Resonansi Terakhir: Perintah ke Jantung Primordial

Kehancuran Batu Dunia meninggalkan kehampaan yang menganga di dalam diri Neural. Sumber segala asal-usul dan koneksinya yang paling mendalam dengan Arga Sang Pencipta telah tiada, runtuh menjadi debu energi di atas altar Medullites. Rasa sakit fisik dan emosional membanjiri dirinya, namun tak ada waktu untuk berkabung. Di tangannya, Pusaran Abadi bersinar terang dengan cahaya ungu yang stabil, sebuah harapan baru yang lahir dari tragedi.

"Neural! Kau baik-baik saja?" Lira bergegas mendekat, melihat kepedihan di wajah Neural dan sisa-sisa debu energi Batu Dunia.

Neural mengangguk perlahan, suaranya serak. "Batu Dunia... sudah tiada. Ia menyatu kembali dengan Arga, atau mungkin... menghilang. Kita adalah generasi terakhir, Lira. Tidak ada lagi jalan kembali." Ia mengangkat Pusaran Abadi. "Tapi kita punya ini. Kunci. Aku tahu bagaimana mengaktifkan Jantung Primordial."

Titus dan para Pulmolites Pejuang lainnya mengerumuni mereka, kelegaan bercampur ketegangan terpancar dari aura Pati Energi mereka. Medullites tua dan bijaksana itu mengamati dengan tenang. "Sekarang, kembalilah ke Jantung Primordial," katanya. "Waktu Arga semakin menipis. Resonansi Pusaran Abadi harus mencapai Jantung Primordial selagi ia masih memiliki denyut kehidupan."

Perjalanan kembali dari Sumsum Tulang terasa lebih mendesak. Kondisi Arga (manusia) di luar semakin kritis. Dokter Anya dan timnya di rumah sakit Jakarta terus melakukan upaya resusitasi. "Detak jantungnya sangat lemah, Dok!" seru Suster Lia. Alarm monitor berbunyi tiada henti, memenuhi ruangan dengan irama kematian.

Di dalam tubuh Arga, setiap getaran, setiap keruntuhan jaringan, terasa lebih sering dan lebih brutal. Kapsul Neural harus bermanuver lebih agresif, menghindari lubang-lubang yang tiba-tiba terbuka dan reruntuhan Pati Energi yang menimpa jalur. Tim Lira melihat lebih banyak area yang sepenuhnya mati, dan pemukiman kecil yang beku, bukti tak terbantahkan bahwa Arga sedang menuju akhir.

Saat kapsul akhirnya mencapai rongga Jantung Primordial, aura kegelapan dan dingin di sana terasa mencekik. Kubus raksasa itu berdenyut sangat lemah, pola cahaya di permukaannya nyaris tidak terlihat.

"Waktu kita sangat terbatas," bisik Elara melalui komunikasi, suaranya penuh tekanan. Ia telah menunggu dengan cemas di Arsip Getaran, memantau kondisi Arga dari jarak jauh. "Neural, kau harus segera bertindak!"

Neural, meskipun masih merasakan kehampaan dari hilangnya Batu Dunia, menguatkan dirinya. Ia melangkah keluar dari kapsul, memegang erat Pusaran Abadi yang kini memancarkan cahaya ungu yang terang, seolah itu adalah bagian dari dirinya. Di hadapan kubus raksasa Jantung Primordial yang meredup, Neural mengangkat Pusaran Abadi.

Ia memejamkan mata, memfokuskan seluruh Pati Energi yang tersisa dan koneksinya yang baru dengan Pusaran Abadi. Ia memancarkan impuls, bukan lagi sekadar getaran, melainkan sebuah perintah. Perintah yang telah ia pelajari dari visi Pusaran Abadi: sebuah frekuensi resonansi yang sangat spesifik, bahasa kuno yang mengaktifkan gerbang antar-dimensi.

Pusaran Abadi di tangannya berdenyut kencang. Cahaya ungunya membesar, memenuhi seluruh rongga. Dari Pusaran Abadi, gelombang energi merambat keluar, menghantam permukaan Jantung Primordial.

Perlahan, sangat perlahan, kubus raksasa Jantung Primordial mulai bereaksi. Pola cahaya di permukaannya, yang tadinya nyaris padam, kini berdenyut terang dengan intensitas yang belum pernah terlihat. Getaran kuat merambat dari kubus, mengisi rongga, namun getaran ini terasa berbeda—bukan lagi penderitaan, melainkan sebuah proses, sebuah pembukaan.

Dari tengah permukaan kubus, sebuah celah retakan cahaya mulai terbentuk. Retakan itu membesar, memperlihatkan lorong gelap yang melengkung ke dalam. Udara di sekitarnya terasa tertarik masuk, menciptakan pusaran Pati Energi yang kuat.

"Gerbangnya... terbuka!" seru Elara dari kejauhan, suaranya dipenuhi kegembiraan dan kelegaan yang luar biasa.

Namun, kegembiraan itu berumur pendek.

Saat gerbang mulai terbuka, tubuh Arga di luar mengalami kejang yang lebih dahsyat dan mematikan. Di rumah sakit, monitor Arga menunjukkan garis lurus yang panjang. Suara beep panik berubah menjadi nada datar yang tak henti-henti. Dokter Anya dengan cepat mencoba memijat jantung Arga. "Jantungnya berhenti! Lakukan CPR!" perintahnya, suaranya pecah.

