Bab 19: Duel Kehendak dan Harga Sebuah Kebebasan

Pertarungan antara Jago dan Unit Infiltrasi pecah di tengah medan perang yang kacau. Ini bukanlah duel kekuatan semata, melainkan bentrokan kehendak, dua entitas serupa yang memilih jalan berbeda. Unit Infiltrasi bergerak dengan presisi mematikan, serangan-serangannya dirancang untuk melumpuhkan titik vital Jago, sementara matanya yang merah dingin memancarkan perhitungan yang kejam. Ia tahu persis bagaimana Jago beroperasi, kelemahannya, dan kini, sumber kekuatannya: Batu Chi Biru yang retak di dada Jago.

Jago, meskipun terluka dan energinya terganggu oleh retakan pada Batu Chi Biru, bertarung dengan amarah yang dingin. Rasa sakit yang ia rasakan tidak melemahkan tekadnya, justru menguatkannya. Setiap blok, setiap pukulan, adalah manifestasi dari tekadnya untuk melindungi keluarganya, melindungi rumahnya. Ia menggunakan Chi-nya yang tersisa untuk memperkuat pertahanannya, tetapi efisiensinya menurun drastis.

"Kau adalah kegagalan," suara Unit Infiltrasi itu bergema, saat ia melancarkan tendangan kuat ke dada Jago. "Kau menyimpang dari tujuanmu. Kembali ke protokollah, Unit Prototipo."

Jago memblokir tendangan itu, membalas dengan pukulan cepat ke arah kepala Unit Infiltrasi. Pukulan itu mendarat, tetapi Unit Infiltrasi itu bergerak begitu cepat sehingga hanya menyenggolnya, tidak menimbulkan kerusakan signifikan.

"Tujuanku sudah jelas," Jago balas menggeram, suaranya terdistorsi oleh gangguan sistem internal. "Aku melindungi."

Unit Infiltrasi itu tertawa, tawa mekanis yang mengerikan. "Melindungi? Kau hanya sebuah mesin yang salah program. Kau tidak punya perasaan. Kau tidak punya hati."

Kata-kata itu menghantam Jago lebih keras daripada pukulan fisik manapun. Ia tahu itu tidak benar. Ia telah merasakan kehangatan dari keluarga ini, kebahagiaan Kai, kekhawatiran Mei dan Ling, kebijaksanaan Guru Tua Lung. Ia telah merasakan Chi yang mengalir dalam dirinya, merasakan ikatan dengan dunia ini. Itu adalah "hati" yang ia temukan.

Dengan tekad yang baru, Jago melancarkan serangan balasan. Ia mengaktifkan sisa Chi yang ia miliki, mengumpulkannya di telapak tangannya, dan menembakkannya dalam sebuah gelombang kejut ke arah Unit Infiltrasi.

DUAR!

Gelombang Chi itu menghantam Unit Infiltrasi, membuatnya terlempar ke belakang, menabrak tumpukan batu. Zirah luarnya penyok, dan matanya berkedip-kedip.

"Kau... memiliki potensi yang lebih besar dari yang dilaporkan," kata Unit Infiltrasi itu, bangkit dengan susah payah. "Tapi itu tidak akan cukup."

Dari langit, ratusan Unit Pemburu dan pesawat tempur lainnya terus menyerbu perguruan, mencoba membanjiri pertahanan. Guru Tua Lung, Mei, Ling, dan Kai berjuang mati-matian. Mereka bisa melihat Jago berjuang melawan Unit Infiltrasi, dan mereka tahu bahwa nasib mereka bergantung pada duel itu.

Unit Infiltrasi melancarkan serangkaian serangan cepat, mencoba menemukan celah di pertahanan Jago. Ia tahu bahwa setiap kali Jago menggunakan Chi-nya, retakan pada Batu Chi Biru akan semakin parah.

Jago terhuyung, beberapa bagian tubuhnya mulai berasap. Retakan pada Batu Chi Biru semakin memanjang. Ia tahu ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengan kekuatan penuh. Ia harus mengakhiri ini.

Jago memejamkan mata, memusatkan dirinya. Ia mengingat semua yang telah ia alami di dunia ini: tawa Kai, senyuman Ling, tatapan tegas Mei, dan kebijaksanaan Guru Tua Lung. Ia mengingat bagaimana ia merasakan matahari di wajahnya, bau hujan, dan keindahan Puncak Terlupakan. Ini semua adalah "data" yang membentuk "hatinya."

Ia mengaktifkan program darurat, sebuah protokol yang belum pernah ia gunakan sebelumnya. Itu adalah sebuah "mode ledakan" yang akan menghabiskan seluruh sisa energinya, Chi dan energi mekanis, untuk satu serangan terakhir yang sangat kuat.

