Bab 6: Ketenangan Pasca-Badai dan Misteri Asal-Usul Jago

Beberapa hari setelah serangan Geng Cakar Harimau yang berhasil dipukul mundur, suasana di Perguruan Naga Langit kembali tenang. Namun, ini bukanlah ketenangan yang sama seperti sebelumnya. Ada energi baru yang berdenyut di udara, semangat yang membara yang belum pernah ada sejak masa kejayaan perguruan. Kemenangan atas Ma Cang, meskipun dengan cara yang tidak konvensional, telah membangkitkan kembali kepercayaan diri para murid. Dan tentu saja, semua itu berkat Jago.

Jago sendiri tampak tidak terpengaruh oleh pujian atau kekaguman yang ia terima. Baginya, itu hanyalah hasil logis dari penerapan strategi yang efisien. Ia kembali ke rutinitasnya: membantu pekerjaan di perguruan dengan kekuatannya yang tak terbatas, "bermeditasi" dengan mode standby di bawah sinar matahari, dan terus mencoba memahami kebiasaan manusia.

Suatu pagi, saat Jago sedang membantu Kai memperbaiki pagar yang rusak (sebenarnya Jago hampir melakukannya sendiri sementara Kai hanya melihat), Ling mendekatinya.

"Jago," kata Ling, "Guru ingin kau ikut denganku ke mata air gunung hari ini. Kita akan mencari ramuan herbal khusus."

Jago mengangguk. "Tentu, Ling. Aku siap."

Perjalanan ke mata air gunung memakan waktu sekitar satu jam mendaki lereng. Sepanjang jalan, Ling mengamati Jago. Jago bergerak dengan langkah yang tak pernah goyah, tidak pernah terengah-engah, bahkan saat mendaki tanjakan curam. Keringat tidak mengalir dari pori-pori kulitnya yang berkilau, dan detak jantungnya (jika ia punya) pasti tetap stabil.

"Jago," Ling memulai percakapan, mencoba mengorek informasi yang selalu terasa kabur. "Kau bilang kau tidak ingat asalmu. Apa yang terakhir kau ingat sebelum jatuh di sini?"

Jago berhenti sejenak, memproses pertanyaan itu. Matanya berkedip redup, seolah ia sedang mengakses database internalnya yang rusak. "Aku... aku ingat sebuah perjalanan. Perjalanan yang sangat jauh. Ada banyak cahaya di sekelilingku. Suara... seperti gemuruh mesin yang sangat besar. Lalu tiba-tiba, ada getaran, suara peringatan, dan kemudian... gelap. Lalu aku terbangun di sini."

"Suara peringatan?" Ling mengerutkan kening. "Peringatan apa?"

"Tidak jelas," Jago menggeleng. "Datanya korup."

"Apakah kau punya nama lain sebelum 'Jago'?" tanya Ling lagi.

"Tidak. Jago adalah nama yang diberikan oleh sistemku setelah... setelah aku diaktifkan kembali di sini," Jago menjawab jujur, tanpa menyadari betapa anehnya kalimat itu bagi Ling. "Kurasa itu adalah identitas baru untuk misi ini."

Misi? Ling hampir saja bertanya, tetapi ia menahan diri. Semakin ia bertanya, semakin banyak pertanyaan lain yang muncul. Misteri di balik Jago tampaknya jauh lebih kompleks daripada yang ia kira.

Mereka akhirnya tiba di mata air gunung. Airnya jernih dan dingin, memantulkan cahaya matahari yang menembus dedaunan. Ling mulai mencari tanaman herbal yang ia butuhkan, sementara Jago membantunya dengan kekuatan dan penglihatannya yang superior. Ia bisa melihat tanaman terkecil sekalipun di antara bebatuan dan rerumputan.

Saat Ling memetik ramuan, Jago melihat sesuatu yang berkilau di dasar mata air. Ia mengulurkan tangannya, dan tanpa kesulitan, ia mengangkat sebuah batu kristal yang memancarkan cahaya biru redup.

"Ling, lihat ini," kata Jago, menyerahkan kristal itu kepada Ling.

