Suasana pos penjaga perbatasan sore itu begitu tenang, hingga teriakan bergemuruh dari kantor komandan terdengar sampai ke kandang kuda.
“NEYROOOO!! MASUK KANTOR SAYA, SEKARANG!!”
Angin mengguncang jendela. Beberapa penjaga refleks bersembunyi. Neyro Vojenski—mantan Knight Elit Kekaisaran—menghela napas panjang, meletakkan cangkir tehnya, lalu berjalan santai ke dalam.
Di dalam, seorang wanita berambut biru pendek dan mata tajam seperti elang tengah memelototinya.
“Komandan Fereina?” tanya Neyro dengan suara tenang.
Fereina Rynfeldt (wanita, 38 tahun), Komandan wilayah barat perbatasan, menunjuk surat perintah bermaterai segel Kekaisaran.
“Kamu ditugaskan jadi pengajar umum di Akademi Cabang Kota Velund selama tiga hari sampai guru baru dari pusat tiba. Perintah dari atas, langsung.”
Neyro mengangkat alis. “Cuma tiga hari? Aku bukan guru, Komandan. Aku pasukan garis depan. Dan... uh, aku punya trauma dengan ruangan kelas…”
“Kalau kamu menolak,” Fereina menyeringai dingin, “gaji bulan ini dipotong 60 persen. Dan aku akan menuliskan ‘pembangkang tugas Kekaisaran’ dalam laporanmu.”
Seketika wajah Neyro menegang.
“…Kapan keberangkatannya?”
“Sekarang.”
---
Kota Velund berdiri megah dengan menara-menara batu putih dan jalan besar berlapis marmer. Neyro menunggang kuda dan tiba dua hari kemudian, setelah bergantian patroli sebentar dengan rekan setimnya.
Ia memasuki gerbang utama, disambut oleh penjaga kota.
“Identitas?” tanya penjaga bersenjata tombak.
“Neyro Vojenski. Perwira Kekaisaran. Tugas sementara.”
“Ah! Knight yang katanya pensiun itu?” tanya penjaga dengan nada kagum. “Silakan masuk!”
Neyro menurunkan tudung jubahnya, tersenyum kecil. “Pensiun terlalu dini, mungkin.”
---
Di Akademi Cabang Velund, seorang pria tua berjubah biru cerah dan janggut tipis duduk di belakang meja kayu penuh tumpukan kertas. Ia menengadah saat Neyro masuk.
“Ah! Tidak salah lagi. Wajah frustrasi, mata seperti mau tidur lima jam lagi. Kau pasti Neyro Vojenski.”
“Aku lebih berharap itu bukan aku,” jawab Neyro. “Anda pasti Kepala Sekolah?”
“Benar! Nama saya Garlend Thevark (pria, 59 tahun), kepala akademi ini. Dulu aku guru administrasi di pusat, waktu kamu masih murid. Nilaimu luar biasa.”
Neyro meneguk ludah. “Aduh, ketahuan.”
Garlend tertawa. “Kau pikir kami lupa? Nilai aritmetika dan ekonomi mu terbaik. Kami bahkan curiga kau bukan anak biasa.”
“Ehe…” Neyro tersenyum kaku. “Saya... banyak baca buku.”
“Guru sebelumnya mati tiga hari lalu,” Garlend menghela napas. “Jatuh dari tangga, dicekik kucing, dan disambar petir. Kami kekurangan guru umum. Pelajaranmu hanya matematika dasar dan sejarah Kekaisaran.”
Neyro mengangguk perlahan. “Baik. Tapi... tidak ada anak yang melempar kursi ke guru, kan?”
Garlend terkekeh. “Bukan anak tempur. Mereka kelas umum. Tipe anak bangsawan manja dan pintar.”
“Lebih menyeramkan,” gumam Neyro.
---
Keesokan paginya, Neyro berdiri di depan papan tulis kelas C-A1. Siswa-siswi mulai masuk: belasan anak, kebanyakan berpakaian mahal. Salah satu dari mereka, gadis berambut emas dan mata biru angkuh menatapnya tajam.
“Anda... bukan Guru Altzern,” ucapnya dengan nada tak senang.
“Benar,” jawab Neyro datar. “Aku hanya pengganti. Namaku Neyro Vojenski. Tugas tiga hari. Kita mulai dengan aritmetika perdagangan.”
Seorang murid pria berkacamata berseru, “Neyro...? Bukankah itu nama Knight Kekaisaran yang menghilang?”
Neyro menulis di papan tanpa menjawab.
“Kalau memang Knight, kenapa jadi guru? Apa karena kena hukuman?” tanya si gadis angkuh.
“Aku di sini karena seekor kucing membunuh guru kalian sebelumnya,” jawab Neyro tenang. “Dan juga karena aku tak bisa makan tanpa gaji.”
Suasana hening sejenak. Lalu, beberapa siswa mulai tertawa.
Salah satu anak lelaki yang duduk di pojok, bernama Firren (pria, 15 tahun), mengangkat tangan.
“Pak, Anda benar-benar Knight Kekaisaran?”
“Dulu. Sekarang penjaga gerbang dan guru paruh waktu.”
“Kenapa turun pangkat?”
Neyro berhenti menulis, lalu berkata dengan wajah serius.
“Karena aku ingin tidur siang dengan damai, tidak dibangunkan oleh alarm darurat, dan bisa menikmati teh pagi tanpa monster menghancurkan gerbang kota.”
Seketika, seluruh kelas tertawa keras.
---
Usai kelas, Garlend menemui Neyro yang tengah menyeduh teh di ruang guru.
“Kamu menangani mereka dengan baik.”
“Masih hidup juga sudah syukur,” jawab Neyro.
“Kau tahu? Di surat dari pusat, ada catatan khusus soal kamu. Kalau suatu hari Kekaisaran dalam krisis, kamu bisa dipanggil kapan pun.”
Neyro menghela napas berat. “Aku tahu. Aku pura-pura lupa.”
“Sayang sekali kamu bukan guru tetap. Aku akan senang punya staf sepertimu.”
“Kalau aku jadi guru tetap,” Neyro menatap ke luar jendela, “siapa yang akan menjaga gerbang kota perbatasan dari serangan kelinci raksasa minggu depan?”
Mereka tertawa bersama. Namun jauh di lubuk hati, Neyro tahu... ketenangannya takkan lama