Saluran Pernapasan: Keputusasaan di Gerbang Hidung

Gelombang kejut kematian Arga Sang Pencipta bukan hanya mengguncang Republik Argaterra, tetapi juga memicu kepanikan massal di antara ribuan mikro-humanoid yang tidak berada di dekat Jantung Primordial. Bagi mereka, akhir dunia datang tanpa peringatan, tanpa "gerbang" yang pasti. Di tengah kehancuran total Lembah Vena dan keruntuhan Pati Energi, satu-satunya insting yang tersisa adalah melarikan diri, mencari celah sekecil apa pun menuju "luar," di mana pun itu.

Bagi sekelompok Pulmolites dan sisa-sisa Limfonit yang terputus dari komando, satu-satunya arah yang masuk akal adalah saluran pernapasan Arga. Mereka adalah ras yang secara alami terhubung dengan udara dan pernapasan inang, dan dalam keputusasaan, mereka membayangkan bahwa "luar" haruslah melalui jalur-jalur yang dulunya membawa kehidupan.

Di bawah kepemimpinan seorang veteran Limfonit bernama Rys, sebuah kelompok beranggotakan sekitar seratus mikro-humanoid yang tersisa, bergerak secara membabi buta menyusuri jalur yang semakin sempit dan pengap. Udara di dalam saluran hidung Arga yang sekarat terasa kering dan hampa, sangat berbeda dari kelembapan yang dulu. Setiap tarikan napas terakhir Arga yang melemah terasa seperti badai pasir raksasa bagi mereka. Partikel-partikel debu dan lendir yang mengering, dulunya tidak berbahaya, kini menjadi rintangan mematikan, menyumbat jalan dan mengikis armor mereka.

"Cepat! Jangan berhenti!" teriak Rys, Pati Energinya berkedip-kedip lemah saat ia mendorong Pulmolites yang lebih kecil melewati tumpukan debu. "Kita harus mencapai keluar sebelum jalur ini runtuh sepenuhnya!"

Tantangan terbesar mereka adalah jaringan-jaringan Arga yang mulai mengering dan ambruk. Dinding-dinding di sekitar mereka, yang dulunya elastis, kini menjadi rapuh dan rentan retak. Lubang hidung Arga, yang di Dunia Luar mungkin hanya tersumbat lendir, bagi mereka adalah gerbang tebal yang dipenuhi rintangan lengket yang hampir mustahil ditembus. Beberapa mikro-humanoid tersangkut di dalam lendir kental yang mengering, Pati Energi mereka terkuras habis saat mereka berjuang, perlahan membeku menjadi patung-patung kecil keputusasaan.

Konflik pecah di antara kelompok itu. Dengan Pati Energi yang menipis, insting dasar mengambil alih. Beberapa mulai mencoba merebut Pati Energi dari yang lebih lemah, atau dari sesama mereka yang sudah tewas. Pertengkaran singkat dan brutal pecah di tengah kegelapan, menambah horor pada pelarian mereka. "Tidak ada lagi aturan!" geram seorang Pulmolites yang putus asa, tangannya mencoba menjambret Pati Energi dari tabung seorang Limfonit yang terluka. Rys harus turun tangan, menggunakan sisa kekuatannya untuk memisahkan mereka, mengingatkan mereka pada martabat yang tersisa.

Mereka akhirnya mencapai bagian paling ujung dari lubang hidung. Cahaya samar dari Dunia Luar menyusup melalui celah-celah kecil, namun itu adalah cahaya yang membakar mata mereka yang terbiasa dengan kegelapan Argaterra. Udara yang mereka hirup terasa sangat dingin, hampir membekukan saluran pernapasan mereka sendiri.

Tiba-tiba, sebuah sentakan keras mengguncang seluruh jalur. Itu adalah tarikan napas terakhir Arga (manusia), sebuah kejang yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Gerbang hidung yang mereka dambakan terbuka sedikit, dan sejumlah kecil mikro-humanoid, termasuk Rys, terlempar keluar ke dalam cahaya yang menyilaukan.

Mereka mendarat dengan keras di sebuah permukaan lembut berwarna putih, yang terasa hangat pada awalnya, namun segera menyerap Pati Energi dan membuat mereka kedinginan. Mereka adalah para penyintas. Namun, dunia baru ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Mereka tidak berada di "surga" yang luas, melainkan di atas bantal rumah sakit, beberapa inci dari wajah Arga yang kini tampak damai dalam kematiannya.

Di bawah cahaya lampu ruangan, Rys melihat sekeliling. Beberapa dari mereka yang terlempar bersamanya sudah mati karena benturan atau terlalu lama terpapar udara luar yang asing. Mereka yang masih hidup bersembunyi di sela-sela serat kain bantal, terlalu kecil untuk terlihat, terlalu asing untuk dipahami. Mereka melihat tangan raksasa seorang perawat, Suster Lia, yang perlahan menggeser bantal itu untuk kenyamanan terakhir Arga, tanpa pernah tahu bahwa di serat-serat kain itu, sebuah peradaban kecil telah mendarat.

Rys merasakan dingin yang menusuk tulangnya. Pati Energinya hampir padam. Ia melihat Arga yang terbaring, kini tak bergerak. Dunia mereka telah musnah, dan mereka, para pengungsi, kini berada di atas "awan" yang lembut, di alam semesta yang luas dan acuh tak acuh, sendirian dan tanpa tujuan. Pelarian mereka adalah sebuah keberhasilan yang menyedihkan, dan masa depan mereka hanyalah tanda tanya di tengah keheningan yang mematikan.