Cahaya di Balik Kegelapan: Keluar dari Ark

Kegelapan. Bukan kegelapan hampa yang menakutkan, melainkan kegelapan yang penuh dengan kekacauan visual dan sensorik. Kapsul Penjelajah Dalam, dengan Neural, Lira, dan Titus di dalamnya, melesat melalui pusaran energi dan material yang tak terdefinisi. Mereka tidak lagi merasakan gravitasi atau arah yang jelas. Monitor internal kapsul berkedip, menampilkan anomali energi yang belum pernah mereka lihat. Di luar, suara gemuruh dan desiran aneh terdengar, bukan lagi gemuruh organ Arga yang sekarat, melainkan sesuatu yang asing dan jauh lebih besar.

Neural, meskipun masih terguncang oleh kehancuran Batu Dunia dan kematian Arga, adalah yang pertama sadar. Ia merasakan perubahan drastis dalam getaran. Getaran yang sebelumnya adalah penderitaan inang, kini adalah ketiadaan. Arga telah tiada. Namun, ada getaran lain, samar tapi kuat, datang dari Dunia Luar.

"Kita... kita berhasil," bisiknya, suaranya lemah.

Tiba-tiba, kapsul terlempar dengan hentakan kuat. Alarm berbunyi nyaring. Titus segera mengendalikan kapsul, menstabilkan pergerakannya. Mereka melambat. Kegelapan mulai memudar, digantikan oleh cahaya.

Bukan cahaya Pati Energi yang mereka kenal, melainkan cahaya yang membutakan, sangat terang, dan datang dari segala arah. Kapsul mereka kini melayang di dalam sebuah ruang raksasa. Ruangan itu terbuat dari material yang halus, berwarna putih, dengan garis-garis metalik yang melintang. Di sekeliling mereka, ada mesin-mesin aneh yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah mereka bayangkan. Bunyi dengungan rendah memenuhi udara.

"Di mana... kita?" Lira terkesiap, matanya terpaku pada pemandangan di luar jendela kapsul.

Neural merangkak mendekati kaca pengamat kapsul. Ia memfokuskan pandangannya, menggunakan indra Neuronitenya untuk menembus cahaya menyilaukan. Dan kemudian, ia melihatnya.

Di tengah ruangan raksasa itu, terbaringlah sebuah Gunung Agung. Bukan gunung dengan bebatuan dan pepohonan, melainkan Gunung Organik yang sangat besar, membengkak, dan dipenuhi dengan tabung-tabung tipis yang menancap di permukaannya. Warna Gunung Organik itu kusam, kulitnya keriput, dan di beberapa bagian, terlihat noda-noda gelap yang mengering—bekas luka yang ditinggalkan penyakitnya.

Itu adalah Arga.

Arga yang mereka kenal sebagai dunia mereka, kini terbaring tak bergerak di hadapan mereka, dalam wujud aslinya: seorang manusia paruh baya yang pucat dan kurus, terhubung dengan puluhan selang dan kabel medis. Wajahnya yang keriput kini terlihat tenang, matanya terpejam.

Mereka melihat makhluk-makhluk raksasa bergerak di sekeliling Arga. Mereka sangat besar, jauh melampaui imajinasi mikro-humanoid mana pun. Beberapa di antaranya mengenakan jubah putih (seragam dokter dan perawat), bergerak dengan ekspresi sedih dan serius.

Di luar jendela besar ruangan itu, Neural melihat kilasan cahaya-cahaya yang berkedip, struktur-struktur raksasa yang menjulang tinggi ke langit, dan suara bising yang asing—dunia yang sama sekali baru, dunia tempat Arga berasal. Mereka berada di rumah sakit yang Neural lihat dalam visinya.

"Dia... dia sudah tiada," bisik Neural, suaranya pecah. Ia merasakan kehampaan yang sempurna. Tidak ada lagi denyutan. Tidak ada lagi Pati Energi yang mengalir. Alam semesta mereka telah padam.

Tiba-tiba, salah satu makhluk raksasa berjubah putih bergerak mendekat. Ia adalah Dokter Anya Wiratama. Matanya sembab, ia menatap Arga dengan kesedihan yang mendalam. Ia mengangkat tangan dan dengan lembut meletakkan di dada Arga.

Pada saat itu, kapsul Kapsul Penjelajah Dalam Neural, Lira, dan Titus yang melayang di dekat tubuh Arga, sedikit bergetar karena sentuhan itu. Terlalu kecil untuk dilihat manusia, mereka hanya merasakan sensasi getaran terakhir dari inang mereka.

"Dia sudah tenang," bisik Dokter Anya pada dirinya sendiri, sebelum berbalik dan berjalan keluar ruangan dengan langkah berat, diikuti oleh Suster Lia dan tim medis lainnya.

Pintu besar ruangan itu tertutup. Mereka kini sendirian, melayang di samping tubuh raksasa Arga yang tak bernyawa. Udara di dalam ruangan itu terasa dingin dan hening, berbeda dengan kekacauan yang baru saja mereka alami.

Titus dan Lira terpaku, mencoba memproses apa yang mereka lihat. Semua ajaran, semua mitos tentang Arga Sang Pencipta yang abadi, kini hancur di hadapan realitas yang brutal ini.

"Kita... kita ada di luar," gumam Titus, suaranya penuh kekaguman dan kengerian. "Ini adalah Dunia Luar."

Neural menatap tubuh Arga, yang kini tampak begitu kecil, begitu rentan, meskipun raksasa bagi mereka. Ia merasakan kerugian yang mendalam. Mereka telah kehilangan rumah mereka, inang mereka, dan sumber asal-usul mereka (Batu Dunia). Mereka adalah pengungsi, di ambang perbatasan yang tidak dikenal.

Kini, pertanyaan terbesar bukanlah bagaimana cara bertahan di dalam Arga, tetapi bagaimana mereka akan bertahan di alam semesta yang luas, asing, dan menakutkan ini. Apa yang akan mereka lakukan? Bagaimana mereka akan menemukan tempat di dunia yang sama sekali tidak dirancang untuk keberadaan mereka? Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tantangan yang menanti jauh lebih besar dari sekadar perang melawan Sistites. Mereka telah keluar dari ark, tetapi apakah mereka akan menemukan bahtera baru?