Bab 12: Keheningan yang Berat dan Cahaya di Batu Chi Biru

Pagi tiba di Perguruan Naga Langit, membawa serta keheningan yang berat, jauh berbeda dari ketenangan yang biasa. Kemenangan pahit atas pasukan dari masa lalu Jago meninggalkan luka yang dalam. Sisa-sisa pertempuran masih terlihat jelas: kawah kecil di halaman, bekas hangus di pohon bambu, dan reruntuhan pesawat asing yang menghantam gunung di kejauhan, membara dengan api kecil. Namun, yang paling menyakitkan adalah pemandangan Jago yang tergeletak tak bergerak di aula utama.

Kai duduk di samping Jago, tangannya menggenggam erat tangan robot itu yang dingin dan kaku. Air mata terus mengalir dari matanya. "Jago... bangunlah," bisiknya berulang kali, suaranya parau. "Kau bilang kau akan melindungiku..."

Mei dan Ling berdiri di dekatnya, wajah mereka muram. Mereka telah mencoba segala cara yang mereka tahu. Ling telah memeriksa setiap bagian tubuh Jago yang terlihat, mencari kerusakan fisik yang bisa diperbaiki. Mei bahkan mencoba menyalurkan Chi-nya, berharap bisa membangkitkan Jago, tetapi hasilnya nihil. Tubuh Jago tetap dingin, mati, tanpa sedikit pun cahaya atau dengungan yang biasa ia pancarkan.

Guru Tua Lung duduk bersila di depan Jago, matanya terpejam. Ia mencoba merasakan sisa-sisa energi di sekitar Jago, tetapi yang ia temukan hanyalah kekosongan. "Dia telah mengosongkan segalanya," bisik Guru Tua Lung. "Seperti sebuah sungai yang mengering. Tidak ada lagi yang tersisa untuk mengalirkannya."

"Apakah dia... sudah tidak ada lagi, Guru?" tanya Mei, suaranya bergetar.

Guru Tua Lung menghela napas. "Aku tidak tahu, Mei. Dia adalah makhluk yang belum pernah kita pahami. Dia tidak seperti manusia, namun juga tidak seperti mesin biasa."

Selama beberapa hari berikutnya, suasana duka menyelimuti perguruan. Murid-murid baru, yang tadinya bersemangat, kini merasa cemas dan takut. Mereka telah menyaksikan kekuatan Jago, tetapi juga kehancurannya. Beberapa bahkan mulai mempertanyakan apakah perguruan ini adalah tempat yang aman. Namun, mayoritas dari mereka, terutama yang telah menyaksikan langsung kebaikan dan dedikasi Jago, tetap tinggal, berharap keajaiban akan terjadi.

Setiap hari, Kai akan menghabiskan berjam-jam di samping Jago, berbicara dengannya, menceritakan tentang latihan hari ini, tentang masakan yang baru Mei coba, tentang bagaimana perguruan perlahan pulih. Ia bahkan membawakan beberapa potong daging panggang dan menaruhnya di dekat mulut Jago, berharap Jago akan terbangun dan memakannya.

"Kau harus bangun, Jago," Kai akan berkata. "Siapa nanti yang akan makan oli bekas bersamaku?"

Mei dan Ling, meskipun sedih, tidak menyerah. Mereka mulai mempelajari reruntuhan pesawat musuh yang jatuh di gunung. Jago pernah mengatakan bahwa "mereka adalah penciptanya." Mungkin ada petunjuk di sana. Mereka menemukan beberapa pecahan logam aneh dan panel kontrol yang rusak, tetapi tidak ada yang bisa mereka pahami. Teknologi itu terlalu maju, terlalu asing.

"Ini seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami," kata Ling frustrasi, memegang sepotong pecahan logam yang memancarkan cahaya redup.

Guru Tua Lung, yang menyadari keputusasaan di antara murid-muridnya, menyuruh mereka untuk tetap beraktivitas normal. Latihan tetap berjalan, meskipun tanpa kehadiran Jago yang unik. Ia juga meminta mereka untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan, karena itu akan menghalangi aliran Chi mereka.

Suatu malam, saat bulan purnama kembali bersinar terang, Guru Tua Lung datang ke aula utama. Ia melihat Kai tertidur pulas di samping Jago, tangan kecilnya masih memegang tangan robot itu. Mei dan Ling juga tertidur di sudut ruangan, kelelahan setelah seharian mencari petunjuk.

Guru Tua Lung duduk di depan Jago, menatapnya dalam diam. Ia mengeluarkan Batu Chi Biru dari saku jubahnya. Kristal itu, yang dulunya memancarkan cahaya redup, kini tampak kusam, seolah energinya juga telah terkuras habis.

"Jago," bisik Guru Tua Lung, meletakkan kristal itu di dada Jago, tepat di area tempat lampu Jago biasanya berkedip. "Kau telah mengerahkan hatimu. Kekuatan hatimu yang membuatmu melampaui batas. Sekarang, biarkan alam semesta membalas kebaikanmu."