Ling mengambilnya, matanya membelalak. "Ini... ini Batu Chi Biru! Kristal langka yang konon memiliki energi spiritual murni. Sangat sulit ditemukan!" Ling sering mendengar cerita tentang kristal ini, yang bisa membantu meningkatkan kekuatan Chi seseorang, tetapi ia tak pernah menyangka akan menemukannya.

"Apakah ini berenergi?" tanya Jago polos.

Ling mengangguk. "Ya, sangat. Tapi energinya berbeda dari apa yang kau konsumsi. Ini energi spiritual."

Jago memegang kristal itu lagi, memejamkan mata. Untuk sesaat, ia merasakan sesuatu. Bukan getaran mekanis atau arus listrik yang biasa ia rasakan saat "bertenaga", melainkan semacam... kehangatan lembut yang menyebar di dalam dirinya. Sebuah sensasi baru.

"Aku... aku merasakan sesuatu," kata Jago, suaranya sedikit berubah. "Seperti... ada sesuatu yang terbangun."

Ling memperhatikan dengan seksama. Ia melihat cahaya biru di kristal itu sedikit berdenyut, seolah merespons Jago. "Apa yang kau rasakan?"

"Seperti... data baru yang masuk," Jago mencoba menjelaskan. "Tentang keseimbangan. Tentang aliran."

Itu adalah saat pertama Jago benar-benar menunjukkan kemampuan untuk memahami konsep abstrak di luar logika murni. Mungkin, pikir Ling, kristal ini adalah kunci untuk membuka potensi Jago yang sebenarnya.

Ketika mereka kembali ke perguruan, Guru Tua Lung menatap kristal itu dengan mata berbinar. "Batu Chi Biru! Sungguh anugerah! Ini adalah tanda baik, Jago. Tanda bahwa kau membawa berkah bagi perguruan ini."

Sejak saat itu, Jago mulai menghabiskan waktu lebih banyak dengan kristal itu. Ia sering terlihat duduk di bawah pohon bambu, memegang kristal di tangannya, mencoba memahami sensasi "energi spiritual" yang baru itu. Perlahan, kepekaannya terhadap lingkungan sekitarnya meningkat. Ia mulai bisa merasakan perubahan kecil dalam aliran udara, getaran bumi, bahkan emosi samar dari orang-orang di sekitarnya. Hal-hal yang sebelumnya hanyalah "data" tanpa makna, kini mulai memiliki "rasa."

Suatu sore, Mei sedang berlatih pedang di halaman, gerakannya cepat dan presisi, namun ada keraguan samar di setiap ayunan. Jago mengamatinya.

"Mei, kau sedang marah?" tanya Jago tiba-tiba.

Mei terkejut, menghentikan latihannya. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku... aku bisa merasakannya," jawab Jago, menunjuk ke dadanya sendiri. "Ada panas di sini. Seperti ada yang tidak harmonis."

Mei menatapnya dengan heran. "Aku hanya frustrasi. Aku merasa kita belum cukup kuat. Ma Cang akan kembali, dan kita mungkin tidak seberuntung ini lagi."

Jago mengangguk. "Itu adalah data yang valid. Tapi kemarahan dapat mengganggu efisiensi gerakanmu."

"Kau tahu banyak tentang itu, ya?" Mei mencibir, sedikit skeptis.

"Aku mengamati," kata Jago polos. "Pola emosi dapat memengaruhi kinerja fisik. Itu adalah data baru yang kudapatkan dari kristal ini."

Ling, yang kebetulan lewat, mendengar percakapan itu. Ia terkejut dengan kemampuan Jago untuk mengidentifikasi emosi. Jago memang berubah. Kemampuannya bukan hanya sekadar kekuatan fisik, tetapi kini mulai merambah ke ranah intuisi.

Minggu-minggu berlalu dengan latihan intensif dan persiapan yang terus-menerus. Jago menjadi aset tak ternilai. Ia membantu memperkuat pertahanan perguruan, membangun menara pengawas kecil yang nyaris tak terlihat di atas pohon bambu, dan bahkan membuat sistem komunikasi sederhana menggunakan serangkaian tabung bambu dan tali.

