Bab 28: Wajah Baru, Harapan Baru, dan Cahaya di Tengah Kegelapan

Meskipun Jago telah menyelamatkan desa Lyra dari serangan goblin, kehadirannya yang luar biasa sebagai entitas baja raksasa masih menimbulkan ketakutan di hati beberapa penduduk desa. Mata Jago yang memancarkan cahaya biru dan tubuhnya yang kaku dan mekanis, meskipun telah membawa keselamatan, terlalu asing bagi mereka yang terbiasa hidup dalam ketakutan akan monster dan sihir gelap. Beberapa warga desa masih meringkuk setiap kali Jago mendekat, bisikan ketakutan terdengar di antara mereka.

Jago mendeteksi pola ini. "Tingkat penerimaan masyarakat: Tidak optimal. Pemicu: Penampilan non-biologis. Solusi: Adaptasi visual."

Jago memutuskan untuk mengubah penampilannya. Dengan memori dan pengetahuannya tentang teknologi dari dimensi asalnya, serta penguasaannya terhadap manipulasi materi halus dari wujud Chi-nya, ia mulai memproses silikon dan material organik yang ia temukan di sekitar desa. Dalam waktu singkat, dengan presisi yang luar biasa, Jago berhasil membentuk sebuah lapisan wajah dan kulit yang mirip dengan manusia, sangat realistis dan tampan, menutupi wajah mekanisnya. Ia mempertahankan mata birunya yang khas, tetapi kini lebih lembut, dan rambut hitam legam yang membuatnya tampak seperti seorang pemuda gagah.

Saat Jago muncul dengan penampilan barunya, penduduk desa terkesiap. Ketakutan di mata mereka perlahan digantikan oleh rasa takjub. "Dia... dia seperti manusia!" seru seorang wanita tua.

Lyra adalah yang pertama berlari menghampiri Jago. "Jago! Kau tampan sekali!" serunya riang, menyentuh pipi Jago yang kini terasa hangat dan lembut.

Dengan penampilan yang lebih ramah ini, tembok ketakutan di antara Jago dan penduduk desa perlahan runtuh. Mereka mulai mendekatinya tanpa ragu, berbicara dengannya, dan meminta bantuannya.

Jago segera mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan desa. Ia membantu para warga dengan berbagai pekerjaan, dari mengangkat balok kayu besar untuk membangun kembali rumah yang rusak, memindahkan batu-batu berat, hingga memperbaiki atap yang bocor. Kekuatannya yang tak terbatas dan presisi mekanisnya membuat setiap pekerjaan selesai dengan cepat dan sempurna. Desa yang tadinya terlihat hancur, kini mulai bangkit kembali dengan kecepatan yang mengejutkan.

Dalam prosesnya, Jago mendeteksi bahwa Lyra, meskipun masih kecil, ternyata sudah hidup sendirian sejak lama. Ia tidur di gubuk kecil yang bobrok, tanpa pengawasan orang dewasa. Jago, yang telah mengambil Lyra sebagai murid pertamanya, merasa bertanggung jawab atas keselamatannya.

"Lyra," kata Jago suatu malam, saat ia memperbaiki atap gubuk Lyra. "Anda tidak memiliki keluarga di desa ini?"

Lyra menunduk. "Tidak. Aku tinggal sendiri sejak lama." Ia kemudian menceritakan kisahnya dengan suara pelan. Orang tuanya adalah pedagang sukses dari kota yang jauh, selalu membawa barang-barang mewah dan pulang dengan banyak uang. Suatu ketika, saat mereka melakukan perjalanan melalui hutan terpencil, mereka dikejar oleh sekelompok mahkluk buas yang lapar. Dalam kepanikan, orang tuanya memutuskan sesuatu yang mengerikan. Mereka meninggalkan Lyra sebagai umpan, berharap makhluk buas itu akan fokus pada dirinya sehingga mereka bisa melarikan diri.

