Bagian 1
Seminggu telah berlalu sejak hari yang menentukan di Volkov Atelier. Kehidupan di apartemen Kael telah menemukan ritme barunya, sebuah harmoni yang aneh namun menenangkan. Chroma kini jauh lebih terbuka. Ia masih pendiam, tapi tidak lagi kosong. Matanya yang biru kelabu kini memiliki kilau kehidupan, dan ia sering terlihat tersenyum tipis saat menggambar di sudut ruang keluarga. Lukisan potret ayahnya kini tergantung dengan bangga di dinding studio lama, dijaga oleh Ordo sebagai sebuah artefak yang berharga.
Perubahan terbesar mungkin terjadi pada Rina. Sejak menyelesaikan lukisan itu, dinding es di sekelilingnya seolah mencair sedikit. Ia lebih sering mampir ke apartemen Kael setelah sesi pelatihan, dengan alasan "melakukan evaluasi rutin terhadap subjek Phantasm," tapi semua orang tahu ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan "keluarga"-nya. Ia bahkan sesekali membantu Chroma dengan pekerjaan rumahnya, sebuah pemandangan yang tak terbayangkan beberapa minggu lalu.
Suatu sore, Kael, Rina, Lyra, dan Chroma sedang duduk bersama di ruang keluarga. Kael dan Rina sedang membahas strategi tempur dasar, sementara Lyra mengawasi dengan saksama, sesekali memberikan komentar seperti, "Kenapa tidak langsung saja hancurkan semuanya dengan satu serangan?" Chroma, seperti biasa, sedang menggambar.
"Jadi, jika musuh menyerang dari titik buta, manuver paling efisien adalah…" Rina sedang menjelaskan sambil menunjuk diagram di data-slate-nya ketika Chroma tiba-tiba bangkit dan menyodorkan buku sketsanya pada Rina.
Di atas kertas, tergambar potret Rina. Bukan Rina sang agen Ordo yang dingin, tapi Rina yang sedang tersenyum lembut, dengan latar belakang bunga-bunga biru yang mekar—bunga kristal yang sama seperti yang tercipta saat Chroma menemukan kedamaiannya.
Rina tertegun menatap gambar itu.
"Untukmu… Kakak," bisik Chroma, kata "kakak" diucapkan dengan sedikit ragu namun tulus.
Rina terpaku selama beberapa detik, sebelum akhirnya mengambil gambar itu dengan tangan yang sedikit gemetar. "Ini… bagus sekali, Chroma. Terima kasih." Ia tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.
Lyra, yang melihat interaksi itu, mencondongkan tubuhnya ke Kael. "Kael, kapan kau akan digambar lagi?" tanyanya, jelas sedikit cemburu.
Kael hanya bisa tertawa. Momen-momen seperti inilah yang membuatnya merasa semua bahaya yang ia lalui sepadan.
Namun, kedamaian itu tidak diciptakan untuk bertahan lama.
Ponsel Rina berdering dengan nada prioritas tinggi dari Ordo. Ia segera menjawabnya. Ekspresinya yang mulai rileks langsung menegang.
"Dimengerti, Komandan," katanya singkat sebelum menutup panggilan.
"Ada apa?" tanya Kael, merasakan perubahan suasana.
"Crimson Hunt," jawab Rina, matanya kini berkilat tajam. "Intelijen kita mendapatkan informasi. Mereka akan melakukan transaksi besar malam ini. Menjual teknologi Rift ilegal kepada kartel senjata di Pelabuhan Kargo Lama."
Komandan Kirana muncul di layar holografik utama apartemen, yang merupakan saluran komunikasi aman.
"Kael, Rina," sapanya, wajahnya serius. "Ini adalah kesempatan emas untuk menangkap pemimpin unit mereka dan mendapatkan informasi tentang siapa klien mereka dan bagaimana mereka bisa melacak kita. Aku ingin kalian berdua memimpin tim penyergapan."
"Kami, Komandan?" Kael sedikit terkejut. "Ini misi penyerbuan, bukan misi resonansi."
"Benar," kata Komandan Kirana. "Dan inilah bagian dari pelatihanmu, Kael. Kau harus belajar beroperasi dalam skenario tempur nyata. Selain itu, ada kemungkinan Crimson Hunt membawa 'aset' spektral. Kehadiranmu bisa menjadi kartu AS jika situasi memburuk."
