Dilema Survival: Kelaparan di Lautan Raksasa

Keberhasilan mereka mencapai Dunia Luar dengan selamat hanya membuka babak baru dalam penderitaan. Jika di dalam Arga mereka berjuang melawan penyakit inang, kini mereka menghadapi ancaman paling dasar: kelaparan Pati Energi. Kapsul Penjelajah Dalam, yang telah melindungi mereka dari kehancuran, kini menjadi jebakan perlahan. Cadangan Pati Energi di dalamnya menipis dengan cepat, lampunya meredup, dan sistem pendukung kehidupan mulai berdengung lemah.

Di dalam kapsul, suasana tegang terasa begitu pekat. Neural terbaring lemah, cahayanya berkedip-kedip. Ia terus-menerus mencoba merasakan getaran di lingkungan sekitar, mencari sumber Pati Energi yang familier, namun sia-sia. Hanya ada energi asing yang tidak dapat mereka proses. Lira membagikan Pati Energi terakhir dari ransum darurat mereka, tetes demi tetes, berusaha memperpanjang hidup para Pulmolites Pejuang dan Limfonit yang tersisa.

"Kita tidak akan bertahan lebih dari beberapa siklus lagi," kata Titus, suaranya serak. Ia menunjuk ke layar monitor yang menunjukkan tingkat Pati Energi yang kritis. "Kapsul ini akan mati. Kita harus mencari sumber Pati Energi, atau... atau kita semua akan padam."

Dilema besar membayangi mereka. Di Argaterra, Pati Energi adalah esensi kehidupan, dihasilkan dari metabolisme Arga. Di sini, tidak ada lagi proses itu. Mereka adalah entitas biologis yang dirancang untuk satu lingkungan, terdampar di lingkungan yang sama sekali berbeda.

"Aku bisa merasakan getaran energi yang kuat dari kabel-kabel hitam itu," kata Neural dengan susah payah, menunjuk ke kabel listrik di dinding kamar. "Tapi bagaimana kita bisa mengaksesnya? Energi itu terlalu besar, terlalu mentah. Itu bisa menghancurkan kita jika kita sentuh secara langsung."

Lira mendekat, menatap wajah kawan-kawannya yang tirus. "Kita tidak bisa kembali. Kael... Elara... mereka mengorbankan segalanya agar kita bisa keluar." Beban kepemimpinan yang tiba-tiba jatuh ke pundaknya terasa berat. "Kita harus menemukan jalan. Tapi bagaimana?"

Pertanyaan "Apakah kita mencari inang baru?" mulai terucap samar-samar. Beberapa Pulmolites Pejuang yang paling putus asa menyuarakannya.

"Inang baru?" Titus menatap mereka. "Bagaimana kita bisa menemukan inang yang cocok? Dan bagaimana kita bisa masuk ke dalamnya tanpa membahayakan diri kita atau inang itu?" Ia memandang Arga, yang terbaring kaku. "Kita baru saja keluar dari sana. Apa jaminan inang berikutnya tidak akan sekarat seperti Arga?"

"Kita tidak tahu apa-apa tentang Dunia Luar ini," tambah Lira. "Jika kita masuk ke inang yang salah, kita mungkin hanya akan menghadapi takdir yang sama, atau lebih buruk."

Mengenang yang Hilang dan Beban Kepemimpinan

Malam (bagi dunia manusia) tiba, membawa kegelapan yang lebih pekat dan dingin. Mereka meringkuk di dalam kapsul yang semakin dingin, masing-masing dengan pikiran dan ketakutan sendiri. Titus memandang ke luar, ke tubuh Arga yang kini tampak seperti reruntuhan raksasa. Ia teringat Kael, pemimpin yang berkarisma dan tidak pernah menyerah. Ia teringat Elara, otaknya Republik, yang selalu punya solusi. Kini, semua beban itu ada di pundaknya, dan di pundak Lira serta Neural.

"Mereka pasti berhasil," bisik Lira, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan yang lain. "Mereka pasti ada di suatu tempat di Dunia Luar ini, berjuang seperti kita." Namun, di dalam hatinya, ia tahu kemungkinan itu sangat kecil. Jeritan terakhir yang mereka dengar, getaran kehancuran total, dan kehampaan yang terasa dari Argaterra... itu adalah akhir bagi sebagian besar dari mereka.

Neural, yang merasakan emosi kolektif mereka, mengangkat tangannya yang lemah dan menyentuh layar kapsul. Sebuah proyeksi samar muncul: gambaran-gambaran singkat dari kehidupan di dalam Arga. Wajah Kael, senyum Elara, kebisingan Lembah Vena. Lalu, gambaran-gambaran itu berubah menjadi kehampaan dan reruntuhan.

"Mereka... tidak ada," kata Neural, suaranya penuh kesedihan yang mendalam. "Aku tidak merasakan jejak Pati Energi mereka. Mereka adalah bagian dari Arga. Dan Arga sudah tiada." Ia merasakan kesedihan yang jauh lebih mendalam daripada yang lain, karena dialah yang telah menjadi jembatan antara mereka dan Arga, dan sekarang jembatan itu telah putus. "Kita... kita adalah yang terakhir."

Pengakuan itu menghantam mereka dengan keras. Mereka bukan lagi pasukan penyelamat. Mereka adalah sisa-sisa terakhir dari sebuah peradaban yang punah, terdampar di tepi alam semesta yang asing. Tangisan tertahan terdengar dari beberapa Pulmolites Pejuang.

Mencari Solusi: Adaptasi atau Kepunahan

Titus menatap mereka semua, Pati Energinya berkedip-kedip, namun tekad di matanya tidak padam. "Kalau begitu, kita harus berjuang untuk mereka. Untuk semua yang telah hilang. Kita tidak akan padam di sini."

Ia memandang ke arah Neural. "Neural, kamu yang paling terhubung dengan energi. Bisakah kamu menemukan cara untuk mengubah energi yang ada di Dunia Luar ini menjadi sesuatu yang bisa kita gunakan? Menjadi Pati Energi, atau sesuatu yang mirip?"

Neural memejamkan matanya lagi, memfokuskan sisa kekuatannya pada kabel-kabel hitam itu, pada getaran lampu di langit-langit, pada panas yang samar dari mesin-mesin raksasa. Ia adalah Neuronite terakhir, dan beban kelangsungan hidup ras mereka ada di pundaknya.

Ini adalah pertempuran baru. Bukan lagi melawan Sistites, bukan melawan inang yang sekarat, tetapi melawan kelaparan dan ketidakmampuan beradaptasi. Mereka adalah benih terakhir dari Argaterra, melayang di lautan raksasa yang tidak mengenal belas kasihan. Mereka harus berinovasi, atau menghadapi kepunahan kedua, kali ini di dunia yang jauh lebih besar dan acuh tak acuh.