Cepat katanya, Lemot nyatanya

Matahari mulai memanjat cakrawala, sinarnya hampir di tiga perempat kepala. Para murid membubarkan diri dari arena, mereka pergi dengan kelompok kecil yang sudah ditentukan tadi.

Bima dan kelompoknya menaiki tebing yang berada tepat di sebelah kantin. Mereka berkenalan satu sama lain.

"Aku Bima Delbara dari jurusan pedang," Bima menunjuk dirinya dengan ibu jari, "dia Ted Bagunda, panggil dia Ted." Bima menunjuk Ted.

Ted melambaikan tangan, "Kami satu kelas, lho," ucapnya sambil merangkul Bima.

"Dia..." Bima hendak menunjuk Yuda namun ia ragu—takut Yuda marah.

"Aku Yuda, jurusan sihir, sekian." ucap Yuda singkat.

"Aku Litzie, dari jurusan sihir," Litzie mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. "Aku ahli dalam hal mendukung, karena aku berfokus pada unsur cahaya dan beberapa jenis buff."

"Buff? Apa itu?" tanya Ted.

"Buff itu artinya efek baik atau bantuan saat bertarung atau melakukan sesuatu. Contohnya..."

Ted memotong, "Contohnya seperti aku yang jatuh hati pada pandangan pertama?" godanya.

"Ah, kalau itu sepertinya berefek buruk padaku," senyuman kecil Litzie membuat Ted tertohok.

"Contohnya seperti meningkatkan kecepatan, fokus, daya serang, atau bahkan penyembuhan—meski skalanya masih kecil," lanjut Litzie.

Bima berpikir, "Kekuatannya sangat mirip, tapi..." Ia mengusap dagunya. "Kenapa tidak ada tanda kedewaan dari tubuhnya?" Bima memperhatikan Litzie seksama. "Auranya terlalu biasa, bahkan yang aku tahu, kloningnya saja memancarkan aura kedewaan yang sangat jelas."

"Ah, tapi itu tak mungkin..." Bima mencoba menepis pikirannya itu.

Litzie yang melihat Bima berpikir keras itu sedikit tersenyum. "Apa kamu juga jatuh hati padaku, Bima?" tanyanya sambil memiringkan kepala.

Bima tersadar, "Tidak, tuh!" ketusnya.

Litzie tertawa kecil.

"Kini giliranku! Aku Meilin, dari jurusan ahli bela diri," ucap Meilin dengan bangga. "Aku adalah ahli bela diri yang berfokus pada kecepatan. Mau lihat?"

"Heh, kecepatan?" Ted menyeringai. "Aku penasaran secepat apa dirimu."

"Baiklah, akan aku tunjukkan!" Meilin bangkit dengan penuh percaya diri, kemudian ia berlari menuruni tebing dengan kecepatan tinggi.

Setelah sepuluh detik, Meilin kembali. "Gimana?" Meilin menolak pinggangnya. "Aku cepat, kan?" tanyanya sombong.

Bima dan Ted menahan tawa.

"Uuhh, kenapa? Kalian mengejekku ya?!" Ketus Meilin.

"Itu yang kamu sebut kecepatan? Bahkan bayi pun kalau berlari bisa lebih cepat dari itu," Ted bangkit dari duduknya. "Nih, aku tunjukin apa itu kecepatan maksimal." Ted berlari begitu cepat menuruni tebing.

Ted hanya butuh waktu tiga detik untuk kembali ke dalam lingkaran kelompoknya.

"Ini baru yang namanya kecepatan maksimal, haha!" ucap Ted sombong.

"Aku juga bisa..." Bima bangkit. "Ted, mari kita tunjukkan." Bima menyeringai.

Ted dan Bima berlari mengitari kelompoknya. Sangking cepatnya, mereka membuat tornado kecil dan menyapu debu-debu hingga beterbangan.

"Sial, nggak bisa diem banget sih!" gerutu Yuda.

Yuda mengaktifkan sihir. Terlihat lingkaran sihir keluar dari tangannya—berwarna biru pucat dan mengeluarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia langsung menjatuhkan tangannya ke tanah, membuat tanah membeku.

Bima dan Ted yang asyik berlari, terpeleset.

Wajah Ted mencium tanah yang berlapis es. Ia mengangkat kepalanya, "Hihirhu hehu (bibirku beku)."

Bima terpeleset agak jauh hingga menabrak sebuah pohon besar.

Litzie dan Meilin tertawa lepas, namun Yuda tetap memasang wajah tak bersalah sedikitpun. Ia bersikap dingin, seolah mereka memang pantas mendapatkannya.

Bima duduk di pinggir pohon yang ia tabrak tadi.

"Jadi, kekuatan Yuda adalah es, ya?" batin Bima. "Kalau dipikir-pikir, Yuda waktu itu kembali dengan luka di lutut dan di sikunya... Kalau memang ia punya sihir sekuat ini, bukankah seharusnya ia akan baik-baik saja ketika berhadapan dengan musuh yang kuat?"

"Hey, kamu ngapain di sini?" tanya Litzie yang tiba-tiba muncul di depan Bima.

Bima terkejut, "Aku hanya sedikit pegal..." katanya berbohong.

Litzie tersenyum manis. Bima yang melihat betapa cantiknya Litzie, kini ia tersipu malu.

"Kamu tidak penasaran denganku?" tanya Litzie duduk di sebelah Bima.

Bima tak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala.

"Hey! Ayo ke sini lagi!" teriak Ted.

"Lebih baik kita kembali ke sana," ucap Bima berdiri.

Litzie tertawa kecil, "Baiklah." Ia mengekori Bima.

"Kira-kira, apa ya ujian pertamanya?" tanya Meilin.