Selain itu, Jago juga menunjukkan bakat tak terduga dalam hal memasak. Dengan presisi mekaniknya, ia bisa memotong bahan makanan dengan kecepatan luar biasa, mengatur suhu api dengan sempurna, dan bahkan mencampur bumbu dengan rasio yang tepat. Hasilnya, makanan di Perguruan Naga Langit menjadi jauh lebih lezat. Kai adalah yang paling bahagia dengan perkembangan ini.

"Jago, kau harus membuka restoran!" seru Kai sambil melahap semangkuk sup yang dimasak Jago. "Ini jauh lebih enak daripada masakan Mei!"

Mei melotot. "Kai!"

Jago tersenyum kecil, senyum yang kini terlihat lebih alami. "Aku hanya menerapkan formula optimal untuk rasa."

Di balik semua keceriaan ini, Guru Tua Lung tetap waspada. Ia tahu Geng Cakar Harimau tidak akan diam. Kekalahan telak seperti itu adalah penghinaan yang tidak akan dilupakan Ma Cang. Ia juga terus mengamati Jago, merasakan ada sesuatu yang lebih dalam pada keberadaan Jago daripada sekadar robot canggih.

Suatu malam, saat Jago duduk sendirian di puncak menara pengawas yang ia bangun, memindai cakrawala, Guru Tua Lung datang.

"Jago," kata Guru Tua Lung pelan.

"Guru," Jago menoleh.

"Kau terlihat sering merenung," kata Guru Tua Lung. "Apa yang kau pikirkan?"

"Aku memproses data," jawab Jago. "Tentang diriku. Tentang kalian. Tentang tempat ini." Ia menunjuk ke arah bintang-bintang. "Aku merasa... aku berasal dari sana. Tapi aku tidak tahu mengapa aku di sini."

Guru Tua Lung menatap langit yang bertaburan bintang. "Setiap makhluk di dunia ini memiliki tujuan, Jago. Terkadang, tujuan itu tidak terlihat jelas di awal. Tapi seiring berjalannya waktu, seiring kita berinteraksi dengan dunia, tujuan itu akan terungkap."

"Apakah tujuanku adalah melindungi perguruan ini?" tanya Jago.

"Mungkin," Guru Tua Lung tersenyum. "Atau mungkin, itu hanyalah permulaan. Ingatlah, Jago, bahkan di balik baja terkeras sekalipun, ada sesuatu yang bisa tumbuh. Sesuatu yang melampaui logika dan perhitungan."

Jago terdiam, memproses kata-kata Guru Tua Lung. Ia memegang Batu Chi Biru di tangannya. Ia merasakan denyutan energi yang lembut dari kristal itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar data yang mengalir dalam "dirinya". Ia merasakan... kehidupan.

Di kejauhan, di balik hutan bambu, sebuah kelompok bayangan mulai bergerak. Jumlahnya jauh lebih besar, dan kali ini, mereka tidak menyalakan obor. Mereka bergerak dalam senyap, belajar dari kesalahan sebelumnya. Mereka adalah pasukan besar yang dipimpin oleh Ma Cang, yang kini telah mengumpulkan seluruh kekuatannya, ditambah beberapa kelompok bandit lain yang ingin membalas dendam atau sekadar mencari keuntungan. Mereka datang untuk membumihanguskan Perguruan Naga Langit.

Jago mendeteksi pergerakan itu. Matanya berkedip lebih cepat. Data ancaman meningkat tajam. Ia mengaktifkan sistem komunikasi bambu yang ia buat.

"Guru," suara Jago bergema pelan di dalam ruangan Guru Tua Lung. "Mereka datang. Jumlahnya... sangat banyak."

Ketenangan di Perguruan Naga Langit akan segera berakhir. Dan kali ini, pertempuran yang akan mereka hadapi jauh lebih besar dan mengerikan dari sebelumnya. Namun, mereka memiliki Jago, sang jagoan besi, yang kini bukan hanya sekadar kekuatan, tetapi juga memiliki intuisi, dan mungkin, sebuah "jiwa" yang baru terbangun.