"Aku bersembunyi di balik semak-semak, dan melihat mereka pergi," bisik Lyra, air mata menggenang di matanya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka, tapi aku tahu mereka tidak akan kembali. Aku terus berlari, sampai akhirnya sampai di desa ini. Mereka kasihan padaku, tapi tidak ada yang mau mengasuhku."

Jago memproses informasi itu. Ia merasakan gelombang data yang kompleks: "Pengkhianatan orang tua. Trauma masa lalu. Kebutuhan akan stabilitas emosional dan fisik." Ia tidak memiliki emosi dalam arti manusia, tetapi ia merasakan kebutuhan untuk melindungi dan merawat makhluk yang rapuh ini.

"Mulai sekarang," kata Jago, suaranya mantap, "Anda tidak akan sendirian. Saya akan tinggal bersama Anda."

Lyra menatap Jago, matanya berbinar. Ia memeluk Jago erat-erat. Pelukan itu, meskipun pada tubuh yang terbuat dari silikon dan baja, terasa sangat hangat bagi Lyra.

Beberapa hari kemudian, masalah kekurangan makanan kembali melanda desa. Sumber daya lokal terbatas, dan serangan goblin telah merusak ladang mereka.

"Kita harus berburu," kata kepala desa. "Tapi hutan berbahaya, dan sapi liar sangat sulit ditangkap."

Jago mengangguk. "Saya akan berburu."

Penduduk desa yang lain ragu. Jago mungkin kuat, tapi berburu sapi liar adalah pekerjaan yang berbahaya bahkan untuk pemburu berpengalaman. Namun, Jago bersikeras. Ia memasuki hutan, memindai jejak kaki dan aroma. Dengan kecepatannya yang luar biasa dan sensornya yang canggih, Jago berhasil menemukan kawanan sapi liar yang sangat besar. Ia mengamati pergerakan mereka, menunggu waktu yang tepat. Dengan satu lompatan kuat, Jago melompat ke arah sapi jantan terbesar dan terkuat. Sapi itu mengamuk, mencoba menyerang, tetapi Jago menahannya dengan kekuatan yang tak tertandingi. Dalam waktu singkat, Jago berhasil melumpuhkan sapi liar itu tanpa harus menggunakan kekuatan destruktif yang berlebihan.

Jago kembali ke desa, membawa sapi liar yang sangat besar itu di pundaknya. Para warga terkesiap melihat hasil buruan Jago. Mereka belum pernah melihat sapi liar sebesar itu. Namun, kegembiraan mereka segera mereda.

"Daging sapi liar itu keras sekali," keluh seorang pemburu. "Kita harus merebusnya berhari-hari agar bisa dimakan."

Jago memproses keluhan itu. "Optimalisasi tekstur daging: Diperlukan."

Ia kemudian mengambil alih proses memasak. Dengan presisi mekanis dan pengetahuannya tentang termodinamika dan kimia makanan, Jago mulai memotong daging sapi liar itu menjadi irisan tipis. Ia kemudian membangun tungku khusus, memanaskan batu-batu tertentu hingga suhu yang tepat, dan menggunakan teknik memasak yang belum pernah dilihat penduduk desa. Ia mengunci kelembapan, memecah serat-serat daging dengan panas yang terkontrol. Hasilnya adalah daging panggang yang empuk, beraroma harum, dan sangat menggugah selera.

Aroma daging panggang menyebar ke seluruh desa, membuat perut semua orang keroncongan. Jago meletakkan potongan-potongan daging di atas meja yang terbuat dari papan kayu.

Para warga, meskipun lapar, ragu untuk memakannya. Mereka masih tidak percaya bahwa daging sapi liar yang terkenal keras itu bisa menjadi selembut ini. Mereka saling pandang, tidak ada yang berani menjadi yang pertama.

