lakukan, Kakak Qingwu. Kau akan mematikan aset terbesar yang baru saja kita sadari kita miliki: pikirannya. Jika pikirannya adalah senjatanya yang paling tajam, maka kita harus memberinya batu asah, bukan menyarungkannya selamanya. Kita harus memberinya lebih banyak informasi, bukan mengisolasinya. Kita harus mulai melibatkannya sebagai pengamat dalam diskusi strategis kita.” Solusi Qingtian adalah memanfaatkan dan mengasah kecerdasan itu.
Ye Qingxuan, sang ayah, menatap kedua sepupunya dengan ekspresi yang rumit. Wajahnya menunjukkan kebanggaan yang luar biasa, tetapi juga ketakutan yang mendalam. “Dia mungkin memiliki pikiran seorang jenderal perang, tapi jangan lupa, dia masih memiliki tubuh dan hati seorang anak berusia lima tahun. Dia masih suka mengejar Kupu-Kupu Ilusi di taman bersama adiknya. Aku bangga pada pencapaiannya semalam, tetapi sebagai seorang ayah, hatiku hancur membayangkan risiko yang ia ambil. Beban sebesar ini… aku takut ini akan menghancurkannya sebelum dia sempat tumbuh dewasa.” Solusi dari sang ayah adalah melindungi kewarasan dan masa kecilnya.
Tiga sudut pandang. Tiga pendekatan yang sama-sama lahir dari cinta dan kekhawatiran, namun saling bertentangan. Melindungi tubuhnya, mengasah pikirannya, atau menjaga hatinya?
Saat perdebatan mulai memanas, suara jernih Ye Yaoyue terdengar untuk pertama kalinya.
“Kalian semua salah.”
Seluruh ruangan seketika hening, semua mata tertuju padanya.
“Kalian masih mencoba ‘melakukan’ sesuatu padanya,” lanjutnya, tatapannya menyapu saudara-saudara dan keponakan-keponakannya. “Melindunginya, memanfaatkannya, memberinya ruang. Kalian semua masih melihatnya sebagai sebuah objek yang harus dikelola, sebuah bidak catur yang harus kalian tempatkan dengan hati-hati.”
Ia tersenyum tipis, senyum yang mengandung kebijaksanaan dari Alam Penempaan Jiwa. “Anak itu bukan bidak catur. Dia adalah pemainnya. Dan dia juga bukan sungai yang bisa kalian bendung atau kalian percepat alirannya. Dia adalah lautan itu sendiri, dengan pasang surut dan arusnya sendiri yang tidak bisa kalian prediksi.”
“Tugas kita sebagai keluarganya bukanlah untuk membentuknya sesuai keinginan kita,” katanya, suaranya yang lembut terasa menusuk ke dalam hati setiap orang. “Tugas kita adalah memastikan tidak ada bendungan buatan yang menghalangi jalannya, dan tidak ada racun dari dunia luar yang mengotori airnya. Singkirkan rintangan dari jalannya, dan biarkan dia mengalir menuju takdirnya yang agung dengan caranya sendiri.”
Ia menyimpulkan dengan sederhana. “Biarkan dia membaca apa pun yang ia mau. Biarkan dia bertanya apa pun yang ia ingin tahu. Biarkan dia bermain saat ia ingin bermain. Dan ketika ia memberikan saran atau peringatan, tugas kita adalah mendengarkan dengan saksama. Itulah satu-satunya cara kita bisa ‘membantunya’.”
Kata-kata Ye Yaoyue membawa pencerahan bagi semua yang hadir. Mereka semua telah berpikir terlalu rumit, mencoba memaksakan logika mereka pada sebuah fenomena yang berada di luar logika itu sendiri.
Kaisar Ye Tiantong menatap putrinya, lalu mengangguk perlahan. Ia berdiri, dan keputusannya kini telah final.
“Yaoyue benar,” katanya. “Pendekatan kita selama ini salah.”
Ia menatap Ye Qingwu. “Keamanan di sekitar Paviliun Giok akan ditingkatkan tiga kali lipat, tetapi lakukan secara tak terlihat. Jangan biarkan Xian’er merasa seperti berada di dalam sangkar.”
Ia lalu menatap Ye Qingtian. “Xian’er akan diberikan akses tanpa batas ke semua arsip dan catatan di perpustakaan, termasuk catatan-catatan rahasia yang hanya bisa diakses olehku. Jika ia ingin hadir sebagai ‘pengamat’ dalam rapat-rapat strategis, izinkan dia.”
Terakhir, ia menatap Ye Qingxuan. “Dan yang terpenting, jangan ada satu pun dari kalian yang membebaninya dengan tanggung jawab atau ekspektasi yang tidak perlu. Biarkan dia menjalani masa kecilnya. Biarkan dia bermain dengan Lingxi dan sepupu-sepupunya. Tugas kita bukan lagi untuk membentuknya, tetapi untuk melindunginya dari dunia luar, agar ia bisa membentuk dirinya sendiri.”
Keputusan itu diterima dengan anggukan khidmat dari semua yang hadir. Malam itu, mereka tidak hanya memenangkan sebuah pertempuran. Mereka juga telah menemukan sebuah pemahaman baru, sebuah arah baru dalam cara mereka memandang dan membesarkan sang Kaisar Ketujuh, pewaris takhta Klan Surgawi Ye.