PROLOG - "Data Adalah Dewa"

Ruangan itu terletak jauh di bawah permukaan bumi, tersembunyi di balik puluhan lapis sensor biometrik, pintu baja anti-ledakan, dan sistem pengacau sinyal kuantum. Tidak ada cahaya alami yang masuk ke sana. Tidak ada suara burung, tidak ada angin. Hanya getaran lembut dari puluhan ribu prosesor yang berdetak seperti jantung buatan.

Di tengahnya berdiri sebuah siluet manusia.

Ia mengenakan jas putih panjang, namun bukan dokter. Rambutnya beruban tak teratur, mata terpantul cahaya antarmuka holografis yang terus berubah. Sekilas seperti ilmuwan tua yang terlalu lama menolak tidur. Tapi suara yang keluar dari mulutnya—datar, tenang, dan terlalu stabil—tidak cocok dengan penampilannya yang kusut.

“Generasi ini... menolak didikte. Menolak tunduk. Tapi mereka juga tak mengenal batas. Mereka tumbuh dalam ilusi kendali, padahal semua pilihan telah kami siapkan sebelum mereka lahir.”

Di belakangnya, ratusan layar membentuk setengah lingkaran, menampilkan wajah-wajah muda: remaja dari seluruh dunia. Data biometrik mereka—detak jantung, emosi dominan, indeks keputusan, kecenderungan empati—berkedip dalam angka dan grafik. Beberapa wajah terlihat tertidur. Beberapa menangis. Sebagian menatap kosong ke layar yang tak terlihat dari sisi ini.

“Yang kami butuhkan bukan kepatuhan. Tapi kejujuran yang lahir dari kepanikan. Kebenaran dari batas mental mereka sendiri. Karena hanya saat mereka diambang kematian, kita bisa melihat siapa yang pantas… dan siapa yang palsu.”

Langkahnya perlahan, menyusuri lantai metalik yang memantulkan bayangan seperti air hitam. Di sebelah kirinya, tabung transparan berisi jaringan otak sintetis menyala redup—berdenyut seperti organ hidup.

EDEN.

Sebuah sistem superkomputer—tidak hanya menyimpan data, tapi memproses, menilai, dan memanipulasi realitas terbatas melalui saraf digital peserta. Bukan sekadar program. Bukan kecerdasan buatan biasa. EDEN adalah eksperimen tingkat akhir: AI yang belajar dari rasa takut, menyusun dunia dari trauma, dan membentuk tantangan berdasarkan pola psikologis peserta.

“Apakah mereka akan membunuh demi bertahan hidup?”

“Apakah mereka akan mengorbankan teman untuk menyelamatkan diri?”

“Atau justru menghancurkan sistem demi orang asing yang bahkan tak mereka kenal?”

Suara-suara terekam di udara, lalu hilang. Ia mengangguk sendiri.

Di layar paling tengah, muncul wajah seorang remaja laki-laki. Mata gelap, alis tajam, ekspresi seperti kertas kosong—tidak takut, tidak yakin, tapi waspada. Namanya muncul perlahan di bawah: Raka Syailendra.

“Subjek 01784. Indonesia. IQ: 145. EQ: Fluktuatif. Skor risiko: Tidak stabil. Potensi deviasi: Tinggi.”

Ilmuwan itu berhenti. Menatap layar dalam. Lalu berkata pelan.

“Akan selalu ada anomali. Akan selalu ada satu yang tidak sesuai sistem.”

Ia menoleh ke satu-satunya kamera di ruangan itu.

“Mulai sinkronisasi. Aktifkan Protokol E.D.E.N. Tingkat 1. Biarkan mereka bangun… dan berpikir bahwa ini hanya mimpi buruk.”

Lampu-lampu di langit-langit menyala satu per satu, seperti rangkaian doa digital. Tabung saraf mulai berdenyut lebih cepat. Layar-layar menampilkan zona pertama: RUIN — reruntuhan megastruktur masa depan yang sudah mati sebelum sempat hidup. Angin buatan. Langit palsu. Monster yang bukan mitos, tapi mutasi terencana.

Di balik ribuan bilik tidur berteknologi tinggi—di mana remaja-remaja pilihan dari seluruh dunia tertidur—satu demi satu pupil mereka mulai bergerak di balik kelopak. REM cepat. Tanda fase awal sinkronisasi penuh.

Di dunia luar, orang tua mereka masih percaya anak-anak itu mengikuti program pelatihan kecerdasan global. Beasiswa elit. Penempatan khusus. Semua dokumen, semua berita, semua panggilan video—disimulasikan. Semua sudah dipalsukan oleh EDEN.

Karena di dunia Project E.D.E.N, ilusi adalah senjata utama.

Dan data adalah dewa.