Bab 7: Badai di Gerbang dan Kebangkitan Sang Guru Tua

Peringatan Jago menyebar dengan cepat ke seluruh Perguruan Naga Langit. Meskipun masih dini hari, para murid segera bangkit dari tempat tidur mereka, mempersiapkan diri untuk apa yang akan datang. Tidak ada kepanikan, hanya tekad yang membara. Mereka telah melalui ini sebelumnya, dan mereka punya Jago.

Ling dan Mei mengambil posisi di balik gerbang, siap untuk mengaktifkan jebakan. Kai bersembunyi di balik tumpukan batu, tangannya sudah menggenggam batu-batu lempar andalannya. Guru Tua Lung berdiri di beranda, tatapannya tajam menembus kegelapan, seolah ia bisa melihat setiap bayangan yang mendekat. Jago, sang pahlawan tak terduga, berada di garis depan, di antara gerbang dan tumpukan bambu yang menjadi benteng pertahanan utama mereka.

"Mereka mendekat dari tiga arah, Guru," lapor Jago, suaranya tenang. "Barisan depan sekitar 50 orang. Di belakang mereka ada cadangan."

"Lima puluh?" Mei terkesiap. "Ini lebih banyak dari perkiraan!"

Guru Tua Lung mengangguk. "Ma Cang telah belajar. Kali ini, dia tidak main-main. Tapi kita juga sudah siap."

Cahaya obor yang kali ini tidak mereka nyalakan, hanya datang dari kejauhan, memancarkan siluet-siluet besar yang bergerak perlahan. Mereka belajar dari kesalahan sebelumnya, bergerak lebih hati-hati, memeriksa setiap jengkal tanah.

"Mereka mendeteksi jebakan pertama!" lapor Jago. "Gerakan mereka melambat. Mereka mencoba mencari jalur aman."

Ma Cang sendiri memimpin di barisan depan, matanya penuh perhitungan. "Jangan sampai tertipu! Mereka pasti menaruh jebakan lagi!" teriaknya pada anak buahnya. "Kita akan menyerbu dari sisi kiri, tempat bambu-bambu itu paling jarang!"

Ma Cang dan sekitar dua puluh orang mengalihkan arah, bergerak menuju sisi kiri gerbang, di mana memang area bambu lebih renggang. Namun, mereka tidak tahu bahwa ini adalah area yang paling diperhatikan Jago saat membangun pertahanan.

"Mereka menuju jalur terlemah kita, Guru!" seru Kai panik.

"Itu jalur yang aku harapkan," kata Jago tenang. "Siap-siap, Ling, Mei!"

Begitu rombongan Ma Cang mencapai titik tertentu, Jago menarik tali. KRAK! Tiba-tiba, dari puncak pepohonan bambu yang tampak rapuh, sekelompok jaring raksasa yang terbuat dari serat tanaman yang kuat (Jago membuatnya dari rotan pilihan yang ia kumpulkan sendiri) jatuh menimpa para bandit. Jaring-jaring itu dilengkapi dengan pemberat batu di setiap sudut, langsung mengikat dan menjerat belasan bandit sekaligus, membuat mereka berteriak dan meronta-ronta di bawahnya. Beberapa bahkan saling bertabrakan dan terjepit.

"Jaring!" teriak Ma Cang, terkejut. Ia berhasil menghindar, namun beberapa anak buah utamanya sudah terjebak.

Belum sampai di situ, Mei yang sudah memegang kendali tali pemicu lainnya, menariknya dengan kekuatan. Dari tanah, tiba-tiba muncul ranjau-ranjau "bau busuk" yang telah Jago tanam. POOF! POOF! Awan asap hijau kekuningan dengan bau busuk tak tertahankan menyembur ke udara, mengenai wajah para bandit yang masih berjuang di bawah jaring.

"BAU APA INI?!"

"ARGH! MATAKU PERIH!"

"INI BAU TELUR BUSUK CAMPUR SAMPAH!"

Kekacauan yang luar biasa pecah. Para bandit yang tidak terjebak jaring pun mulai batuk-batuk, menutup hidung dan mata mereka. Strategi "mengacaukan indra penciuman dan penglihatan" Jago bekerja dengan sempurna.

