Resonansi Primordial: Pencarian Kunci di Kedalaman

Di tengah kemerosotan Arga Sang Pencipta yang semakin cepat, waktu bagi Republik Argaterra adalah kemewahan yang tak lagi mereka miliki. Dengan sumber daya yang dialokasikan penuh untuk misi Jantung Primordial, tekanan untuk menemukan kunci gerbang terasa memberatkan setiap individu, terutama Elara dan Neural.

Elara tenggelam dalam lautan data di laboratoriumnya. Proyeksi rumit dari Jantung Primordial memenuhi dinding, menunjukkan pola-pola energi yang bergejolak dan algoritma biologis yang membingungkan. "Ini lebih dari sekadar kunci fisik," gumamnya, Pati Energinya terkuras habis. "Ini seperti sistem pengunci yang merespons pada frekuensi keberadaan Arga itu sendiri. Kita butuh sebuah resonansi." Ia mencoba berbagai simulasi, memadukan Pati Energi, impuls Neuronite, bahkan getaran material organik yang berbeda, tetapi tidak ada yang menghasilkan respons yang cukup kuat dari proyeksi gerbang.

Sementara itu, Neural terus memperdalam koneksinya dengan Batu Dunia dan Jantung Primordial. Getaran dari Jantung Primordial terasa semakin lemah dan terputus-putus, seolah entitas itu sendiri sedang berjuang untuk memancarkan informasi. Namun, di tengah gangguan itu, Neural mulai menangkap fragmen-fragmen visual baru—kilasan-kilasan yang sangat singkat dan samar tentang masa lalu Arga yang paling kuno.

Ia melihat gambar-gambar struktur yang mirip Jantung Primordial jauh sebelum peradaban mikro-humanoid ada. Struktur itu dikelilingi oleh entitas-entitas yang lebih besar, namun berbeda dari manusia, seperti bayangan-bayangan yang menari di dalam Arga. Mereka tampak sedang "menyegel" atau "mengaktifkan" sesuatu. Kemudian, visi itu melompat ke periode setelah "kematian" Arga yang pertama, ketika Batu Dunia memancarkan kembali kehidupan, dan Jantung Primordial kembali aktif secara pasif.

Neural tersentak saat sebuah visi lain menyusup ke benaknya. Itu adalah gambaran sebuah kristal hitam legam, berdenyut dengan cahaya ungu yang samar. Kristal itu tidak terlihat seperti Pati Energi atau materi organik yang mereka kenal. Ia memancarkan frekuensi yang sangat spesifik, sebuah "kunci" getaran yang unik. Visi itu menunjukkan kristal ini disatukan dengan sebuah objek kuno, yang kemudian menghilang ke dalam kedalaman yang tak terjangkau.

"Kael! Elara!" panggil Neural, suaranya bergetar. "Ada sebuah kristal kunci! Sebuah artefak yang sangat kuno. Aku melihatnya... ia memancarkan frekuensi yang bisa beresonansi dengan Jantung Primordial."

Kael segera tiba, tatapannya penuh harapan. "Di mana? Bagaimana kita bisa menemukannya?"

"Itu... di suatu tempat yang sangat dalam," jawab Neural, memejamkan mata, mencoba melacak getarannya. "Jauh melampaui wilayah Sistites yang dulu. Di sebuah area yang sangat padat, seperti lapisan tulang atau mineral inti Arga."

Elara dengan cepat menganalisis data getaran yang dipancarkan Neural. "Pola frekuensi ini... sangat mirip dengan frekuensi tertentu yang kupelajari dari struktur Medullites di sumsum tulang! Mereka adalah penjaga memori kuno, Kael. Mereka tahu lebih banyak tentang sejarah Arga daripada siapa pun."

Kael mengangguk. "Medullites selalu misterius, mengisolasi diri di sumsum tulang. Mereka tidak pernah terlibat dalam perang, hanya mengamati." Ia menoleh pada Lira. "Lira, siapkan tim. Kita akan menuju ke Sumsum Tulang. Titus, kau pimpin ekspedisi ini. Ini akan menjadi jalur yang berbahaya. Getaran Arga yang sekarat bisa memicu keruntuhan di sana."

Lira dengan cepat mengumpulkan unit-unit Pulmolites Pejuang yang paling tangguh dan beberapa Limfonit yang masih setia. Pasukan mereka jauh lebih kecil dari sebelumnya, wajah-wajah mereka tirus karena kelangkaan Pati Energi, tetapi tekad mereka membara. Mereka tahu ini mungkin adalah misi terakhir mereka.

"Sumsum Tulang adalah wilayah yang sangat padat dan labirin," jelas Elara, memproyeksikan peta. "Jalurnya sempit, Pati Energi sangat minim. Dan yang terpenting, kita tidak tahu bagaimana reaksi Medullites. Mereka tidak suka diganggu."

Titus mengangguk. Ia telah memimpin banyak misi berbahaya, tetapi yang satu ini terasa berbeda. Bukan hanya karena musuhnya adalah lingkungan yang runtuh, tetapi karena harapan seluruh peradaban berada di pundak mereka. "Kami akan menemukan kristal itu, Ketua," tegasnya, suaranya mantap.

Saat tim Titus mempersiapkan diri untuk perjalanan berbahaya ke kedalaman, di luar sana, di rumah sakit Jakarta, Dokter Anya menatap monitor dengan tatapan sendu. Detak jantung Arga yang terekam di EKG semakin tidak teratur, garisnya sesekali mendatar untuk sepersekian detik yang mengerikan. Fungsi paru-parunya kini hampir berhenti total, dan pernapasan buatan hanya bisa sedikit menopangnya.

"Kita sudah hampir mencapai batas," bisik Suster Lia, matanya berkaca-kaca.

Dokter Anya hanya bisa menggenggam tangan Arga yang dingin. Waktu bagi mereka di luar, dan bagi peradaban yang berjuang di dalamnya, terus berpacu menuju akhir yang tak terhindarkan. Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah harapan rapuh baru saja muncul, sebuah kristal hitam legam yang bersembunyi di kedalaman tulang, yang mungkin adalah kunci terakhir untuk membuka gerbang menuju Perbatasan Terakhir.