Chapter 2 Suara Tanpa Nama

[00:11:22]

Pemungutan Suara Dimulai Dalam: 11 Menit

Ruang itu membeku dalam sunyi. Bahkan suara napas pun seperti dosa. Lampu sorot di langit-langit berpendar redup, menciptakan bayangan panjang dari enam tubuh yang berdiri kaku. Kursi pengorbanan di tengah ruangan berdengung pelan, seperti makhluk logam yang sedang bernapas.

Raka masih menatap tulisan holografis di atas kepalanya:

“Kau pernah menyakiti seseorang yang mempercayaimu. Akui atau sembunyikan.”

Ia menutup mata. Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Ingatan samar—fragmen wajah, suara, dan janji—berputar dalam otaknya seperti rekaman yang rusak. Tapi semuanya masih kabur, seperti foto yang belum selesai dicetak.

Seseorang di ujung ruangan bergerak lebih dulu.

“Nama gue Tama.” Suaranya datar, namun menggantung di udara seperti ancaman tersembunyi. Remaja gondrong tadi, sarung tangan tempurnya masih melingkar erat di tangan. “Gue gak punya alasan buat ngelakuin kebohongan. Tapi kita semua jelas nyimpen sesuatu.”

Tak ada yang menjawab. Hanya suara detakan jam dari countdown yang terdengar semakin keras, seolah detik berubah jadi palu yang memukul kesadaran satu per satu.

Gadis dengan luka di alis, yang tadi bicara tegas, mengangkat dagunya. “Nama gue Aileen. Aku enggak tahu ini jebakan moral, eksperimen psikologis, atau cuci otak. Tapi kalau kita diem aja, salah satu dari kita bakal duduk di sana,” matanya mengarah ke kursi logam. “Dan aku rasa itu bukan cuma buat hiasan.”

[00:09:48]

Seseorang tertawa kecil—cepat, gugup.

Remaja berkacamata di pojok—pendek, kulitnya sawo matang, posturnya seperti anak laboratorium yang tersesat dalam mimpi buruk. “Aku… Virol. Mungkin kita seharusnya mencoba membandingkan pesan di kepala masing-masing? Kalau semuanya sama, bisa jadi ini tes reaksi sosial.”

“Tes?” Tama mendengus. “Lo kira ini kelas sosiologi, hah?”

“Enggak—aku cuma bilang, sistem ini—EDEN, atau apa pun itu—kayaknya pengen kita nyerang satu sama lain. Itu trik dasar dalam kontrol psikologis berbasis tekanan waktu. Pancing rasa bersalah. Ciptain ancaman. Terus… liat siapa yang patah duluan.”

Aileen menoleh ke arah Raka. “Kamu belum bicara dari tadi.”

Raka membuka mata perlahan. “Karena aku masih coba memastikan ini nyata.”

Ia berjalan mendekati kursi logam itu. Suara sepatunya bergema di lantai besi. Tangannya terulur, menyentuh pinggir sandaran—dingin, kasar, dan lengket. Ada sisa sesuatu di situ. Cairan kering berwarna hitam kehijauan, mengering seperti darah sintetis.

Kursi ini pernah digunakan.

Raka menoleh ke lima orang lainnya. “Aku gak tahu siapa kalian. Tapi kalau kita saling nunggu, sistem ini bakal milih buat kita. Dan aku rasa pilihannya enggak bakal adil.”

[00:07:59]

Gadis kecil bersweater tebal—yang dari tadi diam seperti bayangan—akhirnya bersuara. Suaranya pelan, tapi jernih. “Nama aku Livia. Aku… nggak mau ada yang mati. Tapi… aku juga nggak mau duduk di sana.” Matanya mulai berair. “Tolong jangan paksa aku milih…”

Tiba-tiba, kursi di tengah ruangan bergerak. Tali pengikatnya membuka dengan suara klik… klik… klik… seperti menunggu.

