Dunia yang Menyusut dan Bisikan di Balik Jendela

Dua minggu telah berlalu sejak kemenangan pahit di Denyut Hitam. Di dalam Republik Argaterra, kelegaan pasca-perang telah digantikan oleh rasa dingin yang menusuk. Bukan hanya dinginnya kekalahan, melainkan dingin yang harfiah. Suhu di dalam Arga Sang Pencipta, yang dulunya stabil dan hangat, kini mulai berfluktuasi drastis, seringkali menurun ke tingkat yang mengkhawatirkan. Pati Energi, sumber kehidupan mereka, semakin langka. Gudang-gudang logistik yang biasanya penuh kini tampak kosong, dan jatah harian dipangkas hingga batas minimal. Wajah-wajah Pulmolites dan ras sekutu lainnya memancarkan kelelahan dan ketakutan yang mendalam.

"Ini seperti Arga menahan napasnya," bisik Joric, tangannya gemetar saat ia memeriksa tabung Pati Energi yang nyaris kosong. Proyek rekonstruksi terhenti, digantikan oleh upaya putus asa untuk mencari sumber energi alternatif di jaringan yang kini mulai layu dan dingin.

Neural, yang cahayanya kini stabil namun dengan aura kebijaksanaan yang mengharukan, menghabiskan sebagian besar waktunya di Arsip Getaran, mencoba menafsirkan getaran Jantung Primordial. Getaran inang yang dulunya kuat dan konstan kini terasa tidak teratur, sporadis, seperti detak jantung yang sekarat. Ia merasakan gelombang rasa sakit yang mendalam dari Arga, sebuah penderitaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap hari, Jantung Primordial memproyeksikan visualisasi yang lebih jelas tentang apa yang akan datang.

"Waktunya terus berjalan," kata Neural kepada Kael dan Dewan Mikro, matanya menatap tajam ke proyeksi jam pasir yang terlihat di udara, butiran pasirnya mengalir tanpa henti. "Arga sedang berjuang. Dan kita... kita berada di dalam Arga yang sedang berjuang melawan kematiannya sendiri."

Di luar alam semesta mikro mereka, di dunia yang sangat berbeda, sebuah realitas brutal terungkap.

Di jantung kota metropolitan yang bising di Jakarta, Indonesia, di sebuah rumah sakit swasta modern, sebuah kehidupan lain sedang berjuang. Di salah satu kamar perawatan intensif, terbaring seorang pasien pria. Wajahnya yang keriput dan kuyu, dengan garis-garis kelelahan yang dalam di sekitar mata, membuatnya tampak jauh lebih tua dari usia paruh bayanya. Tubuhnya lemah, dihubungkan dengan berbagai selang dan monitor yang terus-menerus berbunyi, setiap desibelnya adalah desakan waktu yang semakin menipis. Pria itu adalah Arga, seorang pekerja keras yang selama berminggu-minggu telah melawan diagnosis paling mengerikan: kanker pankreas stadium akhir yang telah menyebar luas.

Di luar kaca, Dokter Anya Wiratama, seorang onkolog muda dengan mata lelah namun penuh dedikasi, menatap grafik tanda vital Arga. Di sampingnya, perawat kepala, Suster Lia, menghela napas panjang.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Suster Lia, suaranya pelan.

Dokter Anya menggelengkan kepalanya pelan, raut kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya. "Kami sudah melakukan semua yang kami bisa, Lia. Kemoterapi terakhir tidak memberikan respons yang berarti. Kankernya terlalu agresif." Ia menunjuk ke monitor yang menampilkan gelombang tak beraturan. "Organnya... semuanya mulai kolaps."

Ia beralih ke tabletnya, menampilkan hasil CT scan terbaru. Lingkaran-lingkaran gelap dan area abnormal terlihat jelas, menutupi sebagian besar organ vital Arga. "Pankreasnya sudah hampir sepenuhnya termakan. Penyebarannya ke hati dan paru-paru sudah masif. Sumsum tulangnya juga menunjukkan tanda-tanda kerusakan parah."

Dokter Anya menghela napas. "Prognosisnya... tidak bagus. Kita bicara hitungan hari. Mungkin satu atau dua minggu jika dia sangat kuat, tapi kondisinya terus menurun cepat." Ia menunjuk ke sebuah kurva pada monitor. "Bahkan fungsi imunnya pun sudah sangat rendah. Tubuhnya tidak lagi mampu melawan."

"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Dok?" tanya Suster Lia, suaranya sarat dengan kesedihan.

Dokter Anya menatap pasien paruh baya di dalam ruangan. "Kita hanya bisa memastikan dia nyaman. Mengurangi rasa sakitnya. Biarkan dia pergi dengan tenang."

Di luar jendela kamar rumah sakit, di balik hiruk pikuk kota metropolitan yang tidak pernah tidur, kehidupan terus berjalan. Namun di dalam tubuh Arga, sebuah peradaban kecil yang tak terlihat sedang berlomba melawan waktu, tak menyadari bahwa "dunia" mereka sendiri sedang dalam hitungan mundur menuju kehampaan abadi. Mereka berada di ambang penemuan yang akan mengubah segalanya, sebuah gerbang menuju perbatasan yang tidak diketahui, terdesak oleh realitas kematian inang mereka.