Sepuluh tahun kemudian...**
Pagi itu, pasar kota Cheongsan ramai seperti biasanya. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, ibu-ibu rumah tangga tawar-menawar dengan gestur dramatis, dan anak-anak berlarian di antara kaki orang dewasa sambil tertawa riang.
Di tengah keramaian itu, seorang pria muda berjalan perlahan dengan tas kulit besar di punggung dan kotak kayu di tangan kirinya. Penampilannya sederhana—hanbok berwarna coklat muda yang sudah agak kusam, rambut hitam yang diikat ke belakang dengan simpul sederhana, dan wajah yang tampak lelah namun ramah.
"Dokter Hyo! Dokter Hyo!"
Seorang anak perempuan kecil berlari mendekatinya dengan nafas tersengal. Pipinya memerah dan matanya berkaca-kaca.
"Ada apa, Minji-ya?" pria muda itu—**Hyo Seon**—berlutut hingga sejajar dengan tinggi anak itu, suaranya lembut dan penuh perhatian.
"Halmeoni sakit lagi! Batuknya tambah parah dan dia tidak mau makan," kata anak itu sambil mengelap ingus dengan punggung tangan.
Hyo tersenyum hangat dan mengelus kepala Minji. "Baiklah, ayo kita lihat halmeoni-mu."
Mereka berjalan melewati pasar menuju rumah sederhana di ujung desa. Sepanjang jalan, beberapa orang menyapa Hyo dengan hormat—ada yang membungkuk, ada yang sekadar mengangguk, tapi semuanya dengan ekspresi berterima kasih.
"Dokter Hyo, terima kasih obat kemarin sangat manjur."
"Anak saya demamnya sudah turun berkat ramuan dokter."
"Kapan dokter lewat desa kami lagi?"
Hyo membalas semua sapaan dengan senyum ramah, sesekali berhenti untuk memeriksa kondisi pasien yang sudah sembuh. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum lembut itu, tersembunyi sepasang mata kelam yang menyimpan kenangan berdarah dan haus akan balas dendam.
---
Rumah nenek Minji adalah rumah kayu kecil dengan atap genteng yang sudah mulai bocor di sana-sini. Hyo masuk dengan hati-hati, membungkuk karena kusennya yang rendah.
"Halmeoni, Dokter Hyo sudah datang," panggil Minji sambil berlari ke kamar dalam.
Seorang nenek berusia sekitar tujuh puluhan terbaring di atas tikar jerami. Wajahnya pucat dan napasnya terdengar berat. Ketika melihat Hyo masuk, dia berusaha duduk.
"Aigoo, Dokter-nim, jangan repot-repot. Nenek ini sudah tua, sakit-sakitan adalah hal biasa."
"Halmeoni jangan bergerak dulu," Hyo meletakkan kotak kayunya dan duduk bersila di samping tikar. "Biarkan saya periksa dulu."
Tangannya yang tampak halus dan putih mulai meraba nadi di pergelangan tangan nenek. Mata Hyo terpejam, konsentrasi penuh. Dalam keheningan, hanya terdengar suara napas berat nenek dan desau angin di luar.
Yang tidak diketahui siapa pun adalah bahwa saat ini Hyo tidak hanya memeriksa nadi biasa. Teknik "Blood Reading" yang dipelajarinya dari manual rahasia Blood Moon Guild memungkinkannya "membaca" kondisi internal tubuh seseorang melalui aliran darah dan qi.
*Paru-paru kiri ada penyumbatan... qi liver tidak lancar... sepertinya ada racun yang menumpuk,* analisisnya dalam hati.
Setelah beberapa menit, dia membuka mata dan tersenyum meyakinkan. "Halmeoni terkena racun perlahan dari air sumur yang tercemar. Tapi Jangan khawatir, ini tidak berbahaya jika diobati sekarang."
"Racun?" Minji terlihat panik. "Tapi kami selalu minum air dari sumur yang sama dengan tetangga lain."
Hyo mengeluarkan beberapa botol kecil dari kotaknya. "Sumur kalian mungkin tercemar setelah hujan deras minggu lalu. Saya sudah melihat kasus serupa di tiga desa sebelah."
Dia mencampur ramuan dengan gerakan yang terlatih—sedikit akar ginseng kering, bubuk kulit kayu willow, dan beberapa herba lain yang tidak dikenal oleh orang awam. Namun jika ada master pengobatan tradisional yang melihat, mereka akan tercengang oleh keahlian Hyo yang setara dengan dokter berpengalaman puluhan tahun.
"Minum ini tiga kali sehari setelah makan. Dalam tiga hari, halmeoni pasti sudah sehat kembali."
Nenek menerima mangkuk ramuan dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Dokter-nim. Tapi kami tidak punya uang untuk membayar..."
"Halmeoni tidak perlu bayar apa-apa," Hyo menggeleng dengan senyum tulus. "Yang penting halmeoni cepat sembuh dan bisa bermain lagi dengan Minji."
Mata nenek berkaca-kaca. "Dokter Hyo benar-benar malaikat yang dikirim surga untuk kami rakyat kecil."