"Aku harap tidak terlalu sulit, tapi aku yakin sepertinya kita akan melawan monster," ucap Bima.

Ted berpikir, "Apa mungkin ujian tertulis berkelompok? Atau... ujian menghitung?" celotehnya membuat semuanya terdiam.

"Itu pasti mimpi buruk bagimu, haha," ledek Bima.

"Tapi aku yakin kalau kita akan disuruh untuk bertahan hidup," celetuk Litzie.

"Ck, apa pun ujiannya. Kita harus lolos, bagaimanapun caranya." ucap Yuda dingin.

Bima mengangkat tangan. "Gini aja... Gimana kalau kita berandai-andai, kalau misalkan ujian pertamanya adalah pertarungan—strategi apa yang kita gunakan?"

"Aku akan berada di paling depan! Dan kalian harus ada di belakangku." ucap Meilin dengan semangat.

"Apa-apaan itu? Nggak, nggak!" bantah Ted.

"Kenapa? Aku kan cepat! Aku harus di bagian paling depan!"

"Cepat apanya? Langkahmu saja masih kayak bayi baru bisa lari, tuh," Ted mengangkat bahu.

"Aku di barisan belakang aja, deh," ucap Litzie menawarkan diri.

"Aku akan bertindak sendiri, kalian terserah lah mau apa." ucap Yuda semakin dingin.

"Dia itu es berjalan, ya? Kenapa dingin banget?" bisik Litzie ke Bima.

"Haha, dia emang begitu," jawab Bima.

Ted dan Meilin tak habis-habis berdebat, mereka terus memperebutkan posisi di paling depan.

Matahari telah lelah, kini ia digantikan oleh bulan yang cahayanya tak terlalu terang. Udara malam yang dingin mulai memasuki ruang asrama Bima.

"Sebelumnya Yuda yang mengganggu pikiranku... Sekarang Litzie, nama Dewi Kehidupan atau kloningnya," pikir Bima. "Tapi kalau harus disebut kloning, ia tak memancarkan aura kedewaan... Ia malah seperti manusia pada umumnya."

Bima melipat lengannya di kepala dan membuat lengannya menjadi bantal. Sambil menatap langit-langit yang kosong, ia terus memikirkan kedua orang tersebut.

Di pagi hari yang sedikit gelap karena kabut mulai menutup bumi, Bima terjaga lebih dulu daripada teman sekamarnya.

Hawa dingin membuat Bima tak kuat untuk mandi. Ia memutuskan hanya mencuci muka seadanya saja, kemudian ia berjalan di belakang asrama.

Bima melihat Litzie sedang duduk di bawah pohon ek, termenung. Ia hendak menghampiri Litzie, namun langkahnya tertahan karena ia melihat Yuda melintas dari kejauhan, berjalan ke arah tembok pembatas antara akademi dan bukit.

"Aku akan balas dendam pada kalian semua..." batin Yuda. "Andai saja tembok ini tidak ada, aku pasti akan kembali dan membalas apa yang kalian lakukan." Batinnya makin mendingin bahkan lebih dingin dari es utara.

Enam hari kemudian.

Para murid sudah berkumpul di arena, mereka berbaris membentuk kelompok kecil mereka.

"Setiap ketua kelompok, silakan maju ke depan." ucap Jun—salah satu guru akademi.

Setiap perwakilan kelompok maju, mereka mendekat ke arah podium.

"Kalian sudah tahu kan, nomor kelompok kalian?" tanya Jun.

"Siap! Sudah!" ucap para perwakilan kelompok.

"Baiklah, silakan maju satu per satu dan pilih lawan kalian. Jika kalian sudah dapat siapa lawan kalian, silakan memisahkan diri."

"Lawan?" batin Bima. "Jadi firasatku benar kalau ujian kali ini adalah bertarung?"

Kini giliran Bima yang maju. Ia melangkah dengan penuh keyakinan—mengambil sebuah kertas bertuliskan "Kelompok 66"—lalu menyerahkannya kembali ke Jun.

"Baiklah, Kelompok 4 akan melawan Kelompok 66!" seru Jun. "Untuk Kelompok 4 dan 66 silakan naik dan tunggu giliran kalian di atas tribun."

"Baik."

Mereka memisahkan diri dan kembali ke kelompok masing-masing.

Tiba-tiba Meilin mendekati Bima, "Hey, kayaknya aku tahu siapa ketua kelompok lawan kita," bisiknya.

Bima menengok, mengangkat alis. "Siapa?"

"Aku pernah dengar dari teman se-asramaku, dia adalah murid terkuat dari jurusan pedang—namanya Varka."

"Lalu?" tanya Bima.

"Sepertinya lawan kita tak mudah, nih." celetuk Ted yang menguping obrolan Meilin dan Bima.

"Mau siapa pun lawannya, kita harus lolos." ucap Yuda berusaha tenang.

Beberapa menit berlalu. Kini giliran Kelompok Bima dan Kelompok 66 beraksi di tengah arena.

Sorak riuh mengisi arena. Mereka semua memberikan semangat bagi kedua kelompok. Bahkan ada juga yang menjadikan ujian ini sebagai ajang taruhan.

Badan Bima gemetar, bukan karena takut. Tapi ia merasakan sesuatu yang sangat familiar dari seseorang di barisan depan musuh.

"Aura ini... Zenith?" batin Bima sambil menatap Varka. "Tak salah lagi..." Tangannya mengepal.

Jun mengangkat sebelah tangannya. "Bersedia!..." seru Jun. "Siaaaapppp..." Jun menjatuhkan tangannya. "Mulai!" teriaknya, langsung berlari menjauh dari tengah arena.

Bersambung...