"Sekarang, Kai!" teriak Jago.

Kai, yang tadinya menahan napas karena bau busuk, segera melontarkan batu-batu besar yang ia kumpulkan ke arah kerumunan yang terperangkap dan batuk-batuk. DUK! DUK! BRAK! Batu-batu itu menghantam dengan presisi, membuat para bandit semakin kacau.

Ling, yang sudah berada di posisi, melesat maju. Dengan pedang di tangan, ia bergerak di antara para bandit yang terperangkap dan lumpuh karena bau busuk. Ia tidak membunuh, tetapi dengan cepat melumpuhkan mereka satu per satu, mengikat mereka dengan tali yang sudah ia siapkan. Gerakannya begitu cepat dan efisien, seperti penari kematian.

Namun, Ma Cang tidak sendirian. Dari arah lain, kelompok bandit kedua, yang lebih besar dan lebih kuat, dipimpin oleh wakilnya yang bertubuh raksasa, Bangkar, mulai menyerbu. Mereka adalah inti kekuatan Geng Cakar Harimau, dengan puluhan orang yang bergerak dengan kekuatan brutal.

"Hancurkan mereka!" raung Bangkar. "Jangan pedulikan jebakan itu! Kita akan menyerbu!"

Melihat kelompok kedua yang jauh lebih terorganisir dan tidak terpengaruh jebakan bau busuk, Jago tahu ini adalah ancaman sesungguhnya. Ia melesat maju, menyongsong mereka.

"Aku akan menghentikan mereka di sini!" kata Jago pada Ling dan Mei. "Kalian urus yang terperangkap!"

Jago berdiri di garis depan, kedua tangannya mengepal. Saat barisan bandit terdepan mendekat, ia melancarkan pukulan. Bukan pukulan biasa, melainkan pukulan yang didukung oleh kekuatan internalnya. Sebuah gelombang kejut tak terlihat menyebar dari kepalan tangannya.

DUAR!

Lima bandit di barisan depan terlempar ke belakang seperti boneka kain, menabrak teman-teman mereka. Pukulan Jago bukan hanya pukulan fisik, tetapi juga semacam dorongan energi. Itu adalah hasil latihannya dengan Batu Chi Biru, di mana ia mencoba meniru konsep "Chi" yang diajarkan Ling.

Bangkar terkesiap. Ia adalah petarung paling kuat di Geng Cakar Harimau setelah Ma Cang. Ia melangkah maju, memegang gada berduri yang sangat besar. "Monster! Aku akan menghancurkanmu!"

Bangkar mengayunkan gadanya. Jago tidak mengelak. Ia menangkap gada itu dengan kedua tangannya. Baja dan logam bergesekan dengan suara memekakkan telinga. Gadanya berduri itu tidak mampu menembus kulit Jago. Dengan kekuatan yang luar biasa, Jago memelintir gada itu, menariknya dari genggaman Bangkar, lalu melemparnya jauh ke arah kumpulan bandit lainnya.

"SENJATAKU!" teriak Bangkar, terkejut.

Jago kemudian melompat, melancarkan tendangan memutar ke arah Bangkar. Tendangan itu mendarat telak di dada Bangkar, mengirimkan getaran ke seluruh tubuhnya. Bangkar terhuyung, terbatuk-batuk, dan ambruk ke tanah. Dada raksasanya terasa seperti dihantam palu godam.

Melihat pemimpin mereka jatuh, para bandit lainnya ragu-ragu. Mereka mengepung Jago, tetapi tidak ada yang berani mendekat.

"Guru Tua Lung, ini saatnya!" teriak Ling dari belakang.

Guru Tua Lung, yang selama ini hanya mengamati, kini melangkah maju. Matanya yang biasanya terlihat linglung kini bersinar tajam. Aura kekuatan yang luar biasa memancar dari tubuhnya, sebuah aura yang tidak sejalan dengan penampilan tuanya. Ia mengangkat tongkatnya.