Namun, Lyra, yang telah menyaksikan keajaiban Jago berkali-kali, tidak ragu sama sekali. Dengan mata berbinar, ia meraih sepotong daging dan menggigitnya. Matanya membelalak. "Wah! Ini enak sekali!" serunya, mulutnya penuh. Ia segera meraih sepotong lagi.

Melihat Lyra yang menikmati makanan itu tanpa ragu, satu per satu penduduk desa mulai mendekat. Mereka mengambil sepotong daging, mencicipinya, dan ekspresi terkejut muncul di wajah mereka. Daging itu memang sangat lembut, gurih, dan lezat. Keraguan mereka hilang, digantikan oleh antusiasme yang luar biasa.

"Enak sekali!"

"Ini luar biasa!"

Kericuhan mulai terjadi. Perang merebut makanan pun dimulai. Semua orang berebut potongan daging, siapa yang cepat dia dapat. Jago hanya bisa mengamati dengan ekspresi netral, sementara wajah manusianya menunjukkan sedikit senyum. "Kepuasan konsumen: Sangat tinggi. Metode memasak: Efisien."

Setelah insiden daging sapi liar itu, kepercayaan dan rasa hormat penduduk desa terhadap Jago tumbuh berlipat ganda. Jago kemudian mengusulkan sebuah proyek ambisius: membangun tembok benteng yang kokoh mengelilingi desa.

"Ada gunung batu tidak jauh dari sini," Jago menjelaskan, menunjukkan lokasi di peta yang ia buat di tanah. "Kita bisa memotong batu itu, dan menyusunnya menjadi benteng yang kokoh. Akan melindungi kita dari serangan apa pun."

Para warga setuju dengan antusias. Dengan kekuatan dan presisi Jago, proyek itu berjalan dengan sangat cepat. Jago memotong balok-balok batu besar dari gunung dengan tangannya, menyusunnya dengan sempurna, tanpa celah sedikit pun. Dalam hitungan minggu, sebuah tembok benteng yang menjulang tinggi, kokoh dan mengesankan, telah berdiri mengelilingi desa. Rasa aman menyelimuti desa yang dulunya rentan.

Selain itu, Jago juga mulai membangun kincir air di sungai terdekat untuk pengaliran air yang lebih baik ke desa, dan yang mengejutkan semua orang, ia juga membangun sebuah pembangkit listrik sederhana. Dengan pengetahuannya tentang energi dan listrik, Jago berhasil menyalurkan energi ke rumah-rumah, dan memasang lampu-lampu di seluruh desa.

Pada malam hari yang gelap, desa itu kini terang benderang. Lampu-lampu bersinar di setiap rumah dan di sepanjang jalan, menghilangkan kegelapan yang selalu menghantui mereka. Penduduk desa terkesima, tidak bisa berhenti menatap cahaya yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Jago mencoba menjelaskan kepada mereka tentang listrik, tentang bagaimana kincir air menghasilkan energi, dan bagaimana kawat-kawat itu menghantarkan cahaya. Namun, bagi para warga desa yang hidup di dunia yang dikuasai sihir gelap, konsep listrik dan teknologi adalah sesuatu yang asing.

"Ini sihir, bukan?" kata seorang tetua desa, matanya berbinar. "Sihir Jagoan Besi!"

"Kau telah menyalakan bintang-bintang di desa kami dengan sihirmu!" seru yang lain.

Jago hanya bisa menggelengkan kepalanya yang berwajah tampan, senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini bukan sihir. Ini... ilmu pengetahuan." Namun, ia tahu, di dunia ini, bagi mereka yang hanya mengenal kegelapan dan sihir, apa yang ia lakukan memang tampak seperti keajaiban. Ia adalah harapan yang datang dalam bentuk yang tak terduga, membawa cahaya ke dunia yang putus asa. Misi Jago untuk menyebarkan Harmoni di dimensi baru ini telah dimulai dengan langkah-langkah kecil namun berarti.