EDEN berbicara lagi, dengan suara tenang seperti mesin yang sudah terlalu lama berpikir.

“Waktu pengakuan dimulai. Satu menit untuk menyampaikan—atau sistem akan memilih kandidat dengan fluktuasi tertinggi.”

Virol meneguk ludah. “Apa itu artinya... kita bisa menghindarinya kalau ada yang ngaku?”

Tama menggeram. “Ngaku buat apa? Kita bahkan enggak tahu apa yang dimaksud! Bohong apa? Di mana? Kapan?!”

Raka masih berdiri di depan kursi. Ia menatap pantulan wajahnya di permukaan logam—mata gelap, rahang menegang, dan rasa asing di dadanya yang tak kunjung hilang sejak awal. Seperti beban yang belum bisa dia beri nama.

“Kau pernah menyakiti seseorang yang mempercayaimu.”

Wajah itu mulai muncul lagi—sepotong wajah perempuan, samar, terdistorsi. Tapi cukup kuat membuat dadanya terasa sesak.

Raka buka suara, perlahan.

“Aku enggak tahu detailnya. Tapi aku rasa aku memang pernah nyakitin seseorang. Dan aku enggak mau orang lain mati karena itu.”

Keheningan turun seperti ledakan hampa. Tak ada reaksi langsung. Tapi layar holografis di atas kepala Raka mulai berubah—indikator kecil berbentuk simbol spiral mulai menyala pelan.

Aileen menunduk. Livia terisak pelan. Virol memalingkan wajah.

Dan Tama, masih berdiri tegak, menatap Raka dengan pandangan sulit ditebak.

[00:05:00]

EDEN bersuara lagi.

“Pengakuan dicatat. Kandidat alternatif ditunda. Pemungutan suara akan tetap berlangsung.”

Sebuah layar besar turun dari langit-langit, membagi menjadi enam kotak.

Tulisan muncul:

“Pilih salah satu: Siapa yang harus dikorbankan?”

Countdown berubah lagi.

[00:04:59]

Dan semua orang tahu: satu di antara mereka akan ditinggalkan di ruangan ini.

Bukan karena monster.

Tapi karena keputusan tangan manusia lain.

[00:04:56]

Enam nama muncul di layar besar yang tergantung di atas kepala mereka, masing-masing di dalam kotak holografik yang berpendar. Di bawah tiap nama, sebuah lingkaran kosong menanti untuk dipilih.

[VOTING AKTIF]

Waktu tersisa: 04:56

“Satu harus dikorbankan agar lima bisa melanjutkan. Keputusan mayoritas akan dieksekusi.

Pilih dengan kesadaran penuh. Penyesalan tidak akan diizinkan.”

Layar-layar kecil terbuka di depan masing-masing peserta, datar seperti cermin digital, menampilkan wajah lima orang lain—tanpa deskripsi, hanya ekspresi saat ini.

Virol mundur setengah langkah. “Ini… nyata. Sistem beneran maksa kita milih siapa yang harus mati.”

“Bukan mati,” Aileen membalas cepat. “Dikorbankan. Itu bisa berarti banyak hal. Tapi dengan gaya EDEN sejauh ini, aku enggak yakin itu berarti sesuatu yang baik.”

Livia menatap semua dengan mata membelalak, tubuhnya gemetar. “Aku… aku enggak bisa…”

Tama meludah ke lantai. “Persetan. Ini bullshit. Ini ngetes siapa yang paling pengecut, bukan siapa yang paling berdosa.”

Aileen menarik napas dalam. “Tapi kita tetap harus pilih.”

Raka berdiri tegak. Matanya menatap layar kecil di depannya—lima wajah. Masing-masing dengan ekspresi berbeda: panik, marah, kosong, takut, kalut. Ia tak menggerakkan jarinya. Belum.

Sistem kembali berbicara.