Ia menatap Rina. "Agen Volkov, kau yang akan memimpin di lapangan. Ini akan menjadi ujian pertamamu sebagai komandan tim kecil."
"Siap, Komandan!" jawab Rina, semangatnya sebagai seorang prajurit kembali berkobar.
Kael merasa gugup. Ini akan menjadi misi tempur pertamanya yang sesungguhnya.
Lyra, yang mendengar semua itu, berdiri. "Aku ikut."
"Lyra, ini mungkin terlalu berbahaya," kata Kael.
"Justru karena berbahaya aku harus ikut," balas Lyra tegas. "Aku tidak akan membiarkan Crimson Hunt menyentuhmu lagi."
Komandan Kirana, yang masih di layar, mempertimbangkan sejenak. "Kehadiran 'Lyra' bisa menjadi pencegah yang kuat, tapi juga bisa memicu eskalasi. Rina, aku serahkan keputusan padamu."
Rina menatap Lyra, lalu ke Kael. Ia melihat tekad di mata Lyra dan kekhawatiran di mata Kael.
"Baiklah," kata Rina akhirnya. "Lyra akan ikut, tapi sebagai 'opsi nuklir'. Kau hanya boleh bertindak jika aku memberimu sinyal, mengerti?"
Lyra mengangguk, puas.
Tiba-tiba, Chroma menarik ujung kemeja Kael. Ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku… juga?"
Semua orang menatapnya.
"Chroma, kau tidak punya kekuatan ofensif," kata Rina lembut.
"Bisa… bantu," bisik Chroma. Ia mengambil pensil dan dengan cepat menggambar di sketsanya. Sebuah peta Pelabuhan Kargo Lama, dengan beberapa area ditandai dengan warna kelabu. "Tempat… sunyi. Tempat… bersembunyi."
Kael terkesiap. "Dia bisa merasakan 'kanvas' dari area itu. Dia bisa menunjukkan titik-titik buta dan tempat persembunyian terbaik!"
Kemampuan Chroma bukanlah untuk bertarung, tapi untuk infiltrasi dan strategi.
Komandan Kirana tersenyum tipis. "Sepertinya kita sudah punya tim yang unik. Tim Resonansi Alpha, bersiaplah. Misi dimulai dalam dua jam."
Layar pun mati.
Kael menatap "keluarga"-nya. Seorang prajurit elit, seorang dewi kosmik, seorang seniman spektral, dan dirinya sendiri. Ini akan menjadi malam yang sangat panjang.
Bagian 2
Malam di Pelabuhan Kargo Lama terasa dingin dan berbau garam. Deretan kontainer pengiriman yang menjulang tinggi menciptakan labirin baja yang gelap, hanya diterangi oleh lampu sorot keamanan yang berputar malas. Angin laut berhembus kencang, membawa suara deburan ombak dan derit logam berkarat.
Di atas salah satu menara kontainer tertinggi, Tim Resonansi Alpha mengamati target mereka. Kael, Rina, dan Lyra mengenakan seragam tempur hitam Ordo, sementara Chroma, yang terlalu kecil untuk seragam, hanya mengenakan jaket kedap angin di atas pakaiannya, duduk tenang sambil melihat peta digital yang disinkronkan dengan persepsinya.
"Mereka ada di sana," bisik Rina, menunjuk melalui teropong digitalnya. "Gudang nomor tujuh. Sesuai informasi."
Kael bisa melihat beberapa sosok anggota Crimson Hunt berjaga di luar gudang. Di dalam, transaksi sedang berlangsung.
"Chroma, bagaimana situasinya?" tanya Kael.
Chroma menunjuk beberapa titik di peta. "Banyak… bayangan. Di belakang kontainer biru. Di atas derek. Mereka punya penembak jitu."
Informasi dari Chroma memberikan gambaran medan perang yang tidak bisa dideteksi oleh sensor panas atau gerakan biasa.
"Bagus sekali, Chroma," puji Rina. "Kita akan masuk dari sisi barat, menggunakan tumpukan kontainer itu sebagai perlindungan. Lyra, kau tetap di sini bersama Chroma sebagai cadangan dan pengamat. Jangan bergerak kecuali aku memanggil 'Stardust'."