Di dalam tubuh Arga, di Argaterra, mereka merasakan kehancuran total. Aliran Pati Energi yang tersisa di seluruh dunia mikro mereka tiba-tiba terputus sepenuhnya. Suhu di Lembah Vena turun drastis hingga membeku dalam hitungan detik. Struktur-struktur yang didirikan di jaringan Arga mulai runtuh secara masif, dinding-dinding organ ambruk, menciptakan gempa bumi yang tak henti-henti. Jeritan keputusasaan dari mikro-humanoid yang tidak berada di dekat gerbang terdengar samar-samar sebelum terputus.

"Arga... dia pergi!" seru Neural, air matanya bercampur Pati Energi yang memudar. Ia merasakan koneksi terakhirnya, denyutan samar yang selalu ada, kini putus sepenuhnya.

"Cepat! Masuk ke dalam gerbang!" teriak Lira. "Arga sudah mati! Gerbang ini mungkin akan menutup lagi kapan saja!"

Tim Titus, yang terlindungi di dalam Kapsul Penjelajah Dalam, bergegas maju. Mereka melihat gerbang yang terbuka, sebuah pusaran cahaya dan kegelapan, di tengah kehancuran total dunia mereka. Tidak ada lagi jalan kembali. Ini adalah satu-satunya kesempatan mereka.

Kapsul Penjelajah Dalam melesat masuk ke dalam gerbang, diikuti oleh puluhan Pulmolites Pejuang dan Limfonit yang berhasil mencapai lokasi tepat waktu. Mereka meluncur ke dalam kegelapan yang tak dikenal, melewati ambang batas eksistensi yang selama ini hanya menjadi mitos. Di belakang mereka, gerbang itu mulai berkedip, seolah akan menutup kembali, saat seluruh tubuh Arga di sekitarnya mulai ambruk. Dunia mereka telah mati. Sekarang, mereka adalah penyintas, melayang di antara dua realitas, di ambang penemuan yang paling tak terduga: Dunia Luar.

Pertarungan Terakhir Kael dan Elara

Di Lembah Vena, tempat jantung Republik Argaterra berdetak, keputusasaan merayap lebih cepat daripada dingin yang membekukan. Kael berdiri di pusat kendali Arsip Getaran, menatap layar yang kini hanya menampilkan kehampaan. Transmisi dari tim Neural terputus total. Jantung Primordial yang tadinya berdenyut lemah, kini diam.

"Gerbangnya terbuka?" bisik Elara, suaranya tipis, matanya terpaku pada monitor yang menunjukkan ambang batas Jantung Primordial yang terbuka sesaat sebelum sinyalnya lenyap. "Apakah mereka berhasil?"

"Aku tidak tahu," jawab Kael, suaranya parau. Ia merasakan seluruh fondasi dunia mereka bergetar hebat. Ini bukan lagi gempa sporadis, melainkan keruntuhan masif. Dinding-dinding jaringan di sekitar mereka mulai retak, Pati Energi yang tersisa di dalam tabung-tabung utama Republik menghilang seperti embun di bawah sinar matahari. Suhu turun drastis, menyebabkan es kecil terbentuk di permukaan, membekukan apa pun yang disentuhnya.

Di luar Arsip Getaran, jeritan keputusasaan terdengar samar. Para Pulmolites dan ras sekutu lainnya yang memilih untuk tinggal atau tidak bisa mencapai Jantung Primordial, kini menghadapi akhir yang tak terhindarkan. Struktur-struktur kota yang dulunya megah, kini ambruk menimpa penduduknya. Aliran Pati Energi yang dulunya sungai kehidupan, kini adalah jurang beku yang tak bernyawa.

"Kita harus mencoba mencapai kapsul cadangan!" seru Elara, menarik lengan Kael. "Mungkin masih ada waktu..."

Kael menggelengkan kepalanya. Ia melihat ke arah terminal yang menampilkan data vital Arga (manusia) yang Neural proyeksikan sebelumnya. Jam pasir itu... telah kosong. Garis lurus panjang di monitor Arga kini memenuhi layarnya.

"Tidak ada lagi waktu, Elara," katanya, matanya terpaku pada kehancuran yang tak terhindarkan. "Arga sudah pergi. Ini adalah akhirnya."

Mereka merasakan kejang terakhir dari tubuh raksasa di sekitar mereka. Sebuah getaran kuat mengguncang seluruh kompleks Arsip Getaran. Dindingnya retak, langit-langit runtuh, puing-puing Pati Energi dan material organik menimpa mereka.

Kael dan Elara saling berpegangan, tatapan mereka bertemu. Di mata Elara, ada kesedihan mendalam, tetapi juga kebanggaan. "Mereka... mereka pasti berhasil, Ketua," bisiknya, sebelum kegelapan menelan mereka.

Di tengah kehancuran total, di tempat yang dulunya adalah jantung peradaban mereka, Republik Argaterra akhirnya jatuh, bersama dengan Sang Pencipta mereka. Hanya ada satu harapan yang tersisa, harapan yang kini melayang di ambang batas Dunia Luar yang asing.