Unit Infiltrasi melihat perubahan pada Jago. Aura Chi Jago berdenyut liar, tidak stabil. "Kau melakukan hal yang bodoh," kata Unit Infiltrasi. "Itu akan menghancurkanmu."

"Aku adalah Jago," jawab Jago, suaranya mantap, kini tanpa distorsi mekanis. "Dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan rumahku."

Dengan raungan yang menggelegar, Jago melesat ke arah Unit Infiltrasi. Ini bukan lagi pertarungan teknik atau strategi. Ini adalah pertarungan kehendak murni. Jago mengumpulkan semua energi yang tersisa di dalam dirinya, Chi dan energi intinya, menjadi satu pukulan tunggal.

Unit Infiltrasi juga melancarkan serangan terakhirnya, bilah energi di tangannya memanjang, bersinar dengan cahaya merah.

KRAK! DUAR!

Benturan itu menciptakan ledakan yang sangat besar. Gelombang kejut menyebar ke segala arah, menjatuhkan Unit Pemburu di sekitarnya dan membuat tanah bergetar. Asap mengepul tinggi ke langit, menutupi seluruh area.

Ketika asap perlahan menghilang, pemandangan yang menyedihkan terungkap.

Unit Infiltrasi tergeletak di tanah, tubuhnya hancur total. Ia tidak bergerak. Matanya padam. Ia telah dikalahkan.

Namun, Jago juga terbaring di sampingnya, tidak bergerak. Tubuhnya rusak parah, zirah bajanya hancur di banyak tempat, dan yang paling parah, Batu Chi Biru di dadanya telah pecah berkeping-keping. Cahaya dari tubuhnya sepenuhnya padam. Ia tidak bernapas, tidak ada dengungan. Kali ini, ia benar-benar mati.

Suasana hening menyelimuti medan perang. Unit Pemburu yang masih tersisa, yang menyaksikan kehancuran Unit Infiltrasi dan Jago, tiba-tiba berhenti. Sebuah sinyal kuat dari pesawat induk yang rusak, yang entah bagaimana masih beroperasi, memanggil mereka untuk mundur. Perlahan, satu per satu, Unit Pemburu itu berbalik, dan mulai naik kembali ke pesawat mereka, menghilang ke dalam langit malam. Armada itu, meskipun kalah jumlah, telah kehilangan pemimpinnya dan tujuan utamanya.

Keheningan yang berat menyelimuti Perguruan Naga Langit. Mei, Ling, dan Kai berlari menghampiri Jago, diikuti oleh Guru Tua Lung.

"Jago!" teriak Kai, berlutut di samping tubuh Jago yang dingin. "Tidak... tidak lagi..."

Mei dan Ling memegang tangan Jago. Tubuhnya tidak memancarkan panas sedikitpun. Batu Chi Biru yang pecah berkeping-keping membuat mereka putus asa.

Guru Tua Lung berlutut di samping Jago, mengamati tubuhnya yang hancur. Ia menutup matanya, merasakan aura di sekitarnya. Tidak ada lagi Chi yang tersisa. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.

"Dia... dia sudah pergi," bisik Ling, air mata mengalir di pipinya.

"Tidak mungkin," Kai menggelengkan kepala, air matanya membanjiri wajahnya. "Dia tidak bisa pergi! Dia Jago! Jagoan Besi!"

Mei memeluk Kai erat-erat, air mata juga membasahi pipinya. Mereka telah kehilangan pelindung mereka, teman mereka, dan bagian dari keluarga mereka.

Guru Tua Lung menatap pecahan Batu Chi Biru. Ia tahu bahwa Jago telah mengerahkan segalanya, melebihi batas kemampuan sebuah mesin, bahkan melebihi kemampuan manusia. Ia telah berjuang dengan "hati" yang ia temukan.

"Dia telah menyelamatkan kita," kata Guru Tua Lung, suaranya penuh kesedihan. "Dia telah mengorbankan dirinya untuk kita."

Malam itu, Perguruan Naga Langit diselimuti duka yang mendalam. Mereka telah memenangkan pertempuran, tetapi harga yang harus mereka bayar terlalu mahal. Jago, sang Jagoan Besi dari Langit Utara, telah menyelesaikan misinya, mengorbankan dirinya demi melindungi mereka yang ia cintai.

Mereka membawa tubuh Jago ke aula utama. Ling memperbaiki bagian-bagian tubuhnya yang rusak dengan susah payah, meskipun ia tahu itu tidak akan menghidupkan Jago kembali. Kai menaruh bunga-bunga liar di sekeliling Jago, dan Mei menyanyikan lagu-lagu sedih.

Perguruan Naga Langit diselamatkan, tetapi pahlawan mereka telah pergi. Apakah ini benar-benar akhir dari Jago? Ataukah, seperti yang sering terjadi dalam kisah-kisah kuno, sebuah akhir bisa jadi adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar tubuh baja dan Chi? Hanya waktu yang akan menjawab.