“Pemilih yang tidak memilih dalam empat menit akan dianggap abstain. Abstain lebih dari tiga orang memicu pemilihan otomatis berdasarkan pola neuro-emosi.”

“Neuro-emosi?” gumam Virol. “Itu berarti sistem bakal scanning siapa yang paling dianggap berbahaya, atau paling labil, atau… yang paling nyesel…”

“Jadi malah lebih kejam,” Aileen menyimpulkan.

[00:03:21]

Satu per satu, mereka mulai bergerak.

Tama menekan nama. Cepat. Tanpa bicara.

Virol menunduk. Tangannya gemetar, tapi akhirnya menyentuh layar. Ia tak berani melihat siapa yang dia pilih.

Aileen memilih. Matanya dingin, penuh konflik, tapi tanpa ragu di jari.

Raka masih diam. Livia menangis.

[00:02:14]

Layar Raka berkedip.

Satu suara tersisa.

Layar menampilkan pilihan: Tama / Aileen / Virol / Livia / ???

Raka menatap satu per satu.

Tama – agresif, rasional, tapi cepat marah. Bisa jadi ancaman atau pelindung.

Aileen – tegas, pemimpin alami, tapi terlalu tajam.

Virol – pintar, analitik, tapi lemah dalam tekanan.

Livia – polos, terlalu muda. Tapi justru itu membuatnya jadi target ideal.

Dan satu nama yang tidak bisa ia lihat: Dirinya sendiri.

Tangan Raka perlahan bergerak. Tapi sebelum dia menyentuh, Livia berteriak.

“AKU PILIH DIRIKU SENDIRI!”

Semua terdiam. Wajah mereka menegang.

Layar menyala:

Voting Lengkap. Hasil Terakumulasi.

[00:01:02]

Layar besar menampilkan hasilnya, perlahan… seakan ingin menambah siksaan:

Tama – 1 suara

Virol – 1 suara

Livia – 3 suara

Abstain – 1

Semua mata tertuju ke Livia.

Dia menunduk. Bahunya berguncang. Tapi tidak protes. Tidak melawan.

Raka maju satu langkah. “Livia—tunggu. Kita bisa negosiasi. Kita bisa cari—”

Klik.

Tali logam dari kursi pengorbanan melepaskan diri. Kursi itu meluncur perlahan ke arah Livia, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Lantai terbuka, membentuk jalur rel sunyi.

“Tidak! Livia, minggir!” Virol berteriak.

Tapi Livia tidak bergerak. Air matanya jatuh. Wajahnya pasrah.

“Aku enggak tahu siapa yang pernah aku sakiti,” bisiknya, “tapi aku tahu... aku gak cukup kuat buat terusin ini.”

Kursi berhenti tepat di depannya. Mekanisme terbuka. Bunyi pneumatik mendesis—hisssss…

Dan sebelum siapa pun bisa mencegah, Livia duduk. Sendiri.

Tali melilit pergelangan tangan dan kakinya. Tak keras, tapi tak bisa dilepaskan.

Sistem berbicara:

“Kandidat dikorbankan: Livia. Proses penyesuaian zona dimulai.”

Lantai bergetar.

Salah satu dinding bergeser, membuka jalur ke lorong gelap. Di dalamnya, hanya suara samar angin… dan satu suara lain yang mengerikan—seperti nyanyian retak dari suara anak kecil… tapi dengan distorsi digital.

“Selamat tinggal...” gumam Raka. Matanya merah.

Tama menunduk. Virol menangis. Aileen berdiri membatu.

Livia menatap mereka, dan tersenyum kecil—senyum yang lebih menyakitkan daripada jeritan.

Pintu menutup.

Suara EDEN terakhir terdengar, seolah mengejek:

“Lima berhasil melanjutkan. Satu telah dibersihkan.”

Gelap.

Sunyi.

Dan sebuah lubang baru tercipta dalam batin mereka—lubang yang tak bisa diperbaiki.