Hyo terdiam sejenak. *Malaikat?* pikirnya dalam hati dengan ironi yang pahit. *Jika saja mereka tahu siapa aku sebenarnya...*
---
Setelah keluar dari rumah nenek, Hyo berjalan menuju kedai teh kecil di tengah desa. Dia memesan secangkir teh hangat dan duduk di meja pojok, mengamati keramaian dengan mata yang tajam.
Kebiasaan ini sudah dia lakukan selama bertahun-tahun—duduk di tempat ramai, mendengar obrolan orang, mengumpulkan informasi. Tidak ada yang mencurigakan seorang dokter keliling yang suka istirahat sambil minum teh.
"...katanya di ibukota ada pembunuhan lagi..."
"...siapa yang berani melawan orang-orang Orthodox Alliance..."
"...Imperial Guard bilang ada assassin yang memburu pejabat korup..."
Telinga Hyo menajam mendengar sebagian percakapan dari meja sebelah. Dua pedagang paruh baya sedang berbisik-bisik dengan ekspresi takut.
"Aku dengar Magistrate(Hakim) Kim di kota Daegu ditemukan mati di kantornya sendiri," kata yang satu. "Tubuhnya tidak ada luka, tapi wajahnya biru seperti keracunan."
"Astaga... itu sudah yang ketiga bulan ini kan? Semuanya pejabat yang terkenal korup."
"Ssshh!" yang satunya menoleh was-was. "Jangan bicara keras-keras. Siapa tahu ada mata-mata Imperial Guard."
Hyo menyesap tehnya dengan tenang, tapi dalam hati dia tersenyum tipis. *Magistrate Kim*. Dia ingat nama itu. Salah satu pejabat yang sepuluh tahun lalu ikut memberikan izin kepada Royal Shadow Guard untuk "membersihkan" Blood Moon Guild.
Tentu saja tubuhnya tidak ada luka. Hyo telah menggunakan teknik **Crimson Needle**—racun yang disuntikkan melalui titik akupuntur khusus, mematikan dalam hitungan jam tanpa meninggalkan bekas.
"Dokter Hyo?"
Suara itu membuatnya menoleh. Seorang pria paruh baya berseragam resmi berdiri di sampingnya—**Wakil Gubernur Lee**, pejabat daerah yang sering dia temui dalam perjalanan.
"Ah, Wakil Gubernur-nim," Hyo bangkit dan membungkuk hormat. "Selamat sore."
"Kebetulan sekali bertemu di sini," Lee duduk di kursi kosong tanpa diundang. "Aku sedang mencarimu."
"Ada yang bisa saya bantu?"
Lee menundukkan suara dan menatap Hyo dengan serius. "Belakangan ini situasi politik agak tidak aman. Banyak pejabat yang... eh... meninggal secara mendadak."
Hyo mengangguk dengan ekspresi prihatin yang sempurna. "Ya, saya juga mendengar kabar-kabar itu. Sangat memprihatinkan."
"Karena itu, aku ingin meminta dokter untuk lebih berhati-hati dalam perjalanan. Siapa tahu ada orang jahat yang menyamar sebagai dokter untuk mendekati target mereka."
*Tepat sekali,* pikir Hyo sambil mempertahankan ekspresi polos. "Terima kasih atas peringatannya, Wakil Gubernur-nim. Saya akan lebih waspada."
Lee tersenyum puas. "Bagus. Oh ya, minggu depan ada pejabat kerajaan dari ibukota yang akan mengunjungi wilayah ini. Mungkin dokter bisa disiapkan untuk memeriksa kesehatan rombongan?"
Mata Hyo berkilat sangat sebentar—begitu sebentar hingga Lee tidak menyadarinya. "Tentu saja. Kapan tepatnya?"
"Kamis depan. Mereka akan menginap di rumah Magistrate Park di kota Soyang."
*Magistrate Park*. Nama lain dari daftar yang tersimpan rapi dalam ingatan Hyo. Pejabat yang dulu turut menandatangani surat perintah penangkapan seluruh anggota Blood Moon Guild.
"Baik, saya akan mempersiapkannya," jawab Hyo dengan senyum ramah.
Setelah Lee pergi, Hyo melanjutkan minum tehnya dengan pikiran yang berputar cepat. Satu lagi target dalam jangkauan. Dan dengan kedok memeriksa kesehatan rombongan kerajaan, dia akan punya akses langsung.
Dia bangkit, meninggalkan uang di atas meja, dan berjalan keluar kedai dengan langkah santai. Bagi semua orang, dia terlihat seperti dokter keliling yang baik hati yang akan melanjutkan perjalanan.
Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa malam ini, Hyo akan kembali ke hutan untuk berlatih teknik-teknik mematikan yang tidak pernah dia tunjukkan kepada siapa pun. Dan minggu depan, daftar musuhnya akan berkurang satu nama lagi.
Bulan sore itu tidak berwarna merah seperti sepuluh tahun lalu. Tapi dalam hati Hyo, api balas dendam masih menyala dengan intensitas yang sama—dingin, sabar, dan mematikan.