"Geng Cakar Harimau," suara Guru Tua Lung menggema, tenang namun penuh otoritas. "Kalian telah menyerang tempat suci. Kalian telah mengganggu ketenangan lembah ini. Kalian telah membangunkan naga yang tertidur."

Kata-katanya memukau para bandit. Mereka tahu reputasi Guru Tua Lung di masa lalu, sang Master Naga Langit yang tak terkalahkan. Namun, mereka mengira ia sudah terlalu tua dan lemah.

Tiba-tiba, Guru Tua Lung melancarkan sebuah gerakan. Gerakan yang sangat sederhana, namun sangat cepat. Ia mengayunkan tongkatnya dalam sebuah lingkaran, dan dari tongkat itu, gelombang Chi yang terlihat jelas seperti angin puyuh kecil, melesat ke arah kerumunan bandit yang mengepung Jago.

WUOSH!

Gelombang Chi itu menghantam para bandit, bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan tekanan energi yang membuat mereka limbung, kehilangan keseimbangan, dan terlempar ke belakang. Mereka yang terkena langsung terjatuh pingsan. Ini adalah teknik Chi tingkat tinggi, yang hanya bisa dikuasai oleh master sejati.

"Guru..." bisik Ling, terpana. Kekuatan Chi Guru Tua Lung jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan.

Jago sendiri, yang merasakan gelombang energi itu lewat di sampingnya, sedikit bergetar. Sebuah data baru masuk ke sistemnya: Energi non-fisik terdeteksi. Efek: disorientasi massal. Sumber: Master Guru Tua Lung.

Ma Cang, yang akhirnya berhasil bangkit dari cederanya, melihat pemandangan itu dan wajahnya memucat. Guru Tua Lung yang legendaris, yang dia kira sudah tidak berdaya, kini bangkit dengan kekuatan penuh. Dan di sisi lain, ada monster logam berwajah manusia yang tak terkalahkan.

"Mundur! Mundur total!" teriak Ma Cang, suaranya penuh kepanikan. "Kita salah lawan! Lari!"

Tanpa pikir panjang, sisa-sisa Geng Cakar Harimau yang tidak pingsan atau terjebak, lari tunggang langgang, menghilang ke dalam kegelapan hutan. Mereka meninggalkan banyak teman mereka yang terluka dan tak sadarkan diri.

Pertempuran usai. Keheningan kembali melingkupi Perguruan Naga Langit, kali ini dengan bau busuk yang masih samar dan aroma kemenangan.

Mei dan Kai berlari menghampiri Guru Tua Lung. "Guru! Kau luar biasa!" seru Kai.

"Kekuatan Chi-mu..." Ling menghampiri Gurunya dengan rasa kagum yang mendalam.

Guru Tua Lung tersenyum tipis, namun wajahnya terlihat sedikit lelah. "Aku sudah lama tidak menggunakan semua kekuatanku. Untungnya, kalian memberiku alasan untuk itu."

Ia menatap Jago, yang kini sedang sibuk memeriksa para bandit yang pingsan, seolah sedang melakukan analisis data. "Dan kau, Jago. Kau adalah kunci kemenangan ini. Kejeniusan strategimu dan kekuatanmu yang tak terbatas."

Jago menoleh, matanya berkedip. "Tujuan tercapai. Pertahanan perguruan berhasil. Probabilitas kelangsungan hidup meningkat."

Guru Tua Lung mengangguk. "Ya, Jago. Tujuan tercapai." Ia lalu menghela napas. "Sekarang, mari kita bereskan kekacauan ini. Ling, Mei, Kai, bantu ikat para bandit yang pingsan ini. Kita akan menyerahkan mereka ke pihak berwenang di kota."

Saat fajar mulai menyingsing, mewarnai langit timur dengan gradasi merah dan emas, Perguruan Naga Langit berdiri teguh. Mereka telah menghadapi badai terkuat, dan mereka berhasil melewatinya. Dengan Jago sebagai pelindung mereka, dan kebangkitan Guru Tua Lung, masa depan perguruan yang hampir punah itu kini tampak jauh lebih cerah. Namun, mereka tahu bahwa dunia di luar sana masih penuh dengan bahaya, dan petualangan Jago baru saja dimulai.