Epilog: Api yang Belum Terlihat

Langit malam di atas Stellara dihiasi oleh kembang api digital yang diluncurkan dari menara-menara pusat kota, merayakan sebuah festival musim panas tahunan. Dari balkon apartemen penthouse mereka, Kael dan "keluarga"-nya menyaksikan pertunjukan cahaya itu. Udara terasa hangat, dipenuhi aroma makanan dari panggangan portabel yang sedang dioperasikan oleh Rina dengan efisiensi seorang ahli bedah.

Ini adalah malam perayaan kecil mereka, beberapa hari setelah keberhasilan misi di pelabuhan.

"Wah, lihat yang itu! Bentuknya seperti kucing!" seru Elara, menunjuk ke sebuah ledakan kembang api berwarna merah muda.

Lyra, yang berdiri di samping Kael, menatap langit dengan mata berbinar. "Itu… lebih indah dari bintang-bintang yang kupanggil," akunya dengan jujur, sebuah senyum tipis yang langka tersungging di bibirnya.

Di sudut balkon, Chroma tidak menatap kembang api. Ia duduk dengan tenang, buku sketsanya di pangkuan, mencoba menangkap ekspresi kebahagiaan di wajah teman-temannya dengan pensil warnanya. Untuk pertama kalinya, ia melukis senyuman.

"Dagingnya sudah matang," kata Rina, meletakkan beberapa tusuk sate panggang di atas piring. "Jangan sampai gosong hanya karena kalian terpesona oleh ledakan kimia di langit."

Meskipun kata-katanya terdengar datar, Kael bisa melihat kelembutan di matanya saat ia menyerahkan satu tusuk sate pada Chroma.

Kael tersenyum. Pemandangan ini terasa begitu normal, begitu damai, hingga hampir membuatnya lupa akan dunia berbahaya yang mereka tinggali. Mereka bukan lagi hanya tim yang dipaksakan oleh keadaan. Mereka adalah sesuatu yang lebih. Sebuah konstelasi yang aneh, terdiri dari bintang-bintang yang berbeda, namun entah bagaimana menemukan cara untuk bersinar bersama.

Saat itulah, tablet komunikasi aman di meja bergetar. Wajah Komandan Kirana muncul di layar.

"Maaf mengganggu malam kalian," sapanya. "Hanya laporan singkat. Pemimpin unit Crimson Hunt yang kita tangkap… dia bunuh diri di sel tahanannya sebelum tim interogasi sempat mendapatkan informasi signifikan."

Suasana ceria itu langsung sedikit meredup.

"Dia meninggalkan satu pesan, yang tergores di dinding selnya," lanjut Komandan Kirana. Layar menampilkan sebuah gambar: simbol api yang dikelilingi oleh rantai. Di bawahnya, ada tulisan:

"Sang Penguasa Api akan membakar semua harapanmu."

"Kami belum tahu apa artinya ini," kata Komandan Kirana. "Bisa jadi hanya bualan putus asa, atau sebuah peringatan. Bagaimanapun, tetaplah waspada. Nikmati kedamaian ini selagi bisa."

Layar pun mati.

Kael menatap sisa-sisa kembang api di langit. Kedamaian. Ia tahu betul betapa rapuhnya hal itu. Peringatan tentang "Tuan" dan "Sang Penguasa Api" terasa seperti awan gelap yang berkumpul di cakrawala yang cerah.

Jauh dari cahaya festival Stellara, di sebuah ruangan yang menyerupai singgasana di dalam benteng obsidian yang melayang di sebuah celah dimensi yang tidak stabil.

Sesosok figur duduk di atas takhta yang terbuat dari logam yang seolah menyerap cahaya. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan pekat, namun aura kekuatan dan kekuasaan yang ia pancarkan terasa menindas. Ini adalah "Tuan" yang dibicarakan oleh pemimpin Crimson Hunt.

Sebuah hologram dari ajudannya yang berwajah pucat berlutut di hadapannya.

"Tuanku, unit di Stellara telah gagal. Mereka semua ditangkap atau dilenyapkan. Reaktor Rift itu berhasil diamankan oleh Ordo."

Figur di atas takhta itu tidak bergerak. Keheningan yang ia ciptakan lebih menakutkan daripada amukan apa pun.

"Kegagalan mereka tidak penting," suara figur itu akhirnya terdengar, dalam dan beresonansi, seolah berasal dari inti bumi itu sendiri. "Mereka telah memberiku informasi yang jauh lebih berharga. Seorang Resonator. Seorang anak laki-laki yang bisa menjinakkan 'Gema Jiwa' kita."

Ia menggerakkan jarinya, dan hologram lain muncul, menampilkan rekaman pertempuran Kael, Lyra, dan Chroma. Ia memperhatikan dengan saksama.

"Lyra, 'Nyanyian Kosmik' yang memberontak. Dan Chroma, 'Kanvas Hampa' yang rapuh. Keduanya kini menjadi anjing penjaga yang setia untuk anak itu. Sungguh… mengecewakan."

Figur itu bangkit dari takhtanya, melangkah perlahan keluar dari bayangan. Hanya siluetnya yang terlihat, tinggi dan mengintimidasi.

"Sudah waktunya untuk mengingatkan mereka akan sifat asli mereka. Sudah waktunya untuk menguji ikatan rapuh mereka dengan api yang sesungguhnya."

Ia menjentikkan jarinya. Sebuah gerbang api merah darah terbuka di tengah ruangan.

"Panggil dia," perintahnya.

Dari dalam gerbang api, sesosok gadis dengan rambut merah menyala dan mata penuh amarah melangkah keluar. Ia mengenakan armor vulkanik yang masih berasap, dan tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Ignis," sapa sang Tuan. "Kau dengar panggilanku?"

Gadis bernama Ignis itu mendengus, api kecil berkobar di sekitar tinjunya. "Apa maumu, Alaric?" tanyanya, suaranya serak karena amarah yang tertahan.

"Aku punya misi untukmu, 'Api Kemarahan'," kata figur yang kini kita kenal sebagai Alaric. "Ada sebuah kota bernama Stellara. Di sana, ada dua 'saudari'-mu yang telah melupakan penderitaan mereka, dijinakkan oleh seorang manusia. Pergilah. Bakar kebohongan mereka. Tunjukkan pada mereka kekuatan sejati dari sebuah gema yang lahir dari api."

Ignis menyeringai, sebuah senyum yang liar dan berbahaya. "Dengan senang hati."

Ia berbalik dan melangkah kembali ke dalam gerbang api.

Alaric menatap gerbang itu menutup, senyum tipis terukir di wajahnya yang masih tersembunyi dalam bayangan.

"Mari kita lihat, Resonator," bisiknya pada kegelapan. "Apakah kau bisa menenangkan api yang diciptakan untuk membakar segalanya?"

[VOLUME 2 SELESAI]