Lorong-lorong sekolah cabang akademi tampak sibuk pagi itu. Murid-murid berlarian menuju kelas masing-masing. Neyro, mengenakan jas panjang hitam polos dengan emblem kecil pasukan elit yang sudah pudar di bahunya, melangkah cepat. Ia tak ingin terlambat di hari kedua mengajar.
Namun, di tikungan menuju ruang A-1A, ia tak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita muda yang membawa setumpuk buku sihir.
"Aduh!" teriak wanita itu. Buku-buku melayang dan jatuh berhamburan ke lantai.
Sebelum ia sempat menunduk, buku-buku itu perlahan terangkat sendiri dan tersusun rapi kembali di pelukannya—tanpa sihir, tanpa aura. Wanita itu melongo.
"Kau... barusan... kau tak gunakan mantra, atau aura. Tapi kau menggerakkan benda?" tanyanya curiga.
"Telekinesis," jawab Neyro santai, menyapu debu dari bahunya. "Bukan sihir. Hanya teknik yang kupelajari."
"Nama saya Auria. Guru sihir," ujarnya masih menatap penuh selidik. "Aku belum pernah melihat teknik seperti itu."
"Neyro. Guru kelas 1A ," balasnya singkat.
Mereka berbincang sebentar. Auria bertanya panjang lebar bagaimana mungkin telekinesis bisa dilakukan tanpa sihir, tanpa aura, tanpa kontrak. Neyro mencoba menjelaskan, tetapi penjelasannya seperti kabut bagi Auria.
"Baiklah, aku tak mengerti... tapi aku curiga. Apalagi setelah aku melihatmu kemarin," gumam Auria sambil melangkah pergi. "Kita akan bertemu lagi, pak Neyro."
Neyro menghela napas dan melanjutkan langkahnya ke ruang kelas.
"apakah aku setia itu" gumam neyro dan sudah berada di depan kelas.
Begitu ia membuka pintu ruang A-1A, suara riuh langsung berhenti. Dua puluh pasang mata murid dari bangsawan dan rakyat biasa menatapnya penuh rasa ingin tahu.
Dengan langkah tenang, ia mendekati papan tulis. Sebuah kapur putih terangkat perlahan dari kotaknya—melayang—dan mulai menulis sendiri di papan:
“NE-Y-RO”
"WAAAAHHHH!"
Kelas langsung gaduh.
Lyon, seorang murid lelaki dengan rambut pirang bergelombang, berdiri. "Sensei! Itu sihir, ya?! Tapi katanya Anda bukan penyihir!"
Marcia, putri dari keluarga viscount, mengangkat tangan dengan semangat. "Benar! Katanya Sensei itu mantan ksatria elit Kekaisaran! Kenapa berhenti?"
Felix, anak baron yang terkenal kalem, ikut bicara. "Kenapa tidak jadi pengawal bangsawan? Gajinya lebih tinggi..."
Tilly, gadis mungil dengan pita merah mencolok, gadis pemilik toko kuwe di kota mencondongkan badan ke meja. "Sensei jomblo ya?! Umurnya berapa?!"
Neyro berdiri diam, mengusap wajah pelan. "Pertanyaan satu per satu, tolong..."
Lyon: "Jadi, benar Sensei dari satuan elit?"
Neyro: "Ya. Tapi aku keluar karena... aku ingin membentuk masa depan. Bukan hanya melindunginya."
Felix: "Tapi itu pekerjaan bergengsi..."
Neyro (tersenyum): "Mengajar juga pekerjaan mulia, bukan?"
Tilly (menatap tajam): "pak ner belum jawab. Jomblo, ya?"
Kelas tertawa. Neyro hanya menghela napas panjang.
Neyro: "Ya, jomblo. Puas?"
Tawa makin keras. Urat di pelipis Neyro mulai menonjol, tapi ia tetap tenang.
Setelah 10 menit kekacauan reda, pelajaran matematika dasar pun dimulai. Neyro menjelaskan angka-angka dengan sederhana namun mendalam, hingga anak-anak mulai terdiam memperhatikan.
Namun, suasana serius itu kembali pecah ketika tangan mungil terangkat dari barisan depan.
Elin, murid termuda dengan rambut perak dan mata jernih, bertanya dengan polos: "pak ner... apa itu cinta?"
Neyro terdiam.
Neyro: "Cinta adalah perasaan yang membuatmu ingin melihat seseorang bahagia, bahkan jika itu menyakitkanmu. Cinta itu memberi, bukan meminta. Cinta tumbuh dari pengertian, perhatian, dan keberanian."
Anak-anak terpaku.
Neyro (melanjutkan): "Cinta datang tanpa permisi. Kadang menyenangkan, kadang menyakitkan. Tapi justru karena itu, cinta adalah hal yang paling manusiawi di dunia ini."
Elin: "Waaah... Aku suka penjelasan pak neyro. Jelas banget!"
Tilly: "Iya! Wali kelas kami dulu jelasin kayak ngomongin kontrak nikah. Garing banget!"
Gavin, anak laki-laki pemalu yang jarang bicara, tiba-tiba mengangkat tangan.
Gavin: "pak neyro... apa ada wanita yang bapak suka?"
Kelas kembali gaduh. Beberapa murid bertepuk tangan, yang lain berteriak “Kyaaaa!”
Neyro hanya tersenyum kecil.
Neyro: "Mungkin dulu. Tapi itu cerita lama. Sekarang tugasku adalah memastikan kalian tumbuh menjadi orang yang lebih baik dari generasi kami."
Bel istirahat berbunyi. Murid-murid bersorak.
Marcia: "pak neyro, makan siang bareng kami, ya!"
Lyon: "Tapi duduk di sebelahku!"
Tilly: "Nggak mau! Di sebelah aku dong!"
Neyro mengangkat tangan.
Neyro: "Kalau kalian ribut, aku makan di atap saja."
Semua serempak: "NGGAAA!!!"
Mereka tertawa bersama. Neyro akhirnya duduk di tengah kerumunan murid yang membawa bekal mewah, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai.
Dari luar jendela, Auria kembali mengintip, alisnya mengernyit.
Auria (pelan): "Pria itu... dan tekniknya. Aku yakin itu bukan sekadar 'telekinesis'."
---
Bab 5 berakhir, meninggalkan kesan hangat, tawa anak-anak dari segi setatus mereka saling menghormati, dan rasa penasaran yang makin dalam pada sosok misterius bernama Neyro.