"Mengerti," jawab Lyra, matanya terpaku pada gudang, siap melepaskan kekuatannya kapan saja.
Kael dan Rina turun dengan senyap, bergerak dari bayangan ke bayangan seperti hantu. Jantung Kael berdebar kencang, ini pertama kalinya ia berada dalam misi infiltrasi seperti ini. Rina memberinya sebuah pistol energi kecil. "Hanya untuk pertahanan diri. Fokusmu adalah tetap di belakangku," bisiknya.
Mereka berhasil mencapai dinding gudang tanpa terdeteksi, berkat petunjuk dari Chroma. Rina memasang sebuah alat penyadap kecil di dinding. Suara dari dalam gudang terdengar di earpiece mereka.
"…dan dengan teknologi reaktor Rift ini, kalian bisa menciptakan senjata energi portabel yang mampu menembus perisai standar Ordo," suara pemimpin Crimson Hunt yang familiar terdengar.
"Bagus sekali," suara lain yang berat dan serak menjawab. "Pembayaran akan ditransfer setelah kami menguji barangnya."
"Sekarang!" Rina memberi perintah kepada tim Ordo lain yang sudah mengepung.
Pintu gudang meledak terbuka. Tim Ordo menyerbu masuk, diiringi tembakan energi dan teriakan.
Kael dan Rina masuk di tengah kekacauan. Di dalam, pemimpin Crimson Hunt dan beberapa pengawalnya bertarung sengit dengan tim Ordo, sementara pembeli mereka, seorang pria besar berwajah sangar, mencoba melarikan diri dengan sebuah koper berisi reaktor Rift.
"Kael, tetap di sini!" perintah Rina saat ia melesat maju, bergabung dalam pertempuran untuk menahan pemimpin Crimson Hunt.
Kael berlindung di balik peti kemas, mencoba untuk tidak menghalangi. Tapi ia melihat pria besar pembeli itu hampir berhasil mencapai pintu keluar belakang. Jika reaktor itu lolos, akan sangat berbahaya.
Tanpa pikir panjang, Kael keluar dari tempat persembunyiannya dan menembakkan pistol energinya ke kaki pria itu. Tembakannya meleset, tapi cukup untuk membuat pria itu tersandung dan menjatuhkan kopernya.
"Anak sialan!" Pria itu berbalik dan menodongkan senjatanya pada Kael.
Waktu seolah melambat bagi Kael. Ia tahu ia tidak akan sempat menghindar.
Tiba-tiba, sebuah tebasan cahaya perak melesat dari atas, memotong senjata pria itu menjadi dua.
Lyra mendarat dengan anggun di antara Kael dan pria besar itu. Ia tidak memanifestasikan sabit raksasanya, hanya sabit seukuran biasa, tapi itu sudah lebih dari cukup.
"Kau tidak dapat sinyal, Lyra!" kata Kael, terkejut sekaligus lega.
"Aku melihatmu dalam bahaya. Itu sinyal yang cukup bagiku," jawab Lyra tanpa menoleh.
Di sisi lain, Rina berhasil melumpuhkan pemimpin Crimson Hunt dengan gerakan yang cepat dan efisien. Pertarungan berakhir dalam sekejap.
Tim Ordo mengamankan semua anggota Crimson Hunt dan barang bukti. Misi berhasil.
Saat mereka berkumpul kembali, Rina menatap Lyra. "Kau melanggar perintah."
"Aku melindungi Kael," jawab Lyra sederhana.
Rina menghela napas, tapi kemudian senyum tipis muncul di bibirnya. "Kerja bagus, kalian semua."
Saat pemimpin Crimson Hunt dibawa pergi, ia menatap Kael dengan tatapan penuh kebencian. "Ini belum berakhir, Pawang! Tuanku tidak akan senang dengan ini. Dia akan datang untukmu!"
"Tuanmu?" Kael mengerutkan kening.
Pria itu hanya tertawa sinis sebelum diseret pergi.
Misi mereka mungkin berhasil, tapi ancaman yang lebih besar baru saja terungkap. Crimson Hunt hanyalah pion. Ada pemain lain yang lebih kuat di balik layar.
Kael menatap "keluarga"-nya—Rina, Lyra, dan Chroma yang ia tahu sedang mengawasi dari jauh. Apapun yang akan datang, ia tidak akan menghadapinya sendirian.