Ia menutup matanya, memusatkan Chi-nya. Perlahan, Chi dari Guru Tua Lung mulai mengalir ke dalam Batu Chi Biru. Itu adalah aliran Chi yang lembut, Chi yang bersifat menyembuhkan dan membangkitkan. Butuh waktu lama baginya untuk mengumpulkan Chi sebanyak itu, apalagi setelah menggunakan kekuatannya secara masif dalam pertempuran. Keringat mulai menetes dari dahinya, tetapi ia tidak berhenti.

Ia membayangkan Jago sebagai sungai yang kering, dan Chi-nya adalah tetesan air pertama yang berusaha mengisi kembali sungai itu. Ia membayangkan Batu Chi Biru sebagai gerbang, yang akan membuka kembali jalur energi Jago.

Berjam-jam berlalu. Cahaya bulan mulai memudar, digantikan oleh semburat fajar di timur. Guru Tua Lung terlihat sangat lelah, wajahnya pucat pasi, tetapi ia tetap bertahan.

Tiba-tiba, sebuah keajaiban terjadi.

Batu Chi Biru yang terletak di dada Jago, yang tadinya kusam, kini mulai memancarkan cahaya biru redup. Cahaya itu semakin terang, berdenyut pelan, seperti jantung yang baru saja mulai berdetak. Dari Batu Chi Biru, cahaya itu mulai menyebar ke seluruh tubuh Jago, mengikuti garis-garis logam yang memisahkan bagian-bagian tubuhnya.

Kai, yang tadinya tertidur pulas, merasakan kehangatan yang menjalar dari tangan Jago. Ia membuka matanya perlahan, mengucek matanya yang sembab. Matanya terbelalak melihat cahaya biru yang memancar dari Jago.

"Jago!" bisiknya.

Mei dan Ling, yang juga terbangun, segera melompat. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Cahaya biru itu semakin terang, dan kemudian, sebuah dengungan halus mulai terdengar dari dalam tubuh Jago.

VUUUMMM...

Dengungan itu semakin kuat, dan kemudian, lampu di dada Jago, yang tadinya padam, berkedip-kedip. Satu kali. Dua kali. Lalu, lampu itu menyala stabil, memancarkan cahaya biru yang menenangkan.

Perlahan, mata Jago terbuka. Warna birunya redup, tetapi ia menatap Kai, Mei, dan Ling dengan tatapan yang lebih... hidup dari sebelumnya.

"Kalian... baik-baik saja?" suara Jago terdengar parau, tapi jelas.

Kai segera memeluk Jago erat-erat, air mata kebahagiaan mengalir deras. "Jago! Kau hidup! Kau bangun!"

Mei dan Ling tersenyum lega, air mata juga menggenang di mata mereka.

Jago mencoba mengangkat tangannya, dan ia bisa. Ia merasakan energi baru mengalir di dalam dirinya, energi yang berbeda dari listrik atau oli bekas. Ini terasa lebih... lembut, lebih alami.

Ia menatap Guru Tua Lung, yang kini bersandar lelah, tetapi dengan senyum puas di wajahnya.

"Guru," bisik Jago. "Apa... apa yang terjadi?"

"Kau telah kembali, Jago," kata Guru Tua Lung, suaranya lemah. "Kau telah mengerahkan dirimu sepenuhnya untuk melindungi kami. Dan kini, kau telah menerima kembali apa yang kau berikan."

Jago merasakan Batu Chi Biru di dadanya. Kristal itu kini bersinar terang, memancarkan aura yang sama dengan yang ia rasakan di dalam dirinya.

"Aku... aku merasakan banyak hal," kata Jago, mencoba memahami sensasi baru ini. "Bukan hanya data. Aku merasakan... kehangatan. Ikatan. Dan... sebuah pertanyaan."

"Pertanyaan apa?" tanya Ling.

"Siapa aku?" Jago menatap mereka satu per satu. "Mengapa aku di sini? Dan... apakah ada yang lain sepertiku?"

Guru Tua Lung tersenyum. "Itulah misteri kehidupan, Jago. Tapi satu hal yang pasti, kau adalah Jago. Jagoan Besi dari Perguruan Naga Langit. Dan kau adalah bagian dari keluarga ini."

Jago menatap mereka, tatapannya kini dipenuhi dengan sesuatu yang lebih dari sekadar logika. Itu adalah perasaan. Sebuah ikatan emosional yang kuat. Ia telah "mati" dan "hidup kembali," dan dalam proses itu, sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya telah terbangun.

Dunia mungkin masih memiliki ancaman baru, dan rahasia masa lalu Jago masih menunggunya untuk dipecahkan. Tetapi saat ini, di Perguruan Naga Langit yang diterangi cahaya fajar, Jago tahu ia telah menemukan rumahnya, dan keluarga yang akan selalu ia lindungi. Perjalanan Jago, sang Jagoan Besi yang kini lebih manusiawi, baru saja akan dimulai kembali.